Melatih Ketidaklayakan, Mendidik
Ketidakpantasan
Oleh: Emha Ainun Nadjib
Ini semacam dongeng sebelum tidur buat
anak cucuku dan para jm. Kita tergeletak berjajar di lantai Langgar. Lampu
sudah dimatikan, kuharap di tengah dongengku jangan tiba-tiba kudengar ada yang
mengorok. Memang suaraku kubikin agak pelan, karena orang-orang yang di luar
Langgar tidak memerlukan dongeng ini. Meskipun demikian jangan sampai terjadi
nanti aku mendongeng berkepanjangan, ternyata kalian sudah tidur semua.
Pada zaman dulu ada seorang pengurus tertinggi
sebuah negeri yang memilih para staf atau punggawa-punggawanya menggunakan
Ngelmu Katuranggan.
Turangga artinya kuda. Para pemelihara kuda
meneliti dan memahami bermacam-macam karakter kuda, kecenderungannya, bakatnya,
staminanya, daya juangnya, mentalnya dan seluruh unsur-unsur kejiwaan dan
jasadnya. Peta pemahaman terhadap kuda ini ternyata kemudian bisa diterapkan
secara relatif kepada keberagaman manusia.
Sebuah negeri punya urusan yang beraneka-aneka.
Pertanian, perekonomian, politik, kebudayaan, pertahanan dan berpuluh
pembidangan lainnya. Si pengurus tertinggi negeri itu tidak sekedar
mengidentifikasi para bawahannya berdasarkan ciri pribadi atau kecenderungan
karakternya. Tetapi juga mempetakan perjodohan setiap orang dengan
urusan-urusan yang harus ditangani bersama.
Perjodohan tidak berlangsung hanya antara
lelaki dengan wanita. Bisa juga antara manusia dengan hewan peliharaan. Antara
setiap orang dengan arah dan mata angin, dengan jenis rumah, dengan susunan
pintu, tembok, kamar dan susunan depan belakangnya timur baratnya. Apakah itu
takhayul? Klenik? Gugon-tuhon? Khurafat?
***
Jawabannya: ya.
Kalau yang memberlakukan pola-pola itu tidak
mendasarinya dengan dua hal. Pertama, pengetahuan yang dibangun dengan
penelitian, baik secara ilmiah modern maupun secara titen-tradisional. Ia
memilih dan mempercayainya secara buta dan dengan keyakinan yang tanpa nalar.
Kedua, pemahaman bahwa Allah menciptakan besar kecil, atas bawah, arah-arah,
panas dingin, kemarin dan besok, jasad dan udara, juga antara apapun dengan
apapun — semua itu dengan suatu konsep. Tuhan menyusun itu semua dengan
kemauan yang jelas. Tuhan menempatkan, menjauhkan, mendekatkan, menempelkan,
merenggangkan, antara apapun dengan apapun. Semua itu empan-papan dan dengan
maqamat yang terang benderang di pandangan Penciptanya.
Termasuk gagasan Tuhan tentang anomali. Tentang
perkecualian dan pengecualian. Illalladzina… kecuali mereka yang….
Dan pengurus tertinggi negeri yang kuceritakan
ini sangat berhati-hati membaca jodoh tak jodoh itu. Sangat waspada terhadap
ketepatan, kelayakan, kepantasan. Misalnya ketika semua teori komunikasi
meyakini rumusan bahwa seorang petugas hubungan masyarakat adalah orang yang
fasih berbicara, yang lancar mengemukakan sesuatu, yang mumpuni kadar
kemampuannya untuk merangkum dan merangkai masalah-masalah — si pengurus
tertinggi negeri ini melakukan yang sebaliknya.
Ia memilih punggawa komunikasi yang agak gagap,
yang sangat lamban bicaranya, yang ekspressi wajah dan sorot matanya tidak
sedap dipandang, yang setiap tampil selalu menghabiskan waktu yang panjang
untuk informasi yang sedikit dan pendek.
Tentu saja pilihan ilmu dan metode yang
terbalik itu bisa dilatarbelakangi oleh maksud baik ataupun oleh niat buruk.
Tetapi bukan itu tekanan pembicaraan kita. Yang kita beber adalah batas
pengertian tentang kelayakan, kepantasan, ketepatan, empan-papan.
***
Puluhan tahun ia mengurusi seluruh aspek negeri
itu dengan pemahaman Katuranggan. Tidak sangat berhasil, tapi juga tidak bisa
disebut gagal. Tidak selalu benar, dan bahkan banyak salahnya. Tidak pasti
baik, bahkan sangat mudah orang mencari buruknya.
Tetapi minimal ia meletakkan lembu untuk
menarik gerobak. Kerbau untuk membajak sawah. Memakai wuwu atau jala untuk
menjaring ikan, meskipun ia tidak tertutup pada kemungkinan pukat harimau dan
kapal besar pengeruk ikan. Dalam mengurusi segala sesuatu, ia selalu sangat
berhati-hati meletakkan orang atau sesuatu, berdasarkan pemahaman Katuranggan,
ditambah Ngelmu Pranotomongso. Ilmu tentang momentum. Tentang ketepatan waktu,
di sisi ilmu tentang ketepatan ruang dan isi ruang.
Sesudah yang saya ceritakan ini,
berikut-berikutnya ada pengurus tertinggi negeri yang lain yang tidak
berpendapat bahwa ketepatan itu perlu. Atau minimal pengurus tertinggi yang ini
punya pandangan progresif bahwa ketepatan, kelayakan, kepantasan dan empan-papan
tidak selalu terikat pada ilmu baku Katuranggan dan Pranotomongso.
Ada sesuatu yang tampak tidak tepat tapi
kemudian malah menghasilkan ketepatan. Bahkan ada ketidaktepatan yang justru
merupakan suatu jenis ketepatan. Orang yang pekerjaan sehari-harinya menyabit
rumput dan menggembalakan kambing dijadikan ketua nelayan. Jago rally motor
diberi tanggung jawab nyetir truk antar kota. Bahkan orang yang badannya
sakit-sakitan disuruh jadi ketua perguruan silat, hafidh Quràn diamanati jadi
kepala teknologi.
Sejak itu penduduk seluruh negeri dibiasakan
untuk melihat, merasakan dan mengalami banyak hal yang tidak empan-papan.
Masyarakat dilatih untuk memaklumi ketidaktepatan. Rakyat dididik untuk
terbiasa menelan ketidakpantasan.
Sejak itu sampai hari ini semua orang terbiasa
memaafkan pelanggaran-pelanggaran hahekat hidup. Terbiasa memaklumi jagoan
pasar menjadi wakil rakyat. Terlatih untuk permisif untuk ibarat orang shalat
berjamaah: diimami oleh orang yang dalam keadaan najis mugholladloh.
Sejak itu rakyat tidak merasa heran melihat
siapapun menjadi apapun. Kursi pemimpin, Kiai, pejabat, tokoh dan apapun yang
tinggi-tinggi boleh diisi oleh siapapun tanpa hitungan kelayakan, kredibilitas,
hak ilmiah, proporsi nalar atau pola logika ekspertasi, kepantasan budaya
maupun kelayakan sosial.
Sejak itu budak boleh jadi raja, raja tak
mengherankan ketika melorot jadi budak. Sejak itu kebun-kebun buah dititipkan
kepada kera-kera. Sejak itu kumpulan perampok dipasrahi mengamankan gudang dari
maling-maling. []
Dari CN kepada anak-cucu dan JM
Yogya 22 Februari
2016