Jumat, 05 September 2014

Mahfud MD: Keadilan Substantif



Keadilan Substantif
Oleh: Moh Mahfud MD

Belakangan ini, terutama saat ramai sengketa Pemilu Presiden 2014 di Mahkamah Konstitusi (MK), istilah keadilan substantif sebagai prinsip dan konsep hukum mencuat sebagai bahan polemik dan debat-debat terbuka. Istilah ini muncul setiap hari, baik di forum-forum persidangan MK maupun dalam ulasan (komentar-komentar) di media massa.

“Hakim harus berani membuat terobosan untuk menggali rasa keadilan. Hakim tidak boleh terbelenggu oleh formalitas prosedural atau pasalpasal undang-undang,” demikian seruan yang ditujukan kepada hakim. Menariknya, kedua kubu yang bersengketa sama-sama meminta putusan yang sesuai dengan keadilan substantif. Untuk itu, hakim dituntut berbicara dengan hati nuraninya guna menggali rasa keadilan di tengahtengah masyarakat, bukan hanya berbicara dengan rasionalitas pada bunyi pasal-pasal undang-undang.

Hakim harus berani berijtihad di luar ketentuan UU agar keadilan bisa ditemukan untuk bahan putusan. Keadilan substantif, dengan demikian, adalah keadilan yang diciptakan oleh hakim dalam putusan-putusannya berdasar hasil galiannya atas rasa keadilan di dalam masyarakat, tanpa dibelenggu bunyi pasal undang-undang yang berlaku. Bentuk perbuatan yang sama bisa divonis secara berbeda, tergantung pada hasil penggalian hakim atas rasa keadilan. Namanya pengadil, bukan penghukum. Itulah makna judge makes law, hakim membuat hukum. Keadilan substantif (substantive justice) kerap dilawankan dengan keadilan prosedural (procedural justice), yakni putusan hakim atau proses penegakan hukum yang sepenuhnya didasarkan pada bunyi undang-undang.

Menurut konsep keadilan prosedural, sesuatu dianggap adil apabila pelaksanaan dan putusan hakim selalu mengikuti bunyi pasal-pasal di dalam undang-undang. Jika hakim memutus di luar ketentuan undang-undang bisa dianggap tidak adil karena melanggar kepastian-kepastian yang sudah ditentukan oleh UU. Yang dikatakan adil di dalam keadilan prosedural itu adalah apabila putusan hakim diletakkan pada aturan-aturan resmi yang ada sebelumnya. Ini diperlukan agar ada kepastian bagi orang-orang yang akan melakukan sesuatu sehingga bisa memprediksi apa akibat yang akan timbul dari perbuatannya itu.

Sebenarnya, kalau ditilik dari latar belakangnya, baik keadilan substantif maupun keadilan prosedural sama-sama berangkat dari esensi kebaikan hukum yang sama. Dulu, pada saat kekuasaan ada di satu tangan, monarki atau raja, kalau ada warga masyarakat merasa dirugikan haknya maka mereka mengajukan perkara itu kepada raja. Raja kemudian menunjuk hakim untuk mengadili perkara itu tanpa ada aturan tertulis. Pokoknya hakim yang ditunjuk disuruh mencari sendiri putusan yang baik dan adil, tanpa hukum tertulis yang bisa dijadikan pedoman.

Setiap perkara yang muncul kemudian diserahkan kepada hakim-hakim oleh raja agar diadili menurut kreasinya masing-masing, sesuai dengan rasa keadilan yang ditemukan dalam penggaliannya. Putusan-putusan itu kemudian menjadi hukum yang mengikat sebagai putusan hukum negara. Tetapi ketika kemudian muncul negara-negara demokrasi modern, terutama di kawasan Eropa Kontinental, muncul pula ide tentang perlunya hukum tertulis. Hakim tak bisa lagi dibiarkan membuat putusan sendiri-sendiri, melainkan harus memutus sesuai dengan hukum tertulis.

Untuk itu di dalam negara harus ada lembaga legislatif (yang membuat hukum tertulis atau undang-undang) sedangkan hakim dimasukkan dalam lembaga yudikatif (yang menegakkan undang-undang di pengadilan jika ada sengketa). Hakim tak boleh membuat hukum, tapi harus menjadi corong pembuat UU. Pembatasan kepada hakim agar tidak membuat hukum (putusan) sendiri di luar undangundang dimaksudkan agar ada kepastian sehingga masyarakat bisa mengukur dan memprediksi sendiri akibat-akibat hukum dari setiap perbuatannya. Dalam mengadili sengketa, hakim harus berpedoman pada undang-undang karena menurut paham (legisme) ini keadilan terletak justru terletak pada kepastian hukumnya.

Selanjutnya sejarah berputar lagi. Keadilan dalam bentuk putusan-putusan hakim di luar undang-undang ternyata dibutuhkan karena di dalam kasus yang sama sering kali terdapat latar belakang situasi yang berbeda. Keadilan dipandang selalu dinamis, tak bisa dikunci dengan undang-undang yang statis. Meski bentuk dan akibat suatu perbuatan sama, vonis hakim harus berbeda jika latar belakang dan situasi yang melingkupinya berbeda. Bukan kepastian, tetapi keadilanlah yang diperlukan dalam hukum. Kepastian hanya bisa diikuti sepanjang bisa memastikan bahwa keadilan ditegakkan.

Sejak ada MK konsep keadilan substantif tidak lagi hanya dijadikan polemik literatur dalam wacana akademik tetapi sudah dituangkan di dalam vonisvonis. Banyak vonis MK yang sengaja keluar dari ketentuan resmi UU guna menciptakan keadilan yang ternyata disambut baik dalam dunia penegakan hukum di Indonesia. Gagasan keadilan substantif bertemu secara esensial dengan gagasan hukum progresif yang digencarkan oleh Prof Satjipto Rahardjo melalui Universitas Diponegoro.

Satjipto mengatakan bahwa keadilan itu tidak hanya ada dalam pasalpasal UU, tetapi harus lebih banyak dicari di dalam denyutdenyut kehidupan masyarakat. Tetapi bagi MK, keadilan substantif tak boleh secara hitam-putih diartikan sebagai keharusan membuat vonis yang selalu keluar dari UU. Keadilan substantif harus dicari sendiri dengan menggali rasa keadilan dalam masyarakat, tetapi sekaligus bisa menerapkan ketentuan UU selama ketentuan di dalam UU dirasa sudah adil. Dengan demikian, memahami vonis MK harus dilihat dari latar belakang kasus dan pertimbangannya untuk setiap kasus. []

KORAN SINDO, 30 Agustus 2014
Moh Mahfud MD ; Guru Besar Hukum Konstitusi

Tidak ada komentar:

Posting Komentar