Selasa, 09 September 2014

(Ngaji of the Day) Khilaf di Seputar Khilafah



Khilaf di Seputar Khilafah
Oleh: KH. Masdar Farid Masudi

-- Ada kesalahfahaman (khilaf) serius dan merata perihal konsep “khilafat” di kalangan umat pada umumnya dan pegiat politik kekuasaan Islam khususnya sejak dahulu sampai sekarang. Dikiranya “khilafah” adalah konsep kekuasaan yang satu pihak memiliki klaim global (‘alamiyah), dan di lain pihak bersifat sektarian (hanya untuk umat Islam penganut sekte tertentu (Salafi/Khariji), plus berasal dari suku tertentu (Arab-Quraisy).

Semua kekuasaan yang tidak menghimpun ketiga unsur tadi menurut mereka tidaklah sah, liar dan wajib diperangi sebagai kafir dan bughat (pemberontak-perampas). Tulisan ini hendak menjelaskan duduk perkara: apa sebenarnya Khilafah/ Khalifah dalam ajaran Islam; untuk apa dan bagi kepentingan siapa?”

Manusia sebagai Khalifah

Dari sudut bahasa, “khalifah” artinya adalah “wakil” atau “mandataris”. Merujuk al-Qur’an (QS al-Baqarah [2]: 30 “khalifah” adalah posisi dan peranan yang dimandatkan Allah kepada Adam dan segenap manusia anak-cucunya untuk melanjutkan karya-karya Allah di muka bumi, baik yang bersifat material maupun sosial. Sebagai “Khalifatullah fil Ardl” (Mandataris Allah di muka bumi), manusia ditempatkan pada posisi yang begitu terhoramat melebihi segenap makhluk Allah lainnya, termasuk malaikat.

Sebagai pengemban peran kekhalifahan Allah di muka bumi, manusia dianugerahi pengetahuan (kemampuan anatomis dan analisis) perihal segala sesuatu di alam semesta (al-asma kullaha), baik makhluk hidup maupun benda-benda yang ada di jagat raya ini (QS al-Baqarah [2]: 31), plus kebebasan memilih dan kemampuan bertindak serta daya cipta untuk melanjutkan/mengolah karya-karya Allah di alam semesta.

Di lain pihak, Allah SWT telah lebih dahulu menciptakan Malaikat dan Iblis-Syetan sebagai makhluk dan aparat-aparat berdimensi tunggal. Di satu pihak malaikat adalah aparat putih untuk memotivasi manusia menuju “kebaikan-kesetiaan” (tha’ at-makrufat); di lain pihak iblis/syetan merupakan aparat hitam yang berperan sebagai penggoda manusia untuk berbuat “dosa dan penyangkalan” (ma’shiyat-munkarat). Keunggulan posisional manusia atas malaikat maupun iblis/syetan ini merupakan argumen kedua yang membuatnya dinobatkan sebagai khalifah (wakil/mandataris)-Nya di muka bumi.

Dua Kategori Khalifah

Selanjutnya, peran khalifah yang disandangkan kepada manusia ada dua kategori: Pertama “khilafat individual” (khilafah fardiyah) yang melekat secara kodrati pada diri pribadi setiap manusia sebagai anak cucu Adam untuk melanjutkan karya-karya-Nya di bumi dan alam semesta (QS al-Baqarah [2]: 30). Kedua “khilafat sosial” (khilafah ijtima’iyah), yang diamanatkan Allah kepada manusia-manusia tertentu yang dikehendaki-Nya sebagai pemimpin masyarakat/umat untuk mengatur kebutuhan sosial di dunia (QS Ali Imran [3]: 26). Kedua peran kekhalifahan ini saling terkait dan saling mendukung satu terhadap yang lain.

Harus dipahami bahwa posisi khilafat manusia baik yang individual maupun sosial sifatnya inklusif dan universal. Semua manusia dengan anak-cucu Adam, apapun jenis kelamin, suku bangsa, maupun agama/keyakinannya, semua adalah khalifat Allah yang dipikuli amanat untuk memakmurkan bumi-Nya. Demikian pula dengan peran khilafah sosial pada figur-figur manusia tertentu, tidak terkait dengan anutan agama/keyakinan warna kulit maupun suku tertentu. Manusia yang beragama maupun yang tidak beragama, jika Allah menghendaki, bisa dikategorikan sebagai khalifat kategori ini (QS Ali Imran [3]: 26). Bahwa yang bersangkutan tidak menyadari posisinya sebagai khalifat Allah, itu soal lain.

Khilafat sosial sebagai mandat kepemimpinan politik adalah peran yang terkait dengan tanggung jawab memakmurkan bumi Allah secara bersama-sama sebagai makhluk sosial di berbagai bidang. Simpul kekhalifahan politik dewasa ini tidak lain adalah negara-negara bangsa (nation state) atau suku, dengan figur khalifah masing-masing yang secara sosiologis disebut: raja, presiden, perdana menteri, kanselir, dan sebagainya, berikut segenap aparat kekuasaan/pemerintahannya.

