Senin, 15 September 2014

(Ngaji of the Day) Hukum Perempuan Haji dalam Masa Iddah Setelah Ditinggal Mati Suami



Hukum Perempuan Haji dalam Masa Iddah Setelah Ditinggal Mati Suami

Pertanyaan:

Assalamu’alaikum wr. wb. Pak ustad, saya mau nanya mengenai hajinya perempuan yang dalam masa iddah karena ditinggal mati suami. Karena saya mendengar bahwa perempuan yang masih dalam masa iddah karena ditinggal mati suaminya tidak boleh pergi haji. Padahal dia sudah menunggu antrian ini selama tujuh tahun, mengeluarkan biaya yang tidak sedikit. Namun ketika mau berangkat suami meninggal dunia. Apakah ada pandangan yang memperbolehkan perempuan yang sedang menjalani iddah karena ditinggal mati suaminya pergi haji? Atas penjelasannya saya sampaikan terimakasih.

Wassalamu’alaikum wr. wb.
Wulan/Kalbar

Jawaban:

Wa'alaikum salam wr. wb. Penanya yang budiman, semoga selalu dirahmati Allah swt. Ibadah haji adalah salah satu rukun Islam, dan diwajibkan sekali seumur hidup bagi orang yang sudah mampu melaksanakannya. Momen pergi haji adalah merupakan momen yang sangat dinanti-nanti dan diharapkan setiap Muslim, tak terkecuali penduduk Muslim Indonesia.

Pergi haji bahkan sudah menjadi dambaan setiap Muslim. Tetapi untuk bisa menunaikan rukun Islam tersebut harus butuh perjuangan dan kesabaran yang luar biasa. Terbatasnya kuota haji menyebabkan calon jamaah haji Indonesia harus bersabar menunggu antrian minimal lima tahun sampai sepuluh tahun, bahkan lebih.

Kita tidak bisa membayangkan bagaimana semuanya sudah dipersiapkan sejak lama baik material maupun non-material. Namun tiba-tiba pas mau berangkat ternyata terhalang iddah yang belum selesai. Padahal belum tentu juga tahun depan bisa mendapatkan kesempatan.

Sebagaimana yang kita ketahui bersama bahwa iddah seorang perempuan yang ditinggal mati suaminya adalah empat bulan sepuluh hari. Hal ini sebagaimana ditegaskan dalam firman Allah swt berikut ini:

وَالَّذِينَ يُتَوَفَّوْنَ مِنكُمْ وَيَذَرُونَ أَزْوَاجاً يَتَرَبَّصْنَ بِأَنْفُسِهِنَّ أَرْبَعَةَ أَشْهُرٍ وَعَشْراً فَإِذَا بَلَغْنَ أَجَلَهُنَّ فَلاَ جُنَاحَ عَلَيْكُمْ فِيمَا فَعَلْنَ فِي أَنْفُسِهِنَّ بِالْمَعْرُوفِ وَاللَّهُ بِمَا تَعْمَلُونَ خَبِيرٌ -البقرة: 234

“Orang-orang yang meninggal dunia di antaramu dengan meninggalkan istri-istri (hendaklah para istri itu) menangguhkan dirinya (beridah) empat bulan sepuluh hari. Kemudian apabila telah habis idahnya, maka tiada dosa bagimu (para wali) membiarkan mereka berbuat terhadap diri mereka menurut yang patut. Allah mengetahui apa yang kamu perbuat”. (Q.S Al-Baqarah [2]: 234)

Mayoritas ulama menyatakan bahwa perempuan yang menjalani iddah karena ditinggal mati selama menjalani masa iddahnya harus tinggal di rumahnya. Karenanya ia tidak boleh keluar untuk pergi haji dan lainnya.

