Selasa, 09 September 2014

Ulil: Cak Nur dan Islam yang Modern dan Indonesiawi



Cak Nur dan Islam yang Modern dan Indonesiawi
Oleh: Ulil Abshar-Abdalla

Jumat (29/8) lalu diperingati sebagai haul (perayaan tahunan untuk mengenang kematian) Cak Nur yang ke-9. Perayaan haul itu diselenggarakan dengan sederhana, tetapi “gayeng” dan khidmat, di Wisma Antara di kawasan Kebun Sirih, Jakarta Pusat.

Dalam esei pendek ini, saya ingin mengajak Anda mengingat kembali sosok Cak Nur, gagasan-gagasannya, cita-citanya untuk Indonesia, dan ide-idenya tentang bagaimana peran yang semestinya dimainkan oleh Islam di zaman modern.

Sebagaimana Gus Dur, Cak Nur adalah sosok penting yang perlu kita ingat terus. Gagasan-gagasan mereka perlu kita rawat dan kembangkan lebih jauh. Indonesia ditegakkan bukan semata-mata oleh infrastruktur material seperti jalan-raya, jembatan, dan pelabuhan, melainkan juga oleh gagasan-gagasan besar yang dicetuskan oleh mereka yang bergerak di wilayah ide seperti Gus Dur dan Cak Nur.

Mereka ini adalah “conceptual engineer”, insinyur gagasan yang kedudukannya tak kalah penting, jika malah tidak lebih penting dari “civil engineer”, insinyur sipil yang biasanya berurusan dengan konstruksi bangunan.

Saya tahu apa yang saya tulis ini mungkin mengulang-ngulang kembali hal-hal yang sudah banyak diketahui oleh pembaca. Tetapi menyatakan kembali hal-hal yang sudah diketahui tetaplah penting. Restatement sama pentingnya dengan statement. Menyatakan kembali dapat menyegarkan ingatan kita, mendorong kita untuk rehat sejenak dari kerutinan dan memikirkan hal-hal yang tak rutin. Derutinisasi adalah tindakan penting agar secara mental kita tetap “fit and fresh”.

Ada banyak gagasan Cak Nur yang pantas kita kenang. Saya tak mungkin mengulas semuanya di sini. Saya hanya akan mengambil beberapa ide pokok Cak Nur yang patut kita nyatakan kembali dalam konteks keadaan yang sedang kita hadapi sekarang.

Keindonesiaan dan Kemodernan

Salah satu agasan penting Cak Nur adalah menafsirkan Islam secara modern dan “nyambung” dengan konteks Indonesia. Dua istilah ini menjadi kata kunci gagasan Cak Nur: keindonesiaan dan kemoderenan.

Menjadi Muslim tok, dalam pengertian mengimani Islam sebagai jalan hidup yang sempurna, belum cukup. Ada hal lain yang juga penting, yaitu menafsirkan Islam itu agar relevan dengan dua konteks sekaligus: konteks dunia modern, dan konteks Indonesia.

Kemungkinan adanya kontradiksi antara Islam dengan kemoderenan dan keindonesiaan jelas bisa terjadi, dan sudah berkali-kali berlangsung dalam sejarah negeri kita. Kontradiksi semacam ini sama sekali tak menguntungkan masa depan kita sebagai bangsa.

Tentu saja, yang saya maksud di sini bukanlah Islam per se, tetapi tafsiran atas Islam oleh golongan tertentu di dalamnya. Kemungkinan terjadinya konflik dan kontradiksi antara tafsiran tertentu tentang Islam dan kemoderenan jelas bisa terjadi. Contoh-contoh mengenai ini sangatlah banyak. Dalam sejarah Islam modern, kita kerap berjumpa dengan golongan tertentu yang memiliki tafsiran-tafsiran yang “kontradiktif” terhadap kemoderenan dan keindonesiaan. Contoh terbaik ialah kelompok yang menamakan dirinya Hizbut Tahrir. Kelompok ini beranggapan bahwa ide nasionalisme dan negara bangsa (nation state) bertentangan dengan ajaran Islam. Ide itu, menurut mereka, datang dari luar dan sama sekali tak sesuai dengan doktrin Islam mengenai bentuk kekuasaan politik. Karena itu harus ditolak.

Tafsiran yang kontradiktif semacam ini jelas kurang menguntungkan bagi umat Islam. Tafsiran  ini hanyalah menempatkan umat Islam pada posisi yang “konfrontatif” terhadap kemoderenan, dan  menghalangi umat untuk mendapatkan manfaat/maslahat darinya. Padahal salah satu ajaran penting Islam ialah anjuran agar umat Islam mengambil “kebijaksanaan” (hikmah/wisdom) dari manapun sumbernya: baik sumber Islam atau non-Islam. Menolak kemoderenan hanya semata-mata karena ia tak berasal dari dalam Islam sendiri adalah sikap yang sama sekali tak Islami.

