Selasa, 09 September 2014

BamSoet: Penumpang Gelap Jokowi-JK



Penumpang Gelap Jokowi-JK
Oleh: Bambang Soesatyo

Mahkamah Konstitusi sudah memutuskan pemenang Pemilihan Presiden 2014 yaitu Joko Widodo-Jusuf Kalla (Jokowi-JK).

Namun, hingga kini format kabinet kerja yang profesional yang selalu didengungkan masih belum jelas. Banyak kalangan terus penasaran. Mampukah keduanya menangkal penetrasi kelompok kepentingan? Kegagalan keduanya akan dengan mudah dilihat publik jika ada penumpang gelap dalam formasi kabinet mereka. Menunggu kehadiran pemerintah baru, sejumlah pemerhati masih menggarisbawahi pernyataan bernuansa komitmen Jokowi dalam debat kandidat calon presiden putaran terakhir.

Dia saat itu menegaskan, ”Dalam (sektor) tambang, minyak, dan gas memang banyak kelompok kepentingan. Semua sudah tahu pembagiannya. Tapi, apakah kita punya keinginan untuk hentikan itu? Jika kelompok kepentingan itu masih ada, kita akan begini terus. Kami (Jokowi-JK) tidak ingin terbebani dengan masa lalu.” Kelompok kepentingan, atau dalam istilah lain disebut juga mafia, akan selalu ada, bahkan tak jarang berdampingan dengan sebuah rezim pemerintahan.

Kelompok-kelompok itu tak pernah jauh dari pusat kekuasaan karena mereka punya andil dalam proses keterpilihan seorang pemimpin. Target utama mereka bukan sekadar balik modal, melainkan meraih untung sebesar-besarnya. Mereka mengincar proyek-proyek pemerintah yang profitable atau meminta konsesi. Figur-figur dari kelompok kepentingan itu tak akan pernah menampakkan wujud atau batang hidung mereka di sidang kabinet atau ruang kerja menteri.

Dibuat kesan bahwa mereka tak pernah ada karena kelompok- kelompok itu hanya perlu bermanuver di belakang layar. Lantas, siapa ujung tombak kelompok kepentingan itu di pemerintahan atau di sidang kabinet? Bisa presidennya sendiri atau menteri. Maka itu, ketika Jokowi memberi isyarat untuk tidak akan menanggapi dan tidak memberi akses bagi kelompok-kelompok kepentingan memengaruhi kebijakan pemerintahannya, ia diacungi jempol. Tetapi, pada saat bersamaan, muncul juga pertanyaan.

Mampukah presiden-wakil presiden terpilih menangkal penetrasi kelompok-kelompok kepentingan yang sudah lama bergentayangan di republik ini? Benarkah Jokowi atau bahkan Prabowo bebas dari sponsor kelompok ini? Wallahualam.

Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pernah menegaskan bahwa dari aspek skala, korupsi terbesar terjadi di sektor energi. Modusnya bukan hanya rekayasa perjanjian bagi hasil dengan kontraktor asing atau cost recovery.

Modus lainnya adalah monopoli dan rekayasa harga dalam perdagangan bahan bakar minyak (BBM). Modus ini mengambil untung dari program subsidi BBM yang membuat APBN berantakan dan tak berdaya. Penangguk untung terbesar dari modus ini kelompok kepentingan yang disebut publik sebagai mafia migas. Modus korupsi ini bisa berkesinambungan karena mafia migas itu punya orang kuat di kabinet. Kelompok kepentingan lainnya bersekutu dalam kartel. Mereka memonopoli impor sejumlah komoditas kebutuhan pokok rakyat.

Ada kartel kedelai, kartel bawang putih, hingga kartel daging sapi. Tentu saja kartel-kartel ini punya jagoan di kabinet sehingga mereka bisa mendapatkan hak monopoli impor itu. Ulah kartel-kartel ini sempat sangat keterlaluan dan merugikan masyarakat karena merekayasa kelangkaan untuk mendongkrak harga kedelai, bawang putih, hingga daging sapi. Ambisi Jokowi untuk mengakhiri sepak terjang kelompok kepentingan itu memang sangat ideal dan menjadi harapan seluruh rakyat.

Tetapi, apakah Jokowi-JK cukup kuat untuk mengatakan ”tidak” pada kelompok-kelompok kepentingan? Inilah yang masih ditunggu khalayak. Tetapi, di ruang publik para pemerhati mulai mengembuskan bisik-bisik. Ada yang sudah melihat bahwa kelompok kepentingan bahkan sudah menempel ketat tim pemenangan Jokowi-JK. Tak hanya itu, ada juga yang melihat figur penganut neoliberalisme di sekitar Jokowi-JK. Memang mengkhawatirkan kelompok kepentingan di sekitar Jokowi-JK pada tahap persiapan transisi sekarang ini mungkin agak berlebihan. Tetapi, Jokowi-JK perlu mewaspadai ini agar kabinet dan pemerintahan mereka nanti tidak disusupi penumpang gelap.

