Rabu, 10 September 2014

(Ngaji of the Day) Cara Mewakilkan Haji



Cara Mewakilkan Haji

Ibadah haji memerlukan biaya, sarana transportasi dan kesiapan fisik. Haji adalah ibdah fisik (al-ibadah al-badaniyah) sekaligus harta (al-ibadah al-maliyah). Allah swt. tidak membebani hambanya kecuali sebatas kemampuannya. Oleh sebab itu kewajiban haji sebagai rukun Islam kelima, terbatas pada kaum muslimin yang mampu menunaikannya. (al-Fiqh ala madzahibil arb’ah).

Berbeda dengan ibadah-ibadah lainnya, ibadah haji hanya bisa dilangsungkan di tanah suci. Thawaf harus mengeitari Ka’bah. Sa’i dari bukit Shofa dan Marwah. Wukuf dilaksanakan di padang Arafah.

Ibadah haji memerlukan biaya, sarana transportasi dan kesiapan fisik. Haji adalah ibdah fisik (al-ibadah al-badaniyah) sekaligus harta (al-ibadah al-maliyah). Allah swt. tidak membebani hambanya kecuali sebatas kemampuannya. Oleh sebab itu kewajiban haji sebagai rukun Islam kelima, terbatas pada kaum muslimin yang mampu menunaikannya. (al-Fiqh ala madzahibil arb’ah).

Pada prinsipnya sebagai ibadah badaniyah, haji harus dilakukan sendiri. dalam kondisi normal, di mana yang bersangkutan mampu mengerjakan sendiri, haji tidak boleh diwakilkan kepada orang lain.

Tetapi dalam kondisi sakit yang kronis dan tidak mungkin diharapka kesmebuhannya, sebagai ibadah maliyyah, menurut pendapat mayoritas ulama, haji boleh diwakilkan kepada orang lain. Begitu pula orang yang meninggal dunia dalam keadaan belum pernah menunaikan ibadah ini, padahal yang bersangkutan sudah mampu. Diceritakan di dalam hadis shahih seorang perempuan dari Khats’am berkata kepada Rasulullah saw:

يارسول الله إن فريضة الله على عباده فى الحج ادركت أبى شيخا كبيرا  لا يثبت على الراحلة افأحج عنه؟ قال نعم (متفق عليه)

Wahai Rasulullah sesungguhnya kewajiban haji berlaku atas hamba-hamba Allah. Saya menjumpai bapak saya telah tua dan tidak mampu duduk di atas kendaraan. Apakah saya mengerjakan haji atas namanya? Beliau menjawab “ya”. (Muttafaq alaih)

Oleh sebab itu para fuqaha mengklasifikasikan istita’ah (kemampuan haji) menjadi dua, istitha’ah binafsih dan istitha’ah bi ghairih. Istitha’ah binafsih artinya, sanggup mengerjakan haji sendiri. Istitha’ah bi ghairih, ketika seseorang karena alasan sakit atau termakan usia tidak mampu berangkat sendiri, tetapi memiliki uang untuk menyewa orang lain melakukan haji atas namanya. (al-Fiqh al-Islami).

Seseorang dianggap telah istitha’ah bi gahirih, apabila mempunyai uang dalam jumlah yang cukup untuk membayar orang lain mengerjakan haji menurut ukuran lumrah yang berlaku di masyarakat (ujrah misl).
Transaksi anatara orang yang mewakilakan dan wakil atau badal termasuk akad ijarah. Sehingga tidak ada batasan yang baku mengenai uapah yang harus diberikan. Yang terpenting terdapat kata sepakat antara keduanya, atau dalam bahasa fiqihnya disebut an’taradhin. Mungkin juga si wakil tidak meminta bayaran sepeserpun, semata-mata ingin membantu orang. Hal ini sangat mungkin terjadi, bila mana antara keduanya terjalin hubungan kekerabatan misalnya.

Orang yang sah ditunjuk menjadi wakil atau badal adalah orang yang memiliki kompetensi untuk mengerjakan haji, yaitu mukallaf (muslim, baligh, dan berakal), dan mampu melakukannya. Tidak dibenarkan mewakilkan kepada orang yang belum pernah mengerjakan haji untuk dirinya sendiri. Hendaknya dicarikan orang yang dapat dipercaya (al-mautsuq bih), untuk menghindari hal-hal yang tidak diinginkan. Wakil melakukan ihram atas nama orang yang mewakilkan. Ihram dari miqat orang yang diwakili (al-fiqh al-Islami juz III). []

Sumber: KH. MA. Sahal Mahfudh, 2010. Dialog Problematika Umat, LTN – Khalista.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar