Senin, 29 September 2014

(Buku of the Day) Masa Depan Hukum Bisnis Islam di Indonesia; Telaah Kritis Berdasarkan Metode Ijtihad Yusuf al-Qaradawi



Telaah Hukum Bisnis Islam di Indonesia


Judul                : Masa Depan Hukum Bisnis Islam di Indonesia Telaah Kritis Berdasarkan Metode Ijtihad Yusuf al-Qaradawi
Penulis             : Ahmad Rajafi
Penerbit            : LKiS
Cetakan            : I, 2013
Tebal                : xxii + 134 halaman; 14,5 x 21 cm
ISBN                 : 602-17575-8-0
Peresensi          : Junaidi Khab, Pecinta Baca Buku dan Tercatat Sebagai Mahasiswa Jurusan Sastra Inggris Fakultas Adab dan Humaniora UIN Sunan Ampel, Surabaya.

Salah satu penyebab isi kandungan teks-teks al-Quran selalu sesuai dengan perkembangan zaman di balik maknanya yang universal yaitu adanya sistem penafsiran dan ijtihad. Dengan sistem tersebut, isi kandungan al-Quran selalu bisa diterima oleh gilasan perkembangan zaman yang terus mengalami perubahan dari masa ke masa. Jika tidak ada sistem penafsiran dan ijtihad oleh para ulama, mustahil teks-teks al-Quran bisa diterima pada konteks kekinian di era modern yang serba canggih ini. Termasuk perkembangan bisnis Islam yang berkembang pada masa Rasulullah Saw. tidak akan relevan lagi jika tidak ada sistem ijtihad yang dilakukan oleh para ulama.

Melalui dibangkitkannya buku karya Ahmad Rajafi ini, dia ingin memberikan salah satu sitem dan metodologi ijtihad yang dilakukan oleh Yusuf al-Qaradawi dan relevansinya terhadap perkembangan hukum bisnis Islam dalam menghadapi dunia modern di Indonesia. Misalkan dengan kemunculan bank syari’ah, pegadaian syari’ah, dan beberapa akad modern yang terus berkembang seiring dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi canggih. Maka ijtihad untuk menghadapi fenomena demikian sangat diperlukan secara mutlak.

Salah satu alasannya yaitu karena jalan ijtihad adalah salah satu solusi untuk menjaga dinamika dan perkembangan hukum Islam agara lebih progresif sehingga ajaran Islam bisa terealisasi dengan baik dan tanpa menimbulkan gejolak. Namun, dalam reaktualisasi dan realisasi ajaran Islam melalui ijtihad ini, kita juga tetap harus kritis terhadap perkembangan pemikiran-pemikiran baru agar tidak menyimpang jauh dari sumber hukum Islam yang utama, yakni al-Quran dan al-Sunnah (hlm. viii).

Selanjutnya, melalui beberapa pendekatan yang telah dituangkan di dalam buku ini, ada penekanan serius yang harus segera disadari oleh umat, yakni harus adanya sikap berhati-hati terhadap produk-produk yang dilarang keras beredar karena dapat merusak akidah, etika, dan moral manusia, seperti produk yang berhubungan dengan judi, pornografi, ghibah, dan sadisme, baik dalam drama, sinetron, film, infotainment, dan musik.

Menurut Yusuf al-Qaradawi, terdapat empat sendi utama (ciri-ciri) norma dan etika dalam bisnis Islam, yakni ketuhanan, etika, kemanusiaan, dan sikap pertengahan. Setiap norma itu mempunyai cabang-cabang, buah dan pengaruh aspek ekonomi, bisnis, dan sistem keuangan Islam, baik dalam hal produksi, konsumsi, distribusi, ekspor, maupun impor yang semuanya diwarnai dengan norma-norma di atas. Jika tidak, maka akan dipastikan bahwa Islam hanya sekadar simbol atau slogan dan pengakuan belaka (hlm. 39).

Untuk mengisi dan menggarap “kawasan pemaafan”  terhadap hukum dan peraturan setelah wahyu terhenti adalah diserahkan kepada ijtihad para mujtahid secara bebas, asalkan mereka memenuhi syarat sebagai mujtahid. Sedangkan jalan ijtihad intiqa’i dan insya’i milik Yusuf al-Qaradawi yaitu: qiyas, istihsan, istishlah, ‘urf, dan sad al-dzari’ah (hlm. 79).

Akan tetapi, pada dasarnya al-Qaradawi telah mengembangkan pembaruan hukum Islam, namun sifatnya tidak substansial dan tetap dalam pola klasik sehingga tidak keluar dari kerangkanya. Oleh karena tidak meninggalkan konsep lama, maka hukum Islam yang dirumuskannya akan tetap dilematis untuk diterapkan di dalam dunia modern yang heterogen, pluralis, dan demokratis.

Dalam satu kesempatan, ia memang menekankan bahwa pembaruan hukum Islam dengan sarana ijtihadnya tidak hanya sebatas persoalan furu’, tetapi juga harus menyentuh wilayah ushul, namun ia tetap membatasi secara ketat behwa yang boleh di-ijtihad ulang adalah masalah-masalah hukum yang diatur oleh nash yang zanni, baik pentunjuk atau kualitas sumbernya. Oleh karena itu, ruang gerak ijtihad tidak boleh menyentuh batas yang telah diatur oleh nash yang qat’i. Di sini ia setuju dengan kaidah ushul fiqh bahwa “tidak boleh ada ijtihad pada masa yang telah diatur oleh nash” atau kaidah “tidak boleh ada ijtihad dengan sebab adanya nash” (hlm. 85).

Dengan model elektif yang dilakukan oleh Yusuf al-Qaradawi, sesungguhnya dia telah membangun kerangka metodolgi pembaruan hukum Islam. Untuk menyeleksi berbagai pemikiran hukum ulama fiqh masa lalu, ia menggunakan teori baru berupa ijtihad tarjih intiqa’i, yaitu upaya menyeleksi pendapat yang lebih kuat. Sedangkan untuk menjawab banyak persoalan baru yang muncul di dunia modern yang serba kompleks ini digunakan teori ijtihad ibda’ insya’i.

Buku ini hadir dengan menyajikan tentang pemikiran dan metodolgi ijtihad Yusuf al-Qaradawi di bidang ushul fiqh, khususnya mengenai ijtihadnya yang direlevansikan dengan pengembangan hukum bisnis Islam di Indonesia. Secara terperinci buku ini juga menjelaskan sepak terjang dan kehidupan Yusuf al-Qaradawi dalam mendalami kajian ushul fiqh dan kredibilitas keilmuannya di bidang kajian hukum Islam dan metodolgi ijtihad yang dijadikan tumpuan untuk menggali dan menemukan suatu hukum yang baru di era modern saat ini, khususnya terkait dengan persoalan bisnis yang berkembang di Indonesia dengan sistem yang serba modern. []

Tidak ada komentar:

Posting Komentar