Suara Publik

Salah satu orang kepercayaan Jokowi yang paling banyak dipergunjingkan akhir-akhir ini adalah Kepala Staf Tim Transisi Rini Mariani Soemarno. Kapabilitas dan kompetensi Rini memang tak perlu diragukan. Dia pernah magang di Departemen Keuangan AS, menjabat vice president Citibank, dan presiden direktur PT Astra International yang mengelola pemasaran sejumlah merek mobil dari Jepang dan Eropa.

Dengan rekam jejak seperti itu, sangat mudah bagi publik untuk mengaitkan Rini dengan kepentingan sejumlah kelompok usaha asing berskala multinasional. Toyota, Daihatsu, dan Isuzu yang bernaung dalam Astra tentu khawatir dengan masa depan pangsa pasar mereka jika Jokowi bersikukuh terus mendukung pengembangan mobil SMK. Ketika itu terjadi, patut untuk diasumsikan bahwa tiga raksasa industri automotif dari Jepang itu akan mendekati Rini sebagai teman lama guna memengaruhi arah kebijakan Pemerintah Indonesia di bidang industri automotif.

Kedatangan senator Amerika Serikat (AS) John McCain ke Jakarta baru-baru ini juga memunculkan beragam tafsir. Orang penting dari Partai Republik AS itu datang ke Jakarta ketika masalah perpanjangan kontrak PT Freeport Indonesia seperti tidak berkepastian. Kedatangan McCain mengingatkan publik pada kunjungan Menteri Luar Negeri AS Condoleezza Rice ke Jakarta pada 14-15 Maret 2006. Rice, juga dari Partai Republik, terbang ke Jakarta ketika sengketa Pertamina dengan perusahaan minyak asal AS, ExxonMobil, untuk menjadi operator ladang minyak Blok Cepu berlarut-larut.

Hanya sehari sebelum Rice mendarat di Jakarta, pemerintah menunjuk ExxonMobil sebagai pengendali Blok Cepu. Pemerintah memaksa Pertamina mengalah. Maka itu, boleh jadi, McCain juga datang ke Jakarta membawa titipan aspirasi kelompok kepentingan dari AS untuk perpanjangan kontrak Freeport. McCain memang hanya menemui pimpinan DPR/MPR serta Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan tidak bersilaturahmi dengan Jokowi-JK. Tetapi, bisa dipastikan bahwa akan ada orang yang dipercaya menyampaikan pesan McCain itu kepada Jokowi-JK.

Ketika persoalan Freeport dibuat final nanti, di situ publik menafsirkan bagaimana Jokowi-JK menyikapi perilaku kelompok kepentingan AS itu. Kesediaan Samsung memproduksi ponsel di Indonesia juga tak lepas dari peran kelompok kepentingan. Duta Besar Korea Selatan untuk Indonesia, Cho Tai-young, sudah memberi kepastian tentang keputusan Samsung itu dalam pertemuan dengan Jokowi di Kantor Gubernur DKI baru-baru ini. Kelompok kepentingan yang berhasil memaksa Samsung mungkin saja akan meminta kompensasi kepada tim Jokowi-JK.

Jadi, ada beragam cara dan strategi yang bisa digunakan kelompok- kelompok kepentingan untuk mengusulkan sosok calon menteri. Pola pendekatannya nyaris sama dengan praktik koalisi parpol yang bagi-bagi kursi menteri. Anda memberi sesuatu, Anda pun mendapatkan sesuatu sebagai imbalannya. Dalam proses seperti itulah akan muncul penumpang gelap dalam kabinet Jokowi-JK. Disebut penumpang gelap karena menteri titipan dari kelompok kepentingan bisa merusak strategi presiden untuk merealisasikan visi dan misi yang dijanjikannya semasa kampanye.

Tentu saja rakyat berharap Jokowi-JK tegar menghadapi kelompok kepentingan. Ajakan kepada publik untuk memberi masukan tentang kandidat menteri adalah ide segar yang diharapkan bisa memberi kekuatan tambahan bagi presiden terpilih dalam membentuk kabinet. Masukan dari partai pengusung, relawan, dan tim internal Jokowi-JK mestinya memberi keleluasaan lebih bagi Jokowi-JK untuk menentukan mana figur yang layak dan tidak layak untuk menjabat menteri.

Harapan kita, pasangan Jokowi-JK yang telah dimenangkan MK ini nanti, tidak lagi mengulangi kekeliruan pemerintahan sebelumnya yang lebih mengandalkan praktik pencitraan, dengan gincu dan bedak tebal guna menutupi bopeng- bopeng pemerintahan yang amburadul. Selamat bekerja! []

KORAN SINDO, 04 September 2014
Bambang Soesatyo  ;   Anggota Komisi III DPR RI, Presidium Nasional KAHMI 2012- 2017, Wakil Ketua Umum Kadin Indonesia

Tidak ada komentar:

Posting Komentar