وَجُمْلَتُهُ أَنَّ الْمُعْتَدَّةَ مِنَ الْوَفَاةِ لَيْسَ لَهَا أَنْ تَخْرُجَ إِلَى الْحَجِّ وَلَا إِلَى غَيْرِهِ رُوِيَ ذَلِكَ عَنْ عُمَرَ وَعُثْمَانَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا وَبِهِ قَالَ سَعِيدُ بْنُ الْمُسَيَّبِ وَالْقَاسِمُ وَمَالِكٌ وَالشَّافعي وَأَبُو عُبَيْدٍ وَأَصْحَابُ الرَّأْيِ وَالثَّوْرِيُّ

“Secara global perempuan yang sedang menjalani masa iddah karena ditinggal mati suaminya tidak boleh perg haji dan selainnya. Pandangan ini diriwayatkan dari sayyidina ‘Umar ra dan ‘Utsman ra. Pandangan ini kemudian dikemukakan oleh Sa’id bin al-Musayyab, al-Qasim, Malik, asy-Syafi’i, Abu ‘Ubaid, kalangan rasionalis (pengikut Madzhab Hanafi, pent) dan ats-Tsauri” (Ibnu Qudamah, al-Mughni, Bairut-Dar al-Fikr cet ke-1, 1405 H, juz, 9, h. 184)

Mereka berdalil dengan perintah Rasulullah saw kepada Furai’ah binti Malik bin Sinan yang ditinggal mati suaminya, agar tetap tinggal di rumahnya sampai selesai masa iddahnya. Lantas ia pun menjalani iddahnya selama empat bulan sepuluh hari.

  امْكُثِي فِي مَسْكَنِ زَوْجِكِ الَّذِي جَاءَكِ فِيهِ نَعْيُهُ حَتَّى يَبْلُغَ الْكِتَابُ أَجَلَهُ قَالَتْ فَاعْتَدَدْتُ فِيهِ أَرْبَعَةَ أَشْهُرٍ وَعَشْرً-رواه أحمد

“Tinggallah di rumah suamimu dimana datang di dalam rumah tersebut berita duka kematiannya kepadamu sampai selesai masa iddah. Maka aku pun menjalani masa iddah selama empat bulan sepuluh hari di rumah tersebut” (H.R. Ahmad).

Namun ada pandangan lain yang memperbolehkan seorang perempuan yang dalam masa iddah karena ditinggal mati suaminya untuk menjalankan ibadah haji. Di antara yang berpandangan demikian adalah ‘Atha` dan al-Hasan al-Bashri. Hal ini sebagaimana didokumentasikan dalam kitab al-Muhalla oleh Ibnu Hazm.

وَمِنْ طَرِيقِ إِسْمَاعِيلَ ابْنِ إِسْحَاقَ نَا أَبُو بَكْرِ بْنُ أَبِي شَيْبَةَ نَا عَبْدُ الْوَهَّابِ الثَّقَفِيُّ عَنْ حَبِيبِ الْمُعَلِّمِ سَأَلْتُ عَطَاءً عَنِ الْمُطَلَّقَةِ ثَلَاثًا أَوِ الْمُتَوَفَّى عَنْهَا أَيَحُجَّانِ فِى عِدَّتِهِمَا قَالَ نَعَمْ، وَكَانَ الْحَسَنُ يَقُولُ مِثْلَ ذَلِكَ

“Dari jalur Isma’il Ibn Ishaq telah mengkabarkan kepadaku Abu Bakar bin Abi Syaibah telah mengkabarkan kepadku ‘Abd al-Wahhab ats-Tsaqafi dari Habib al-Mu’allim, saya pernah bertanya kepada ‘Atha` tentang perempuan yang ditalak tiga kali (talak bain) atau perempuan yang ditinggal mati suaminya, apakah keduanya boleh menunaikan ibadah haji ketika masih dalam masa iddahnya? ‘Atha` pun menjawab, ya (boleh). Dan al-Hasan al-Bashri juga berpandangan sama dengan ‘Atha’. (Ibnu Hazm, al-Muhalla, Mesir-Idarah ath-Thiba’ah al-Munirah, cet ke-1, 1352 H, juz, 10, h. 285).

