Selasa, 23 September 2014

Kang Komar: Pendidikan Miskin Imajinasi



Pendidikan Miskin Imajinasi
Oleh: Komaruddin Hidayat

Semua kemajuan sains dan teknologi supercanggih yang membuat kita kagum dan tercengang semula berawal dari kekuatan imajinasi manusia. Adalah Christopher Columbus (1451-1506) yang menggemparkan penduduk Eropa setelah berhasil mendarat di Pulau Bahama (1492) karena keberanian berimajinasi untuk menaklukkan lautan lepas yang semula tak terbayangkan.

Penduduk Eropa pun gempar dan mulai membayangkan adanya dunia baru untuk dijelajahi yang pada urutannya dunia baru itu bernama Amerika. Ini benar-benar menjanjikan kehidupan baru yang lebih bebas ketimbang Eropa. Begitu pun Thomas Alva Edison (1847-1931) yang selalu mendapatkan nilai buruk di sekolah sehingga ibunya mengajar sendiri di rumah. Karena kekuatan imajinasinya dan selalu ingin mencoba hal-hal yang baru, ia dikenal sebagai pemegang rekor 1.093 hak paten atas namanya. Yang paling fenomenal dan historikal adalah penemuan lampu listrik.

Demikianlah, masih terdapat sederet nama besar yang mengilhami kita semua yang namanya tertulis dengan tinta emas dalam buku-buku sejarah yang kemudian dibaca berulang-ulang oleh jutaan pelajar dan mahasiswa. Anak-anak Nusantara ini sesungguhnya dianugerahi talenta yang hebat. Mereka memiliki daya imajinasi yang luar biasa sehingga mampu mewariskan karya seni kelas dunia seperti bangunan Candi Borobudur dan Prambanan. Kehebatan dan kebesaran candi itu bukan semata terletak pada wujud fisiknya, tetapi juga nilai-nilai dan filosofi kehidupan yang terkandung di dalamnya. Begitu juga dunia simbolik dalam pewayangan yang amat kaya dengan wisdom dan imajinasi.

Bahkan Gatotkaca lebih dahulu terbang ke angkasa sebelum tercipta pesawat terbang. Problem kita adalah hanyut pada budaya melankolis dan seremonial, tetapi sangat lemah dalam tradisi riset empirisilmiah untuk menciptakan karya-karya yang langsung mendatangkan kesejahteraan serta nilai tambah bagi masyarakat. Ini yang membedakannya dengan imajinasi yang tumbuh dalam masyarakat Barat yang dikaitkan dan diarahkan pada perbaikan dunia empiris melalui inovasi sains sehingga muncul temuan-temuan teknologi mutakhir yang disebut artificial intelligence dan artificial body.

Proses awal penemuan teknologi itu berangkat dari kejelian berimajinasi berdasarkan bacaan terhadap semesta. Mungkin sekali dahulu para penemu mobil itu iri pada kecepatan hewan-hewan ketika berlari. Tuhan telah menganugerahkan hewan bisa lari kencang, tetapi manusia diberi keunggulan anugerah otak (head), tangan (hand), dan perasaan untuk berkehendak (heart) sehingga dengan kekuatannya itu manusia berhasil menciptakan teknologi kendaraan yang kecepatannya melebihi hewan yang mereka kagumi. Sebagai apresiasi atau simbol kemenangan, mobil-mobil itu pun diberi nama hewan seperti kijang, kuda, panther, jaguar.

Lalu logo dan nama-nama pesawat terbang pun diambil dari nama burung. Jadi, semesta ini sebelum diposisikan sebagai objek eksplorasi dan eksploitasi oleh pemilik modal uang, mesin, dan politik semula merupakan kitab terbuka yang menggugah imajinasi kita. Sekian banyak lirik lagu bagus juga terinspirasi oleh keindahan alam. Disayangkan, anak-anak kita sekarang semakin terjauh dari alam. Mereka lebih asyik bermain pada artificial nature yang dihadirkan komputer. Seakan mereka berada dalam alam sungguhan, padahal mereka tak lebih berada dalam dunia maya (virtual world).

Jangan diragukan sumbangan komputer bagi pendidikan dan melatih imajinasi. 

Tapi ketika komputer lebih banyak menyajikan permainan, games for fun, yang terjadi adalah proses penumpulan imajinasi anak dan hilangnya kepekaan sosial. Anak-anak tak lagi bergetar hatinya melihat berita perang di TV, misalnya yang terjadi di Gaza, karena permainan perang-perangan mereka jauh lebih seru dan mengasyikkan. Saling tembak, tendang, dan bunuh menjadi permainan yang akrab bagi anak-anak sekarang. Mereka melihat dan melakukannya di dunia maya, tetapi dampak negatifnya terjadi pada dunia nyata. Di samping asyik menghabiskan waktu dengan permainan komputer, lemahnya pelajaran humaniora juga telah memiskinkan daya imajinasi anak-anak.

Sejarah dan bukubuku novel sangat membantu membangkitkan daya imajinasi anak, tetapi sekarang tergeser oleh kursus matematika dan bahasa Inggris yang menekankan hafalan demi untuk lulus ujian nasional. Kenyataan ini menyedihkan mengingat bangsa Indonesia itu sangat majemuk, lagi pula kita hidup di era multiple intelligences. Jadi, pendidikan mesti semakin menawarkan banyak alternatif pilihan studi, pengembangan minat dan bakat, karena Indonesia realitasnya memang beragam dari berbagai aspeknya, sementara dunia kerja menuntut intellectual adaptability dan skill interconnectivity.

Jadi, keahlian tertentu sangat diperlukan, tetapi mesti memiliki kemampuan kerja sama dan komunikasi sosial yang baik. Muara dari pendidikan itu pembangunan budaya bangsa. Jadi hakikatnya pendidikan adalah agenda membudidayakan anak-anak bangsa untuk memakmurkan dan memajukan penduduk bumi bersama bangsa-bangsa lain. Oleh karenanya lewat pendidikan anakanak kita antarkan agar menjadi warga dunia yang berbudaya dan berkeadaban, merayakan anugerah hidup dalam dunia yang semakin warna-warni yang merupakan anugerah Ilahi. LetLets accept the differences, respect the differences, share the differences, and celebrate the differences. []

KORAN SINDO, 19 September 2014
Komaruddin Hidayat  ;   Rektor Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah

Tidak ada komentar:

Posting Komentar