Senin, 08 September 2014

(Buku of the Day) Rekam Jejak Radikalisme Salafi Wahabi, Sejarah, Doktrin dan Akidah



Rekam Jejak Sang Perusak


Judul                : Rekam Jejak Radikalisme Salafi Wahabi, Sejarah, Doktrin dan Akidah
Penerbit            : Khalista, Surabaya
Penulis             : Achmad Imron R.
Cetakan            : April 2014
Tebal                : xxviii + 303 hlm.
Peresensi          : Aryudi A. Razaq, kontributor NU Online Jember

Dalam satu dasa warsa terakhir ini, pergerakan kaum Salafi-Wahabi di Indonesia begitu massif. Saat ini kita tidak sulit menjumpai lelaki yang berpenampilan “syaikh” dengan menggunakan  gamis  dan celana cingkrang, lengkap dengan cambang dan jenggotnya yang menggantung. Sementara yang perempuan, seluruh tubunya dibalut dengan kain, kecuali matanya. Busana tersebut memang menjadi ciri khas kaum Salafi-Wahabi. Sekilas kita menduga bahwa meraka adalah bagian dari kita. Lebih-lebih mereka selalu berkoar dan mengklaim diri sebagai satu-satunya representasi kelompok Ahlussunah wal Jama’ah. Jargon-jargon yang mereka teriakkan juga sangat islami,  misalnya “mari kembali kepada ajaran al-Quran dan Sunnah, tidak ada tempat meminta kecuali kepada Allah” dan sebagainya. 

Sekilas gerakan puritan mereka, terkesan sangat  islami, paling bertauhid, dan seterusnya. Tapi kita jangan silau, apalagi terjebak dalam kamuflase amaliah mereka. Mereka sesungguhnya adalah kelompok yang justru ingin mengikis habis amalan-amalan Ahlussunah wal Jama’ah versi NU khususnya dan umat Islam umumnya.

Buku ini mengulas rekam jejak sejarah “kelakuan” Salafi-Wahabi yang begitu ekstrem. Dikatakan ekstrem karena kelompok ini selalu memberi stempel kafir kepada umat Islam yang bertentangan dengan ajarannya.  Mereka “mengisolasi diri” dalam komunitasnya, karena mengangap najis orang lain yang tidak satu “akidah” dengan mereka. Mereka menganggap wajib memusuhi, bahkan memerangi orang di luar mereka, kendati dia orang tuanya sendiri.

Sesungguhnya, Muhammad bin Abdil Wahhab, --sang pendiri Wahabi—dan para pengikutnya mempunyai catatan hitam dalam lembar sejarah pergerakan mereka. Orang-orang yang suka tawassul, ziarah kubur dan sebagainya dinilainya sebagai ahli bid’ah, kafir dan syirik. Karena itu, darah mereka diangggap halal. Dalam prakteknya, kelompok Wahabi tak segan-segan membunuh orang yang dianggap kafir itu, kemudian hartanya diambil sebagai harta rampasan (Hal. 2). Bahkan, seorang hakim, Utsman bin Mu’ammir  dibunuh di dalam masjid usai shalat Jumat. Tidak hanya itu, istananya juga  dihancurkan oleh Muhammad bin Abdil Wahhab dan para pengikutnya lantaran dianggap mbalelo (Hal. 30).

Sejarah telah membuktikan betapa kejam prilaku Wahabi dalam menyikapi perbedaan dalam agama Islam. Tahun 1216 Hijriyah, Wahabi memasuki daerah Karbala untuk misi dakwahnya. Bukan berdakwah, tapi memerangi penduduk setempat karena dianggap melawan ajarannya. Mereka dengan sadisnya menghabisi orang-orang di pasar-pasar dan rumah-rumah. Hampir 1000 penduduk mati di tangan Wahabi. Hartanya juga dikuras.

Di tahun yang sama, Koka Makkah juga menjadi sasaran. Pasukan Abdul Aziz dan Utsman –tokoh Wahabi— memasuki Makkah tanpa peperangan. Meski masuk dengan damai, namun mereka juga masih memerangi penduduknya. Mereka mendatangi penduduk dari rumah ke rumah untuk dibunuh dan  diambil hartanya.

Mereka menetap di Makkah selama 20 hari karena sibuk menghancurkan masyhad-masyhad dan kubah-kubah makam setiap harinya. Tak ada satupun masyhad dan kubah yang tersisa. Semua diratakan dengan tanah (Hal. 42). Kubah makam, memang salah satu bangunan yang dinilai bid’ah oleh Wahabi

Sebenarnya, ajaran  Muhammad bin Abdil Wahhab –dedengkot Wahabi-- ketika itu banyak ditentang oleh umat Islam. Ayahnya sendiri, Syaikh Abdul Wahhab juga menentang keras ajaran yang dikembangkan anaknya. Konon, ia sudah mempunyai firasat buruk terhadap anaknya itu, yang ditengarai akan membawa kesesatan dan kerusakan pada umat. Kakak kandungnya, Sulaiman bin Abdil Wahhab juga masuk di barisan utama penentang ajaran Muhammad bin Abdil Wahhab. Ia membantah habis-habisan ajaran adiknya itu. Di antara bantahannya itu, ia tulis dalam kitab ash-Shawaiq  al-Ilahiyah fi  Radd ‘ala Wahhabiyah dan Fashl al-Khitab fi Madzhab Muhammad bin Abdil Wahhab dan sebagainya (Hal. 6).

Dalam perkembangannya setelah itu, ada 129 ulama kesohor dari madzhab empat yang menolak ajaran Wahabi. Dengan ratusan kitab, mereka menelanjangi doktrin yang diajarkan Muhammad bin Abdil Wahhab (Hal. 49).

Kendati demikian, Muhammad bin Abdil Wahhab dan para pengikutnya ramai-ramai mengingkari dan membantah kitab-kitab yang mementahkan doktrin mereka. Biar anjing menggonggong, kafilah tetap berlalu. Nyatanya, sampai kini Wahabi tetap eksis, malah penetrasinya semakin meluas. Itu karena didukung oleh Kerajaan Arab Saudi. Di Indonesia, ajaran Wahabi yang dibawa oleh “santri-santri” Timur-Tengah bermetamorfosis menjadi Salafi.

Hanya gerakan Salafi di Indonesia, tidak seradikal di Arab Saudi dan negara-negara Timur-Tengah lainnya. Sebab, Salafi di Indonesia masih tergolong minoritas. Tapi kalau sudah menjadi kelompok menengah secara kuantitas, apalagi mayoritas, bukan tidak mungkin gerakan-gerakan ektrem dan kejam akan dipertontonkan Salafi. Rekam jejak Wahabi sebagai perusak ketenangan, kedamaian dan kerukunan antar umat Islam, sudah terbukti di daerah asalnya.

Buku ini patut dibaca oleh umat Islam yang menginginkan kedamaian dan menjunjung tinggi pluralitas agar bisa berhati-hati terhadap sepak terjang dan pengaruh Salafi. Ditulis dengan mengambil referensi kitab-kitab yang ditulis oleh tokoh Wahabi yang sudah insyaf atau sejarawan Wahabi, sehingga “kabar” mengenai radikalisme kekejaman Wahabi bisa dipertanggug jawabkan. []

Tidak ada komentar:

Posting Komentar