Rabu, 17 September 2014

Kiai Wahab Menemui Van Der Plas



Kiai Wahab Menemui Van Der Plas

Menyelenggarakan Muktamar di masa penjajahan tentu tidak semudah di masa sekarang. Untuk penentuan tempat saja tidak cukup izin meminta kepada pemerintah setempat. Bahkan sering pemerintah setempat melarang daerahnya dijadikan tempat Muktamar atau kegiatan keagamaan yang terbuka.

Menjelang Muktamar NU ke 4 di Semarang tahun 1929, ini untuk pertama kalinya Muktamar diselenggarakan di luar kota kelahiran NU Surabaya. Karena itu maklum kalau perizinan sulit diperoleh dari pemerintah kolonial. Apalagi saat itu SI merah sedang bergolak di tempat itu.

Menghadapi persoalan ini Kiai Wahab Chasbullah akhirnya pergi ke Batavia untuk menemui Adviseur voor Inlandsche Zaken (Menteri Urusan Pribumi) yang dijabat oleh orientalis terkemuka Van der Plas. Ia tinggal di Jalan Cikini No 12 Menteng di rumahnaya itulah ia menerima Kiai Wahab. Komunikasi berlangsung dalam bahasa Arab, maklumlah pengganti Snouck Horgronye ini juga pernah menduduki posisi Snouck sebagai wakil Belanda di Jeddah.

Kiai Wahab meminta izin dilaksanakannya Muktamar di Semarang dan diumumkannya hasil Muktamar di Masjid Jami' kota itu. Kiai Wahab beralasan bahwa yang akan disampaikan itu bukan persoalan politik yang mengganggu ketenteraman umum, seperti yang dikhawatirkan pemerintah, tetapi murni masalah diniyah ijtimaiyah.

Selain itu ada beberapa persoalan yang dibawa antara lain soal pembatasan gerakan NU di beberapa tempat, seperti di Mojokerto, dan Pekalongan yang dibatasi hanya 50 orang, sementara anggota NU di kota-kota tersebut lebih dari 2500 orang. Selain itu, Kiai Wahab juga usul agar dalam menunjuk hoof-penghulu benar-benar memilih orang yang allamah yakni yang paham  betul dalam ilmu keislaman.

Berkat kelihaian Kiai Wahab dalam melobi akhirnya pengumuman hasil Muktamar diperbolehkan untuk disampaikan di Masjid Jami’ Semarang, demikian juga pengajian diperbolehkan dilaksanakan di beberapa masjid kota besar di Jawa.

Sejak saat itu NU berkembang semakin pesat melalui pesantren dan masjid-masjid besar yang ada di setiap kota. []

Abdul Mun’im DZ
Tulisan ini disarikan dari Oetoesan Nahdlatul Oelama, 1 Rodjab 1347 H, tahun I.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar