Pendidikan
Tanpa Mendidik
Oleh:
Yudi Latif
Dunia
pendidikan kita sudah melenceng jauh dari orbit hakikat pendidikan
sesungguhnya. Menteri silih berganti, tetapi pusat perhatiannya sama:
administrasi pendidikan (anggaran, bantuan operasional sekolah, rancang bangun
kurikulum, standar formal kompetensi guru, ujian nasional, dan sejenisnya).
Esensi
pendidikan nyaris tak tersentuh. Paling jauh, yang dikembangkan dalam sistem
persekolahan kita hanyalah "pengajaran" (onderwijs), yakni pemberian
materi berkaitan dengan pengetahuan dan keterampilan. Mata pelajaran sarat
muatan kognitif. Sukses pendidikan diukur oleh pencapaian anak dalam bidang
penalaran seperti itu, seperti tecermin dalam muatan ujian nasional. Tak heran,
banyak orangtua menambah jam pelajaran anaknya dengan mengikuti sejumlah kursus
dalam/luar sekolah.
Bias
pengajaran membuat dunia pendidikan pada umumnya mengabaikan tugas mendidik:
memberikan tuntunan dalam hidup tumbuhnya anak-anak. Suhu pendidikan kita, Ki
Hadjar Dewantara, mengingatkan bahwa "pendidikan" (opvoeding)
merupakan sesuatu yang lebih luas dan esensial daripada pengajaran. Pendidikan
bermaksud "menuntun segala kekuatan kodrat yang ada pada anak-anak itu
agar mereka sebagai manusia dan sebagai anggota masyarakat dapat mencapai
keselamatan dan kebahagiaan yang setinggi- setingginya".
Singkat
kata, pendidikan adalah proses belajar menjadi manusia seutuhnya dengan
mempelajari dan mengembangkan kehidupan sepanjang hidup, yang diperantarai sekaligus
membentuk kebudayaan. Dalam proses belajar memanusia dan membudaya itu, tugas
guru bukanlah memaksakan sesuatu pada anak, melainkan menuntun mengeluarkan
potensi-potensi bawaan anak agar bertumbuh. Dari situlah muncul istilah
education (Latin: educare; ex-ducare) yang berarti mengeluarkan dan menuntun,
dalam arti mengaktifkan kekuatan terpendam bawaan sang anak.
Apa yang
harus diaktifkan adalah budi pekerti. Budi mengandung arti "pikiran,
perasaan dan kemauan". Pekerti berarti "tenaga". Alhasil, pendidikan
budi pekerti mengupayakan bersatunya pikiran, perasaan, dan tekad kemauan
manusia yang mendorong kekuatan tenaga yang dapat melahirkan penciptaan dan
perbuatan yang baik, benar, dan indah.
Dengan
pengembangan "budi pekerti", anak didik diharapkan berdiri sebagai
manusia merdeka. Kemerdekaan yang harus ditumbuhkan dalam pendidikan mengandung
tiga sifat: berdiri sendiri, tidak bergantung pada orang lain, dan dapat
mengatur diri sendiri. Itu sebabnya mengapa di banyak negara, orangtua dilarang
mengantar anaknya ke sekolah.
Sampai di
sini, tampak jelas betapa terbelakangnya dunia pendidikan kita. Keterbelakangan
sesungguhnya bukanlah ketika dibandingkan dengan pencapaian bangsa-bangsa lain;
karena setiap bangsa punya sejarah, tantangan, dan ukuran nilainya
masing-masing; melainkan keterbelakangan dari hakikat pendidikan yang
dikehendaki.
Apa yang
harus dilakukan?
Pendidikan
sebagai proses belajar menjadi manusia berkebudayaan yang merdeka itu
berorientasi ganda: memahami diri sendiri dan memahami lingkungannya. Ke dalam,
pendidikan harus memberi wahana kepada peserta didik untuk mengenali siapa
dirinya sebagai "perwujudan khusus" dari alam. Proses pendidikan
harus membantu peserta didik menemukenali kekhasan potensi dirinya, sekaligus
kemampuan menempatkan keistimewaan diri itu dalam konteks keseimbangan dan
keberlangsungan jagat besar.
Ahli-ahli
pendidikan berhaluan merdeka, mulai dari Maria Montessori, Helen Parkhurst,
Rabindranath Tagore, Ki Hajar Dewantara, hingga Paulo Freire, mengingatkan
fungsi pendidikan sebagai usaha mencerdaskan jiwa kanak-kanak menurut kodratnya
masing-masing. Seturut dengan itu, kerja mendidik bukanlah mengajar, melainkan
menuntun. Karena potensi anak berbeda-beda, maka proses pendidikan jangan
sampai menghilangkan kodrat individualitas seseorang karena terdidik
bersama-sama yang lain. Harus lebih banyak ruang untuk menuntun anak secara
individual, jangan hanya berbarengan secara klasikal.
Sementara
keluar, pendidikan harus memberi wahana kepada anak didik untuk mengenali dan
mengembangkan kebudayaan. Kebudayaan sebagai sistem nilai, sistem pengetahuan,
dan sistem perilaku ini secara keseluruhan membentuk lingkungan sosial yang
dapat menentukan apakah disposisi karakter seseorang berkembang menjadi lebih
baik atau lebih buruk.
