Rabu, 24 September 2014

Rivalitas Rois Aam NU



Rivalitas Rois Aam NU

Ketika terjadi kompetisi antara Kiai Sahal Mahfud Rois Aam yang sedang menjabat dengan Abdurrahman Wahid bekas ketua umum PBNU dalam memperebutkan jabatan Rois Aam dalam Muktamar ke-31 di Solo 2004 yang lalu banyak orang yang menganggap bahwa ini perkembangan baru bahwa jabatan Rois Aam Syuriyah NU mulai dikompetisikan secara bebas dalam pemilihan langsung, yang selama ini cenderung calon tunggal yang dipilih secara aklamasi. Dan biasanya posisi itu dijabat seumur hidup.

Sebenarnya anggapan tersebut tidak benar, sebab dalam Muktamar NU ke-27 di Yogyakarta, 1989 kompetisi sengit terjadi antara Kiai Achmad Siddiq pemegang jabatan Rois Aam saat itu, dengan Kiai Ali Yafi/Idham Cholid, salah seorang anggota Syuriyah yang dianggap mewakili kubu Cipete, sementara Achmad Siddiq adalah dari kubu Situbondo, sehingga persaingan menjadi sangat sengit dan tegang, sebab orang khawatir NU dibawa ke arus politik.

Bahkan rivalitas dalam memperebutkan Rois Aam pernah terjadi antara dua kiai sepuh yang sama-sama berwibawa yaitu antara Kiai Wahab Chasbullah pejabat Rois Aam saat itu dengan KH Bisri Samsyuri juga seorang jajaran pengurus syuriyah PBNU. Pertarungan dalam Muktamar di Bandung 1967 itu di luar dugaan dimenangkan oleh Kiai Bisri, walaupun lebih muda tetapi tiba-tiba bisa menyaingi Kiai Wahab seorang politisi ulung. Kiai Wahab yang pemimpin besar NU itu menerima kekalahan dengan berbesar hati, apalagi yang mengalahkan sahabat dekatnya sendiri.

Demikian halnya Kiai Bisri yang memperoleh kemenangan juga sangat berendahhati. Walaupun ia telah dipilih Muktamar, tetapi kemudian ia segera memberikan sambutan, bahwa ‘Selama masih ada kiai Wahab yang lebih senior dan lebih alim ia tidak mau menduduki jabatan itu, “Karena itu saya menyatakan untuk mengundurkan diri dan kembali menyerahkan jabatan itu kepada Kiai Wahab Chasbullah.” Sementara Kiai Wahab menerima amanah itu, tidak perlu merasa tersinggung, karena walaupun sudah uzur tetapi merasa masih dibutuhkan untuk mengemudikan NU dalam menghadapi situasi sulit masa orde baru.

Karena itu salah besar bila orang menilai kekalahan Abdurrahman wahid dalam pemilihan Rois Aam kemarin berarti kejatuhan pamor Abdurrahman Wahid, sebab kiai Wahab pernah dikalahkan oleh juniornya sendiri tanpa harus merasa diasorkan atau direndahkan, tetapi kalah dengan terhormat, karena itu diterima dengan lapang dada. Apalagi ini bukan persoalan kekuasaan tetapi masalah tugas dan pengabdian. []

(Abdul Mun’im DZ)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar