Berguru ke Mbah
Hasyim, "Luru Ilmu Kanthi Lelaku"
Judul
: Berguru Ke Sang Kiai, Pemikiran Pendidikan KH. M. Hasyim Asy’ari
Penulis
: Mukani
Prolog
: Prof. Dr. Nur Ahid, M.Ag.
ISBN
: 978-602-6827-08-1
Cetakan
: I, Mei 2016
Tebal
: 271 + xvi
Penerbit
: Kalimedia, Yogyakarta
Peresensi
: Jumari, Dosen Fakultas Tarbiyah, Universitas Hasyim Asy’ari Tebuireng
Jombang.
Nama Hadratussyaikh
KH. Muhammad Hasyim Asy’ari (Mbah Hasyim) di kalangan nahdliyyin tidak
asing lagi. Di samping sebagai pendiri organisasi Nahdlatul Ulama (NU) pada
tahun 1926, Mbah Hasyim juga didaulat sebagai Ra’is Akbar NU hingga wafat di
tahun 1947. Sebuah posisi tertinggi dalam organisasi NU.
Buku baru berjudul Berguru
Ke Sang Kiai; Pemikiran Pendidikan KH. M. Hasyim Asy’ari yang ditulis
Mukani ini sebagai sebuah bentuk pengakuan terhadap kehebatan sosok Mbah
Hasyim. Buku ini pada awalnya adalah hasil penelitian tesis di IAIN/UIN Sunan
Ampel Surabaya. Karya ini menjadikan 23 tulisan Mbah Hasyim sebagai sumber
primer. Baik dalam bentuk kitab ataupun risalah.
Sebagai sosok asli
Jombang, nama Mbah Hasyim sudah ditulis dengan tinta emas dalam sejarah
perjuangan Indonesia meraih kemerdekaan. Tidak hanya mampu mendirikan NU, juga
mendirikan Pesantren Tebuireng. Kedua “warisan” ini sampai sekarang masih eksis
dalam berkontribusi demi pembangunan Indonesia.
Tidak heran jika
sudah puluhan buku ditulis untuk mengkaji sosok kakek Gus Dur ini. Termasuk
juga puluhan penelitian. Baik skripsi, tesis ataupun disertasi. Itu semua
membuat nama Mbah Hasyim semakin dikenal luas di masyarakat. Tidak hanya
Indonesia, tapi juga dunia internasional.
Hal ini tidak
berlebihan. James J. Fox, guru besar antropologi di Australian National
University (ANU), adalah orang yang pertama kali menyebut bahwa Mbah Hasyim
layak diberi gelar waliyullah. Jadi, gelar itu bukan warga NU yang
pertama kali memberikan.
Begitu juga dengan
“tuduhan” bahwa Mbah Hasyim seorang tradisionalis. Pendapat ini sangat tidak
tepat. Karena menurut Howard M. Federspiel, guru besar di McGill University
Kanada, Mbah Hasyim termasuk orang yang tidak menolak modernisasi. Tetapi,
agaknya, sebagai seorang yang tertarik kepada modernisasi, meski dalam sistem
di komunitasnya sendiri (hal. 14).
Pembelajaran
Aplikatif
Di samping berhasil
menjadi pendidik yang perlu diteladani, Mbah Hasyim juga menulis puluhan kitab
dan risalah. Karya-karya itu hingga sekarang masih dijadikan referensi dalam
berbagai pengajian-pengajian kitab kuning di dunia pesantren seluruh Nusantara.
Karya kelima Mukani ini mampu merekam dengan baik butiran-butiran pemikiran
Mbah Hasyim dalam bidang pendidikan.
Dalam khazanah
pengembangan dunia intelektual, buku ini mampu hadir sebagai salah satu
referensi utama bagi pengelola, pengambil kebijakan, pendidik, peserta didik
dan stakeholders di Indonesia dalam memajukan pendidikan. Terutama
pendidikan yang berorientasi pada aspek religius-etis dan afinitas ilmiah
dengan kajian Islam.
Dalam buku ini
dipaparkan kunci sukses Mbah Hasyim dalam mengkonsep pendidikan Indonesia
adalah model luru ilmu kanthi lelaku. Berdasar pendekatan ini, seorang
pendidik dan peserta didik tidak sekedar berteori. Namun langsung belajar
secara aplikatif di masyarakat. Itu semua harus dimulai dari diri sendiri (hal.