Bibit
unggul individualitas harus tumbuh di atas tanah sosialitas Pancasila yang
subur. Maka dari itu, pengembangan "kecerdasan kewargaan" berbasis
Pancasila bukan sekadar ornamen, melainkan substansi penting pembelajaran. Itu
sebabnya muatan ujian nasional yang dirumuskan kementerian semestinya (pun
secara historis) lebih menekankan subyek-subyek yang dapat memperkuat integrasi
nasional dan karakter bangsa, seperti sejarah, geografi, bahasa, dan ideologi
bangsa. Adapun bahan uji bagi mata pelajaran lainnnya bisa dirumuskan oleh
asosiasi-asosiasi pengajar dalam mata pelajaran yang sama.
Prioritaskan
pendidikan dasar
Ibarat
pohon, akar merupakan titik tumpu ketahanan bertumbuh. Demikian juga halnya
dalam proses tumbuh hidupnya manusia. Solusi atas keterbelakangan hasil
pendidikan kita harus dimulai dengan memperkuat pendidikan dasar. Sesuai
namanya, pendidikan dasar harus benar-benar memberikan modal dasar dalam proses
belajar menjadi manusia seutuhnya. Pendidikan sebagai proses kebudayaan
menghendaki agar proses belajar-mengajar tidak hanya berorientasi pada
pengembangan kemampuan kognitif, tetapi juga kemampuan afektif dan konatif.
Pertama-tama,
kurikulum pendidikan dasar harus memberi perhatian pada olah pikir lewat
pembelajaran membaca, menghitung, menutur, mendengar, menulis, dan meneliti
dalam kerangka budi pekerti.
Pelajaran
membaca lebih dari sekadar belajar melek huruf, atau sekadar membaca buku
pelajaran yang diwajibkan. Pelajaran membaca harus menjadi kecakapan fungsional
yang dibiasakan (reading habit) sejak pendidikan dasar. Kecakapan dan kebiasaan
membaca sejak dini akan memudahkan anak-anak menjelajahi dunia ilmu pengetahuan
melampaui batas-batas pelajaran sekolah.
Budaya
baca kian penting dihadapkan pada perluasan terpaan media digital dengan muatan
pesan yang serba ringkas dan instan. Tanpa tradisi membaca yang kuat akan sulit
bagi generasi baru memahami dan mengembangkan penalaran panjang seperti
pengetahuan-pengetahuan naratif (filsafat, ideologi, sejarah, agama, dan
sastra). Padahal, pengetahuan naratif merupakan sumber penemuan diri dan
pembentukan karakter.
Oleh
karena itu, paling tidak satu hari dalam seminggu, harus disediakan wahana bagi
anak-anak membaca atas pilihannya sendiri. Sekolah hanya menyediakan
bahan-bahan bacaan yang sejalan dengan misi pendidikan budi pekerti. Setelah
membaca, anak-anak juga harus dilatih menuturkan apa yang mereka tangkap dari
bahan bacaan. Latihan menutur bukan sekadar membantu mengingat, melainkan juga
melatih kepercayaan diri, serta pembiasaan saling mendengar dan mengapresiasi
sesama peserta didik.
Selain
membaca, siswa harus diberikan kecakapan menghitung. Pada enam tahun pertama
pendidikan dasar, tidak perlu diberikan pelajaran matematika yang rumit.
Negara, seperti Finlandia, dengan prestasi pendidikan yang hebat pun mulai
menghilangkan pelajaran matematika di sekolah dasar. Pada tingkat ini, cukuplah
diberikan pelajaran aritmatik sederhana sebagai dasar kecakapan hidup, yang
diterapkan langsung dalam praktik kehidupan. Pelajaran matematika bolehlah
mulai diperkenalkan pada kelas tujuh.
Pelajaran
membaca berkelindan dengan pelajaran menulis. Pelajaran menulis tidak sekadar
diletakkan di pojok mata pelajaran bahasa, tetapi subyek tersendiri yang
terintegrasi dengan seluruh mata pelajaran. Kecakapan menulis merupakan bekal
dasar bagi asah kemampuan logika, sistematika, meneliti, dan mencipta. Tak
heran, saat Amerika Serikat menyadari penurunan daya saing, solusi kurikulumnya
justru mewajibkan pelajaran mengarang di tingkat pendidikan dasar dan menengah
(Godzich, 1994). Menumbuhkan hasrat menulis pada gilirannya akan mendorong
semangat meneliti, baik lewat membaca ayat-ayat kitabiyah (buku), ayat-ayat
kauniyah (alam semesta), ayat-ayat tarikhiyah (sejarah), maupun ayat-ayat
nafsiyah (diri sendiri).
Di
situlah, anak terdidik agar kelebihan dirinya tak menimbulkan kacau-kaos,
melainkan beres-kosmos bagi kehidupan semesta.
