Jumat, 12 September 2014

Satrawi: Dari Korban Menjadi Penyintas



Dari Korban Menjadi Penyintas
Oleh: Hasibullah Satrawi

APA yang kurang dari upaya penanganan dan pencegahan terorisme di Republik ini? Itulah pertanyaan yang belakangan banyak ditemukan di ruang-ruang publik.
Setidaknya itu berdasarkan pengalaman sempit penulis mengisi beberapa acara terkait dengan persoalan terorisme mutakhir.

Pertanyaan seperti di atas muncul karena di satu sisi, aparat dan lembaga terkait terorisme tampak telah melakukan pelbagai macam kegiatan pencegahan bahkan juga penindakan terhadap pihak-pihak yang diduga terkait dengan jaringan terorisme. Namun, di sisi lain, jaringan terorisme seakan tidak terpengaruh oleh kegiatan-kegiatan antiterorisme yang ada. Bahkan jaringan terorisme justru semakin liar dan acap tak terkendali.

Kontroversi penyebaran gerakan Islamic State of Iraq and Syria (ISIS/ISIL/IS) di negeri ini menjadi salah satu contoh mutakhir terkait dengan ‘kekebalan’ jaringan terorisme dari upaya penanggulangan yang telah dilakukan. Tak seperti kelompok teroris yang kerap melakukan gerakan bawah tanah dengan identitas yang tertutup rapat, ISIS bahkan sempat tampil melakukan deklarasi di mana-mana dan melakukan kampanye visual dengan muka yang terbuka!

Pemberdayaan korban

Harus diakui bersama, selama ini ada satu elemen yang kurang diberdayakan dan diberikan peran secara optimal dalam upaya menghadapi ancaman terorisme, yaitu komunitas-komunitas korban bom terorisme. Kalaupun ada sebagian dari korban yang dilibatkan, hal itu lebih bersifat personal dan cenderung ‘itu-itu saja’.

Padahal, korban terorisme di negeri ini berjumlah ratusan orang dan tersebar di banyak komunitas. Sebagai contoh, saat ini ada sekitar 200-an korban bom yang masuk database Aliansi Indonesia Damai (Aida) dan sudah diverifikasi. Di luar sana, masih banyak lagi korban bom yang masih dalam tahapan verifi kasi. 

Secara teori, setiap korban mempunyai potensi yang sama untuk menyadarkan semua pihak terkait dengan dampak aksi terorisme, mengingat mereka menjadi korban dari kejahatan yang kurang lebih sama.

Oleh karena itu, sejatinya bangsa ini mempunyai ratusan ‘pasukan perdamaian’ untuk menghadapi ancaman terorisme di pelbagai macam bentuknya. Sangat disayangkan, pasukan itu acap terabaikan dan hanya segelintir dari mereka yang diberdayakan untuk menyadarkan masyarakat luas terkait dengan dampak terorisme. Setidaknya ada dua hal yang harus dilakukan secara bersama-sama ke depan untuk mengoptimalkan peran korban terorisme.

Pertama, memberdayakan para korban, baik secara mental, semangat, maupun wawasan, termasuk membekali mereka dengan teknik-teknik komunikasi dan presentasi. Pemberdayaan seperti itu teramat sangat penting untuk dilakukan. Di satu sisi, para korban mempunyai pengalaman dan kisah yang akan sangat strategis bila digunakan untuk menyadarkan semua pihak dari ancaman terorisme, khususnya para korban yang sudah bisa ‘berdamai’ dengan tragedi yang dialami atau bahkan sampai pada tahap memaafkan para pelaku terorisme.

Di sisi lain, para korban terdiri dari latar belakang sosial, ekonomi, pendidikan, dan profesi yang berbeda-beda. Bagi para korban dari kalangan aktivis, contohnya, berbicara di ruang publik sebagai narasumber mungkin tidak menjadi persoalan. Namun, kondisi itu akan sangat berbeda dengan para korban yang sebelumnya tidak biasa berbicara di ruang publik dan formal.

Oleh karena itu, pemberdayaan para korban dimaksudkan untuk membekali mereka dengan teknik-teknik komunikasi dan presentasi, hingga para korban mempunyai kemampuan yang sama untuk mengambil peranan strategis dalam upaya menghadapi ancaman terorisme melalui kisah-kisah mereka.