Perlu ditegaskan bahwa Khilafat sosial-politik (Khilafat Ijma’iyyah-Siyasiyyah) tidak mempersayaratkan adanya “Negara Dunia/Global State” sebagai wadah kekhalifahan tunggal di bumi, seperti didoktrinkan oleh para pengusung doktrin Khilafah selama ini. Kekhalifahan konteks negara bangsa (sya’b) atau bahkan suku (qabilah) dalam pandangan Qur’an adalah sah (QS al-Hujurat [49]: 13). Meskipun demikian, tanpa harus mengingkari eksistensi negara bangsa/suku, bisa saja dimungkinkan hadirnya semacam “negara dunia” (Khilafah Alamiyah). Apa yang dijalankan oleh institusi PBB (Perserikatan Bangsa-Bangsa) dewasa ini, kurang lebih adalah peran “kekhalifahan global (Kekhilafahan Alamiyah) yang dimaksud.

Sumpah jabatan dengan menyebut nama Allah/Tuhan YME yang lazim diucapkan oleh setiap pejabat publik saat penobantannya, di berbagai negara bahkan di negara-negara sekuler seperti Amerika Serikat, negara-negara Eropa, disadari atau tidak, ikut menggarisbawahi posisi mereka sebagai Khalifat/Mandataris Tuhan YME, untuk mengatur kehidupan dan mewujudkan cita-cita sosial bersama.

Sebagai “khalifat Allah” di muka bumi, para pemimpin negara/pemerintahan (berikut segenap aparat kekuasaannya dari atas sampai ke bawah) bukan saja harus bisa mempertanggungjawabkan) kebijakan dan tindakan-tindakannya “ke bawah”, kepada segenap warga masyarakat (konstituen) yang memilihnya, tapi juga “ke atas” kepada Allah Tuha Pencipta, Pemilik Hakiki umat manusia sekaligus penguasa seluruh jagat raya (Rabbul Alamin) yang menakdirkannya (Q/ Ali Imran [3]: 26).

Khilafat itu Inklusif

Harus dicatat bahwa peran kekhalifahan Allah di muka bumi, baik khilafat individual maupun khilafah sosial, tidak mengenal diskriminasi agama/keyakinan maupun suku bangsa. Siapa pun diantara mereka yang jujur, pekerja keras, cerdas, dan bertanggung jawab, hampir pasti akan dianugerahi Allah kesuksesan. Sebaliknya, yang culas, korup, dan lemah, apapun agama dan keyakinannya, bisa dipastikan bakal gagal dan tersingkirkan.

Ada pertanyaan; dimana peran agama dalam diskursus kekhilafatan ini? Sebagai piwulang etik dan moralitas dan akhlak (kejujuran, keikhlasan, penghormatan terhadap sesama, kesediaan berkorban, dsb) yang bersifat inklusif, agama sangatlah penting bagi suksesnya mandat kekhalifahan manusia. Tapi agama sebagai dogma keimanan yang bersifat personal/privat dan eksklusif sepenuhnya berada di luar domain kekhilafahan sosial/publik ini. Agama sebagai realitas keimanan yang ada di relung hati setiap manusia sepenuhnya merupakan domain pribadi-pribadi yang bersagkutan, dan prerogatif Allah semata. Manusia sebagai khalifah Allah tidak berhak memaksakan maupun menghakimi keimanan, bahkan yang ada di relung hatinya sendiri.

Kuasa penghakiman atas agama sebagai keyakinan yang tersembunyi di relung hati hanya wewenang Allah semata. Dan hal itu tidak atau belum akan terjadi di dunia ini, melainkan baru di hari Qiyamat nanti. Mengapa Qur’an menyebut hari Qiyamat sebagai “Hari Agama” (yaumuddin); karena baru pada hari itulah agama sebagai realitas keimanan dalam relung hati setiap manusia akan dihakimi. Itulah hari di mana kekuasaan Allah tidak lagi didelegasikan kepada manusia atau pihak lain sebagai khalifah-Nya. Kata Qur’an; “... Wal mulku yaumaidzin lillah/ Hari itu seluruh urusan dan kekuasaan ada dalam genggaman-Nya” (Q/Al-Fatihah [1]: 3); (Q/Al-Hajj [22] :56), dan (Q/Al-Infithar [82] : 19).

Khilafah NKRI

Bagaimana dengan status Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) dan pemerintahannya dalam perspektif doktrin “kekhilafahan” ini? Berbasis pemikiran di atas, sepenuhnya bisa dikatakan bahwa by concept “NKRI berdasarkan Pancasila-UUD 1945 tanpa ragu adalah salah satu bentuk ke-Khilafahan sosial” seperti dijelaskan di atas.

Persoalannya tinggal bagaimana secara konsisten dan terus menerus kita dekatkan NKRI ini pada idealitasnya sebagai “Kekhilafahan Tuhan” untuk menggelar keadilan dan kemakmuran bagi segenap rakyatnya; apa pun agamanya/keyakinan maupun suku bangsa dan warna kulitnya.

Umat Islam, sebagai pengemban ajaran Khilafah harus berada digaris depan untuk membuktikan missi sosial agamanya yang universal dan inklusif ini; bukan hanya bagi kelompoknya sendiri, tetapi bagi segenap warga bangsa bahkan segenap umat manusia, tanpa diskriminasi apa pun. Islam sebagai rahmat bagi semua (rahmatan lil ‘alamin). []

Masdar Farid Masudi, Rais Syuriah PBNU
* Disampaikan dalam acara sarasehan pra-Munas dan Konbes NU di Pondok Pesantren Al-Hikam, Depok, 31 Agustus 2014

Tidak ada komentar:

Posting Komentar