Salah satu dalil yang dijadikan rujukan pandangan kedua adalah kasus sayyidah ‘Aisyah yang keluar bersama saudaranya yaitu Ummu Kultusm ketika suaminya (Ummu Kultsum) Thalhah bin ‘Ubaid menuju Makkah untuk melakukaun umrah.

وَذَكَرَ عَبْدُ الرَّزَّاقِ قَالَ حَدَثَنَا مَعْمَرٌ عَنِ الزُّهْرِيِّ عَنْ عُرْوَةَ قَالَ خَرَجَتْ عَائِشَةُ بِأُخْتِهَا أُمِّ كُلْثُومٍ حِيْنَ قُتِلَ عَنْهَا زَوْجُهَا طَلْحَةُ بْنُ عُبَيْدِ اللهِ إِلَى مَكَّةَ فِي عُمْرَةٍ، وَكَانَتْ تُفْتِي الْمُتَوَفَّى عَنْهَا زَوْجُهَا بِالْخُرُوجِ فِي عِدَّتِهَا

“Abdurrazzak mengatakan, Ma’mar telah menceritkan kepada kami dari az-Zuhri dari ‘Urwah ia berkata, sayyidah ‘Aisyah ra pernah keluar dengan saudara perempuannya yaitu Ummi Kultsum ketika Thalhah bin ‘Ubaidillah suami Ummi Kultsum terbunuh, ke Makkah untuk melakukan umrah. Dan sayyidah ‘Aisyah telah memfatwakan kebolehan keluar rumah bagi seorang perempuan yang dalam masa iddah karena ditinggal mati suaminya.”. (Lihat al-Qurthubi, al-Jami’ li Ahkam al-Qur`an, Kairo-Dar al-Kutub al-Mishriyyah, cet ke-2, 1384 H/1963, juz, 3, h. 177)  

Di antara kedua pandangan yang kami kemukakan, yang dianggap kuat (rajih) adalah pandangan mayoritas ulama karena didukung dalil sahih dan kuat. Namun dalam sebuah kaidah fikih dikatakan:   

لاَ يُنْكَرُ الْمُخْتَلَفُ فِيهِ وَإِنَّمَا يُنْكَرُ الْمُجْتَمَعُ عَلَيْهِ

“Pandangan lain yang masih diperselisihkan tidak boleh serta merta diingkari, sementara pandangan yang telah disepakati ulama tidak boleh diingkari dengan yang sebaliknya”. (Jalaluddin as-Suyuti, al-Asybah wa an-Nazha`ir, Bairut-Dar al-Fikr, Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1403 H, h. 158).

Apa yang kami kemukakan, jika ditarik ke dalam konteks pertanyaan di atas, maka pada dasarnya mengenai persoalan boleh-tidaknya perempuan yang sedang menjalani iddah karena ditinggal mati suami adalah persoalan yang masih diperselisihkan di antara para ulama. Ada yang mengatakan tidak boleh, dan ada yang mengatakan boleh.

Meskipun pandangan kedua dianggap lemah (marjuh), namun tidak dengan serta merta dapat dinafikan begitu saja. Karenanya hemat kami pandangan kedua bisa diambil sebagai rujukan dengan pertimbangan hajat, seperti sudah membayar ongkos naik haji dan biaya-biaya lainnya yang tidak sedikit.

Demikian jawaban yang dapat kami kemukan. Semoga bermanfaat, dan saran kami untuk yang ditinggalkan suami, bersabarlah, dan banyak-banyak berdoa. Dan yakinlah bahwa setelah kesukaran pasti akan ada kemudahan. []

Mahbub Ma’afi Ramdlan
Tim Bahtsul Masail NU

Tidak ada komentar:

Posting Komentar