Pada akhir 2013 lalu, Aida pernah melakukan pemberdayaan seperti di atas. Para korban diberikan pelatihan khusus terkait dengan teknik komunikasi dan presentasi sebelum mereka membagikan kisahnya kepada anak-anak siswa di sejumlah sekolah. Hasilnya sangat menggembirakan dan sungguh luar biasa; para korban yang awalnya tidak biasa berbicara di depan umum sebagai narasumber secara perlahan mulai terbiasa. Bahkan presentasi para korban dari latar belakang yang berbeda-beda seperti di atas mempunyai kekhasan tersendiri. Dengan bahasa tubuh yang natural, mereka tak jarang mampu memberikan pesan yang lebih jelas dan lebih mudah dipahami.

Hal itu terlihat jelas dari kesaksian sebagian siswa pascaacara berlangsung. Sejumlah siswa mengatakan bahwa mereka baru menyadari kesalahan para teroris setelah bertemu dan mendengar langsung kisah yang diberikan para korban. Padahal, sebelum mendengarkan presentasi para korban, sebagian siswa mengaku memaklumi apa yang dilakukan para teroris sebagai balasan atas ketidakadilan global terhadap umat Islam.

Kedua, memenuhi hak-hak korban. Sesuai dengan ketentuan konstitusi, negara berkewajiban melindungi warganya dan mencukupi kebutuhan mereka yang tidak mampu. Terlebih lagi bagi warga negara yang menjadi korban aksi kejahatan seperti terorisme.

Meski demikian, sejauh ini para korban terorisme acap tidak mendapatkan hakhaknya. Bahkan menurut pengakuan dari sebagian korban, pada waktu kejadian bom, tak sedikit dari mereka yang harus menunggu selama berjam-jam untuk mendapatkan layanan medis karena menunggu jaminan pembiayaan dari pemerintah.

Dalam konteks seperti itu, pengesahan terhadap Revisi Undang-Undang (RUU) No 13 Tahun 2006 tentang Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) menjadi sebuah keterdesakan yang semestinya mendapatkan dukungan dari semua pihak. RUU itu menjamin adanya bantuan medis, bantuan rehabilitasi psikososial dan psikologis bagi para korban terorisme dan korban pelanggaran HAM berat (Pasal 6).

Tentu RUU itu tidak akan mampu menyelesaikan semua masalah yang harus dihadapi para korban terorisme, termasuk pemenuhan hakhaknya. Namun, RUU tersebut setidaknya bisa memberikan jaminan medis bagi para korban, khususnya pada saat-saat baru terjadi sebuah ledakan bom, hingga tidak perlu ada korban bom lagi yang harus menunggu berjam-jam untuk mendapatkan layanan medis.

Menjadi penyintas

Pemberdayaan dan pemenuhan hak korban sebagaimana di atas menjadi sebuah keharusan untuk mendorong para korban menjadi penyintas, hingga para korban dapat secara optimal berperan (dan bisa diperankan) dalam upaya menghadapi persoalan terorisme ke depan.

Meminjam kaidah hukum Islam yang sangat kesohor, faqidus syai'i la yu'thihi (orang yang tidak memiliki sesuatu tak mungkin bisa memberikan sesuatu tersebut kepada pihak lain), kaidah hukum itu sedikit banyak relevan dengan sejumlah persoalan internal korban yang ada saat ini. Selama persoalan internal yang ada belum terselesaikan, hampir mustahil mereka dapat berperan secara optimal dalam upaya menghadapi ancaman terorisme.

Semua ini tentu membutuhkan kerja sama dari semua pihak, khususnya pemerintah, hingga para korban tidak terlalu disibukkan dengan persoalan ‘internal’ mereka. Dengan demikian, para korban bisa melangkah maju keluar untuk mengambil peranan dalam upaya membangun Indonesia yang damai dari terorisme.

Keterlibatan para penyintas dalam menghadapi ancaman terorisme ke depan teramat penting. Selain karena korban bisa membagikan kisahnya, sebagaimana di atas, juga karena jaringan terorisme seakan tidak pernah mau hengkang dari bumi Indonesia. Bahkan jaringan itu semakin intens menjadikan anak-anak muda sebagai target regenerasi.

Para penyintas bisa menjadi ‘pasukan alternatif ’ dalam perang panjang melawan jaringan terorisme, khususnya di saat negara seakan mati kutu dalam menghadapi jaringan kejahatan tersebut. Dengan keterlibatan dan peran dari para penyintas, bangsa ini diharapkan mampu memukul mundur sekaligus mengusir terorisme keluar dari teritorium Indonesia, bukan justru Indonesia yang terus terdesak oleh ancaman terorisme di pelbagai macam bentuk dan kelompoknya. []

MEDIA INDONESIA, 06 September 2014
Hasibullah Satrawi  ;   Direktur Aliansi Indonesia Damai (Aida), Jakarta

Tidak ada komentar:

Posting Komentar