Kedua,
kurikulum pendidikan dasar harus menyediakan peserta didik suatu wahana olah
rasa untuk mengasah daya-daya afeksi yang dapat memperkuat kepekaan estetik,
kehalusan perasaan, keindahan perangai, kepekaan empati dan solidaritas sosial,
sensitivitas daya spiritualitas, ketajaman rasa keadilan, semangat kebangsaan
(nasionalisme), dan gotong royong. Untuk itu, kurikulum pendidikan hendaklah
memberi perhatian pada pelajaran kesenian, moral keagamaan, kesejarahan,
pendidikan karakter personal dan kewargaan, wawasan kebangsaan dan kemanusiaan.
Ketiga,
kurikulum pendidikan juga harus memberi wahana olahraga untuk mengembangkan
ketahanan, ketangkasan, dan kesehatan jasmani, yang diperlukan sebagai sarana
fisik mengaktualisasikan segala potensi budi pekerti anak.
Tak
kurang dari filsuf pendidikan, seperti Socrates dan Plato, jauh-jauh hari telah
menekankan pentingnya pendidikan gimnastik (olah tubuh/fisik). Olahraga selain
menawarkan kesederhanaan dalam menghasilkan hidup sehat juga dapat
mengembangkan sportivitas, keriangan permainan, ketahanan mental, keberanian
mengambil risiko, semangat kerja sama, dan jiwa patriotisme.
Keempat,
kurikulum pendidikan harus menumbuhkan olah karsa yang dapat mendorong kemauan
peserta didik untuk mengembangkan kecakapan hidup dengan mengenali dan
mengaktualisasikan potensi kecerdasannya masing-masing.
Orientasi
pada pemuliaan ragam inteligensi menuntut perubahan sistem pembelajaran dari
"sekolah berorientasi kelas" menuju "sekolah berorientasi
individu". Kurikulum inti dibuat lebih terbatas untuk memberi keleluasaan
bagi siswa untuk mengambil subyek pilihan sesuai dengan minat dan bakatnya.
Konsekuennya,
fungsi guru bukan sekadar mengajar, melainkan sebagai penuntun untuk memantau
potensi dan kecenderungan setiap siswa; berperan sebagai broker kurikulum yang
membantu siswa mengembangkan potensi dan preferensinya; sekaligus menjadi
broker yang menghubungkan siswa dengan komunitas yang lebih luas. Minat dan
bakat siswa harus bisa dihubungkan dengan berbagai cerlang budaya dan pusat
teladan di lingkungan negara, pasar, dan masyarakat. Untuk itu, kerangka
insentif perlu diberikan pemerintah dan masyarakat kepada orang/institusi yang
menyediakan kesempatan belajar luar sekolah.
Alhasil,
sekolah di masa depan dituntut lebih menghargai keunikan dan otonomi individu
serta mengembangkan iklim yang kondusif untuk mentransformasikan pribadi unggul
menjadi kolektivitas unggul, dengan menempatkan kreativitas dan karakter di jantung
kurikulum.
Pembenahan
guru
Untuk
dapat mengemban tugas pendidikan seperti itu, guru juga harus diberi derajat
kebebasan yang lebih besar untuk mengembangkan kreativitas dan inovasinya dalam
proses pengajaran. Dalam kaitan ini, pengembangan kurikulum yang dikembangkan
pemerintah tak perlu terlalu kaku dan mendetail. Harus dihindari kecenderungan
ganti menteri ganti kurikulum. Sejalan dengan Pasal 38 Undang-Undang Sistem Pendidikan
Nasional (Sisdiknas) Tahun 2003, yang dilakukan pemerintah cukuplah
menggariskan "kerangka dasar dan struktur kurikulum". Selebihnya,
berikan kebebasan kepada guru untuk berimprovisasi. Pendidikan sebagai proses
pemerdekaan tidak bisa dicapai apabila gurunya sendiri terbelenggu.
Pada
titik ini, prioritas selanjutnya adalah peningkatan mutu guru. Seorang juru
didik memerlukan kecakapan yang lebih baik dari juru ukir. Jika seorang
pengukir kayu saja wajib mempunyai pengetahuan yang mendalam dan luas tentang
hakikat kayu dan teknik ukir, apalagi juru didik yang diharapkan mampu mengukir
manusia secara lahir dan batin.
Sungguh
ironis, perekrutan tenaga pendidik saat ini lebih mementingkan aspek- aspek
formal ijazah dan tingkat pendidikan, dengan melupakan kompetensi
didaktik-metodiknya. Sudah saatnya pesan UU Sisdiknas mengenai perlunya sekolah
guru berasrama segera diwujudkan. Tak cukup bekal kesarjanaan di berbagai
disiplin ilmu, para calon pendidik masih harus mendapatkan proses
penggemblengan dalam kecakapan ilmu pendidikan setidaknya selama satu tahun.
Itulah
peta jalan sederhana agar dunia pendidikan benar-benar menunaikan kerja
mendidik tunas-tunas harapan bangsa demi keselamatan dan kebahagiaan hidup
bersama. []
KOMPAS, 4
Agustus 2016
Yudi Latif | Penghayat Ajaran Ki Hajar Dewantara
Tidak ada komentar:
Posting Komentar