Senin, 15 September 2014

Kang Sobary: Memeras Secara Imajiner



Memeras Secara Imajiner
Oleh: Mohamad Sobary

Kata memeras itu biasanya berhubungan dengan benda-benda nyata di dalam kehidupan kita sehari-hari. Bagi para peternak lembu perah, atau kambing etawa, kata memeras, biasanya disebut ”memerah”, berhubungan dengan susu, untuk memperoleh apa yang kita banggakan sebagai minuman segar dan sehat.

Boleh jadi malah disebut paling segar dan paling sehat. Peras memeras di sini sehat dan menyehatkan. Bagi mereka yang memiliki ketangkasan luar biasa, memeras, dan sekali lagi diganti sebutan menjadi ”memerah” tadi, juga berhubungan dengan benda, yaitu hewan, tetapi yang diperahnya bukan lagi lembu atau kambing, melainkan kuda liar. Sulit membayangkan kuda liar bisa tunduk dan taat ketika ada orang yang datang menangkapnya, dan berusaha memerah susunya.

Di dalam khasanah kehidupan orang ”prairie”, padang rumput di zaman ”wild wild west”, yaitu surganya orang Indian, yang sekarang menjadi Amerika Serikat itu, orang yang bisa berbuat begitu mungkin dapat dihitung dengan jari. Dan di dalam jumlah terbatas itu ada nama Old Shatterhand. Seliar apa pun seekor kuda, yang kekuatannya tak terhingga, Old Shatterhand mampu mengatasinya, sampai si kuda mandi keringat dan kehabisan tenaga. Tapi peras-memeras di dalam birokrasi lain.

Pemerasan di sana hampir tak menggunakan tenaga. Si pemeras boleh jadi tersenyum. Boleh jadi pula sambil sedikit melemparkan ucapan ini dan itu di balik senyumnya tadi. Sering kedua belah pihak berhadapan di suatu tempat rahasia, dan keduanya kelihatan akrab seperti dua sahabat yang lama tak bertemu Tak jarang pula mereka berjauhan satu dari yang lain. Jadi, ”memerah” susu harus berhadapan, dalam jarak berdekatan tetapi memeras di dalam birokrasi tidak.

Yang diperas tak harus tersentuh. Dan pihak yang memeras tak harus menggunakan tangan. Inilah jenis pemerasan imajiner yang kita kenal di sebagai tingkah laku serong, atau selingkuh, dari aturan dan tata karma birokrasi. Kecuali imajiner, pemerasan di dalam birokrasi juga halus, dan lembut. Ancaman pun, jika diperlukan, dengan sendirinya sangat lembut, super halus, dan simbolik sekali sifatnya.

Sama dengan pemerasan kaum mafioso yang menggetarkan manusia biasa. Novel The God father, dan filmnya, yang tetap memakai judul yang sama, bisa menjadi contoh aktual mengenai bagaimana kelembutan pemerasan yang justru terjadi di dalam liarnya dunia gelap di bawah tanah. Kaum mafioso tak perlu mengancam dengan kata-kata.

Birokrat yang sadar akan kekuasaannya, apalagi pada tingkat menteri, juga tak perlu mengancam. Lagi pula tak jarang bahwa peras memeras di dalam birokrasi itu dilakukan berdasarkan perasaan ”suka sama suka” karena ada kepentingan masing-masing yang sedang diperjuangkan. Di sini jelas tak perlu ada ancaman.

Bersikap lembut atau kasar, menggunakan gaya preman terminal bus maupun meminjam gaya mafioso, pemerasan di dalam birokrasi dikategorikan ke dalam tindak pidana korupsi. Dan pada hari ini, kita tahu bahwa korupsi berhadapan langsung dengan KPK, yang tak kenal tawar-menawar, dan tak bisa disogok.

Korupsi ya korupsi. Dan barang siapa yang terbukti korupsi, bukan hanya dikenai tindak pidana kurungan, tapi juga dipermalukan. Di dalam masa genting ketika uang negara, yaitu jatah kesejahteraan rakyat dimakan para pejabat dengan cara yang begitu kejam, melawan kemanusiaan yang sudah terluntalunta, siapa pun yang krup dihukum.

