Selasa, 02 September 2014

Hasyim Muzadi: Radikalitas ISIS



Radikalitas ISIS
Oleh: Hasyim Muzadi

Paling kurang, semenjak dua dekade terakhir, Indonesia telah menjadi pasar bebas masuknya beragam mazhab pemikiran keagamaan. Dalam praksisnya, mazhab yang datang bergelombang bersama terbitnya fajar reformasi memberi pesan serius bahwa telah terjadi perubahan cara pandang beberapa anak bangsa dalam mempraktikkan pemahaman agamanya. Cara pandang inilah yang belakangan membuat keretakan di tengah-tengah umat.

Sebenarnya, dalam kaitan perbedaan cara pandang, bangsa kita memiliki sejarah panjang.Bahkan, perbedaan cara pandang sudah berhamburan sejak pertama negara akan di bentuk.

Kalau tidak karena rahmat Allah SWT, sudah barang pasti bangsa kita akan langsung terberai pada langkah pertama para founding fathers duduk di meja perundingan. Beragam agama, suku, bahasa, adat istiadat, bisa menyatu dalam kesadaran "bhinneka tunggal ika".

Kini, dalam beberapa hari terakhir, kehi dupan keberagamaan kita kembali terusik dengan munculnya gerakan politik baru berskala transnasional. ISIS namanya. Ia adalah Islamic State of Iraq and Syria (ISIS). Menjadi momok paling menakutkan di dua negara yang hingga kini terkoyak karena perang saudara di kawasan Timur Tengah, Irak dan Suriah. Secara distansial, ia ada jauh di sana, tetapi karena dibumbui tema keagamaan, gaungnya menembus jauh hingga tengah-tengah umat Islam Indonesia.

Kita di dalam negeri belum tahu pasti kemana arah angin akan membawa ISIS. Tetapi, keberadaannya benar-benar telah membuat kita waswas. Gerakannya yang mudah mengafirkan orang atau kelompok yang tidak sepaham, mereka sebagai tak firi.

Gerakan ini telah membuat kita traumatis. Beberapa tahun silam, aksi bom bunuh diri, pe ledakan gereja, peluluhlantakan kafe dan klub malam merupa kan harga yang harus kita bayar karena tidak bersikap tegas terhadap gerakan radikal berbumbu agama ini.

Sebagai Rais Syuriah PBNU, penulis menyerukan umat Islam, khususnya kaum Nahdliyin, tak perlu ikut mendukung ISIS dan jangan membuat perpecahan di kalangan kaum muslimin. Sangat penting disadari bahwa kemunculan dan keberadaan ISIS merupakan fenomena masyarakat Islam di Timur Tengah.

Karena perbedaan budaya dan cara pandang, paham ini tidak sama dan tidak pernah sama dengan kondisi Indonesia. Dalam kaitan ini maka pening katan kewaspadaan adalah mutlak.

ISIS dan beragam paham yang sejenis sejak musim reformasi telah menjelma menjadi embrioembrio kekuatan garis radikal, baik melalui gerakan massa, gerakan yang masuk sistem keindonesiaan, maupun yang menempuh cara teror. Apabila embrio radikalitas ini diolah dengan bumbu isu ISIS atau perpecahan pascapilpres, pasti akan meningkatkan kadar kekerasan dalam gerakan trans nasional yang membahayakan keselamatan kaum muslimin Indonesia dan sekaligus keutuhan NKRI.

Gerakan pendukung Negara Islam Irak dan Suriah (ISIS) ini tumbuh di Indonesia karena banyak kelompok seide yang telah lama berdiri. Seperti, paham gerakan khilafah (pemerintahan Islam). Kita melihat, pemerintah terlalu longgar dan pengawasannya lemah.

Tentu saja, gerakan pendukung ISIS sangat berbahaya karena ideologinya tak mengakui kedaulatan sebuah negara. ISIS muncul karena ada kelompok dengan pemikiran yang seide membentuk khilafah.

Kelompok tersebut merakit kekuatan dengan gerakan massa dan teror. Jika dibiarkan, akan mengakibatkan pergolakan. Gerakan mereka merupakan gerakan transnasional yang menggejala di seluruh dunia.

Untuk menangkalnya, dibutuhkan kerja sama antara Badan Intelijen Negara (BIN), Kementerian Agama (Kemenag), dan Kementerian Luar Negeri (Ke menlu).

Sedangkan, selama ini lembaga negara cenderung ber gerak sendiri tanpa koordinasi yang jelas.Selain itu, lembaga negara harus bergerak ekstra keras. BIN, misalnya, tak hanya mela kukan usaha pengawasan dengan pola kerja intelijen, tapi juga harus memotret dan me mahami ideologi dan pola pikir mereka.

Dengan demikian, bisa dilakukan upaya pencegahan agar ideologi tersebut tak memengaruhi umat Islam yang lain.Selain itu, Kemenlu harus proaktif mengawasi setiap warga negara yang belajar ke luar negeri, baik ke Timur Tengah, Eropa, maupun Amerika Serikat (AS).

Tujuannya agar mereka tak membawa ideologi yang bertentangan dengan NKRI. Selain itu, Kemenlu harus melakukan diplomasi untuk turut mencegah konflik di Timur Tengah. Sebab, saat ini diplomasi tak berjalan optimal alias mandek.

Tentu semua berharap agar gerakan Islam radikal dikendalikan supaya tak berkembang terlalu jauh. Selanjutnya, Ke menag harus membangun Islam yang moderat serta mencegah gerakan dan jaringan Islam radikal.Semua pihak harus menangkal gerakan dukungan kepada ISIS. Caranya dengan memperkuat jam'iyyah (organisasi)

pada tataran masyarakat bawah (grass root). Tentu saja mereka tak perlu dimusuhi, tetapi harus dijauhi. Sebab, jika terjadi bentrok, mereka akan membawa teman dari negara lain untuk membuat konflik di Indonesia.

Bagi kita umat Islam yang berhaluan Ahlussunnah wal Jamaah, cara paling tepat, yakni dengan melakukan strategi yang Islami dan Indonesiawi ketimbang mengaku "kelompok paling Islam" namun menghalalkan segala cara untuk mencapai kepentingan pribadi (kelompok) yang ujung-ujungnya justru merusak Islam. Padahal, yang demikian tidak pernah diajarkan oleh Rasulullah.

Menghalalkan segala cara, bukanlah ajaran Ahlussunnah wal Jamaah. Memang, yang pernah terjadi dalam sejarah Islam, yaitu kelompok Khawarij. Gerakan ini berprinsip; boleh merusak apa saja yang bertentangan dengan kemauannya.

Sekarang ini, ajaran tersebut menjelma dalam berbagai bentuk gerakan perusakan dengan segala manifestasinya. Jika karena itu, terjadi bentrok antarkelompok kaum Muslimin. Maka, saat itulah kekuatan asing akan masuk dan merusak Islam dan Indonesia. Wallahu a''lam. []

REPUBLIKA, 24 Agustus 2014
Hasyim Muzadi ; Mantan Ketua Umum PBNU

Tidak ada komentar:

Posting Komentar