Konsekuensi Tauhid

Gagasan penting Cak Nur yang lain ialah tentang de-sakralisasi. Ide ini sederhana sekali, tetapi dampaknya sangat penting karena bisa menimbulkan –jika boleh memakai istilah Jokowi—“revolusi mental”. De-sakralisasi artinya tak menyakralkan hal-hal yang sifatnya duniawi. Dalam setiap agama, memang selalu ada godaan untuk melakukan “sakralisasi” atau penyucian atas dunia dalam kadar yang kerap melewati batas. Hal-hal yang sifatnya duniawi belaka kemudian diberikan sungkup atau baju kesucian sehingga tampak begitu angker dan tak boleh disentuh.

Cak Nur dikenal dengan pernyataannya yang cukup mengagetkan pada zamannya: Yang suci dan “angker” (sacrosanct) hanyalah Tuhan semata. Yang selain Tuhan tidaklah suci, absolut, dan angker, karena itu terbuka terhadap penelaahan dan analisis. Yang suci dan absolut hanyalah firman Tuhan, sementara pendapat manusia tidaklah suci dan absolut, sehingga boleh dipertanyakan dan dipersoalkan. Gagasan ini, menurut Cak Nur, adalah hasil yang logis saja dari doktrin tauhid atau monoteisme dalam Islam. Tauhid bagi Cak Nur ya tak lain ialah de-sakralisasi dan relativisasi.

Dampak penting dari gagasan Cak Nur ini ialah terbukanya “mental block” yang membebani umat Islam dalam waktu yang cukup lama. “Mental block” ini membuat mereka bersikap pasif, tak berani mempertanyakan hal-hal yang mestinya boleh dipertanyakan karena sama sekali tak sakral. Gagasan Cak Nur tentang de-sakralisasi membuka ruang diskusi, kritik, dan dialog di tubuh umat Islam.

Tetapi dialog tak bisa berlangsung dengan produktif jika tak ada sikap lain yang juga penting, yakni toleransi. Di sinilah kita perlu mengenang gagasan Cak Nur yang lain, tentang Islam yang hanif atau toleran, pluralis. Bagi Cak Nur, Islam bukanlah agama yang mengajarkan ekstremisme, sikap-sikap absolutistik, menang-menangan, dan merasa benar sendiri. Sikap-sikap semacam ini jelas tak mendukung terciptanya dialog yang produktif antar golongan. Sementara itu, dialog adalah salah satu fondasi penting terciptanya kehidupan yang beradab (madaniyyah).

Peradaban dan keadaban adalah dua kata kunci yang menandai gagasan lain Cak Nur yang juga sangat penting. Sumbangan penting Islam, bagi Cak Nur, ialah membangun kehidupan yang beradab. Inti kehidupan beradab ialah absennya kekerasan, digantikan dengan dialog yang didasarkan kepada kesediaan untuk menerima orang lain yang berbeda.

Gagasan-gagasan Cak Nur semacam ini jelas merupakan warisan intelektual yang penting. Kita memerlukan tafsiran keagamaan semacam ini, sebab hanya dengan tafsiran seperti inilah falsafah kita mengenai bhinneka tunggal ika bisa dirawat, dan ideologi Pancasila dapat diperkuat. Tafsiran semacam inilah yang bisa merawat kehidupan publik yang beradab dan sehat.

Tafsiran keagamaan yang tertutup, absolutistik, dan serba mau menang sendiri hanya akan berujung pada munculnya konflik sosial yang menjadi sumber ketegangan, bahkan kekerasan antar-golongan. Kehidupan publik yang semacam itu jelas bukanlah jenis yang dikehendaki oleh Islam, sebab Islam menginginkan suatu keadaban – suatu kehidupan dengan dasar dialog, bukan kekerasan antar-kelompok.

Di mata Cak Nur, Islam akan membawa rahmat bagi seluruh umat manusia jika umat Islam menafsirkannya dalam cara yang membuatnya relevan dengan konteks kemoderenan dan keindonesiaan, bukan kontradiktif secara tak produktif terhadap keduanya. Apalagi jika kontradiksi itu melibatkan kekerasan yang menandai praktek keberagamaan di sebagian golongan Islam saat ini.

Dengan kata lain, hanya dengan Islam yang Indonesiawi dan modern (tetapi juga sekaligus berakar pada tradisi, bukan memusuhinya), semua pihak, baik Muslim maupun tidak, akan mendapatkan rahmat dari agama yang dipeluk oleh mayoritas penduduk negeri kita ini. []

SATU HARAPAN, 04 September 2014
Ulil Abshar-Abdalla  ;   Cendekiawan Muslim

Tidak ada komentar:

Posting Komentar