Tak peduli ia pejabat tinggi, pejabat tertinggi, keluarga mereka, saudara mereka, besan mereka, orang tua mereka, mertua mereka, atau istri dan anak, atau anak-anak mereka, semua ditangkap, diadili dan dihukum. Para pejabat KPK mulai lebih serius, dan bergerak menyerang perasaan mereka karena tanpa itu kelihatannya hukuman tak menimbulkan efek jera. Kejutan dibikin, dan menggetarkan semua pihak.

Jangan ada yang menyangka bahwa di akhir masa jabatan berarti segalanya sudah berakhir. Banyak pihak ditangkap dan diperiksa sebelum pada akhirnya dijatuhi hukuman. Memeriksa pejabat di akhir masa jabatan itu membikin orang, kecuali badak, menjadi takut. Jadi banyak yang kelihatannya akan ditangkap KPK.

Dan banyak yang ditangkap, lalu diadili, dan dihukum, itu baiknya bukan main. KPK telah menegakkan rasa keadilan yang selama ini dihancurkan para pejabat sendiri. Bila seseorang ditangkap dan tidak ada bukti bahwa dia, sang birokrat, menerima uang? Itu tetap masalah. Tak menerima uang tapi memperkaya orang lain, orang itu kena pasal yang hukumannya tak bisa ditawar-tawar tadi. Dia tak makan sepeser pun uang tapi tindakannya merugikan negara, itu juga korupsi.

Dia tak mengantongi sepeser pun uang pun dari hasil kebijakannya, tapi karena kebijakannya itu membuatnya memperoleh hadiah suatu jabatan, tak peduli dia siapa, teman siapa, anak siapa, dan apa partainya, dia jelas korupsi. Dan kita tahu, dia harus dihukum. Dia dikategorikan korupsi kebijakan. Dan korupsi jenis ini lebih berbahaya. Korupsi kebijakan bisa merugikan negara dalam jumlah sangat besar.

Tapi lebih dari itu, korupsi kebijakan yang tergolong tak merugikan negara, tetapi merugikan hakhak warga masyarakat, terutama warga masyarakat miskin yang tak berdaya, ini lebih berbahaya, dan hukumannya harus lebih besar. Korupsi kebijakan hanya bisa dilakukan oleh mereka yang memegang kebijakan.

Kita belum cukup jelas bagaimana Pak Jero Wacik, abdi dalem ”kinasih ”, dan tangan kiri sekaligus tangan kanan Bapak Presiden, dikabarkan melakukan pemerasan? Bagaimana orang yang kelihatannya ”senyam-senyum” melulu, dan kata-katanya begitu patriotik, melakukan tindakan yang disebut memeras? Bagaimana dia memeras? Mengapa istri dan anaknya juga diduga terlibat di dalam peras memeras itu?

Media belum menjelaskan secara tuntas. Apakah gengsinya merosot dari langit ke bumi? Siapa pembela-pembelanya? Membela koruptor sebaiknya juga dikategorikan tindakan korupsi, karena jika dia dibayar dengan uang hasil korupsinya tadi. Maling, garong, kecu, perampok, pembunuh, harus dibela supaya mereka diperlakukan secara adil. Tapi bagaimana kalau koruptor dibikinkan aturan khusus, tegas dan keras, bahwa mereka tak perlu dibela?

Alasannya jelas: memerah susu lembu, kambing etawa atau kuda liar itu pemerasan yang sehat dan menyehatkan. Tapi pemerasan di birokrasi, biarpun kelihatannya imajiner, jelek, tidak sehat, berbahaya, dan menghancurkan kehidupan. Seimajiner apa pun, memeras itu korupsi yang menghancurkan kemanusiaan. []

KORAN SINDO, 08 September 2014
Mohamad Sobary  ;   Anggota Pengurus Masyarakat Bangga Produk Indonesia, untuk Advokasi, Mediasi, dan Promosi

Tidak ada komentar:

Posting Komentar