52).
Sebagai contoh adalah
dalam menanamkan nilai nasionalisme dalam jiwa peserta didik. Tidak sekedar
melalui penataran, seminar, workshop ataupun acara formal lainnya. Fatwa jihad
untuk mengadakan perlawanan kepada bangsa penjajah sebagai aksi nyatanya.
Bahwa, umat Islam dalam radius 60 kilometer wajib hukumnya untuk mengangkat
senjata melawan kolonialisme Belanda yang hendak merebut kemerdekaan Indonesia.
Jika gugur di medan perang, dihukumi mati syahid.
Fatwa ini kemudian
yang mengilhami Resolusi Jihad pada 22 Oktober 1945. Justru dari resolusi yang
dikeluarkan para ulama NU inilah meletus pertempuran 10 November 1945 di
Surabaya yang sangat heroik itu. Meski, banyak sejarah belum menulisnya secara
proporsional.
Dalam membentengi
keimanan umat Islam di Indonesia sebagai contoh kedua. Mbah Hasyim tidak
sekedar menulis teori dalam kitab yang tebal. Ketegasan Mbah Hasyim dalam
menolak saikere kolonialisme Jepang sebagai bukti nyatanya. Meski Mbah
Hasyim harus menerima siksaan fisik di penjara Jombang, Mojokerto dan lalu
dipindah ke Kalisosok Surabaya.
Melalui buku ini,
sebenarnya Mbah Hasyim memberikan kerangka konsepsional yang fundamental bagi
pendidikan Indonesia. Langkah lebih teknis operasional memang harus tetap
dikaji ulang untuk mengimplementasikan pemikiran pendidikan Mbah Hasyim
ini.
Mbah Hasyim, dalam
buku ini, digambarkan sebagai sosok yang menghargai keberagaman. Pendidikan
tidak boleh melakukan diskriminasi. Motivasi peserta didik dalam mencari ilmu
juga harus bersih dari unsur materialisme. Karena mencari ilmu adalah perintah
agama (hal. 127).
Sebagai seorang
pendidik, guru dan dosen dituntut untuk selalu mengembangkan kompetensi yang
dimiliki. Terutama dalam tradisi literer. Artinya, guru dan dosen dituntut
mampu menulis materi pembelajaran. Karya ini yang akan dijadikan pedoman bagi
peserta didik dalam pembelajaran (hal. 138).
Pada tataran
kurikulum, Mbah Hasyim menekankan tidak sekedar kecerdasan intelektual (IQ).
Namun juga sikap baik dan keterampilan dibenahi dari diri peserta didik.
Keseimbangan IQ, EQ dan SQ menjadi sebuah keniscayaan. Materi yang dibelajarkan
tidak sekedar ilmu agama, namun juga ilmu-ilmu umum.
Lingkungan pendidikan
juga harus dikelola dengan baik. Keluarga, sekolah dan masyarakat merupakan
tiga lingkungan pendidikan yang sangat berpengaruh bagi keberhasilan peserta
didik. Namun, ketiganya tetap berpangkal kepada proses pendidikan dalam
keluarga. Terutama pentingnya sosok ibu dalam mendidik anak-anaknya (hal.
155).
Melalui buku ini,
sebenarnya Mbah Hasyim memberikan kerangka konsepsional yang fundamental bagi pendidikan
Indonesia. Langkah lebih teknis operasional memang harus tetap dikaji ulang
untuk mengimplementasikan pemikiran pendidikan Mbah Hasyim ini.
Sosok pendiri NU ini
pada titik tertentu hendak melakukan balancing terhadap dunia pendidikan
di Indonesia. Tidak sekedar aspek formalitas, tetapi juga subtansi dari makna
pendidikan harus diinternalisasikan dan diimplementasikan dalam kehidupan
peserta didik. Pada ujungnya, diharapkan pendidikan Indonesia mampu melahirkan
“produk” yang tidak hanya memiliki intelektual (pinter), tetapi juga memiliki
integritas moral yang baik (bener). []
Tidak ada komentar:
Posting Komentar