Takut Kepada Allah;
Berbagai Konsekwensi
Oleh: Yusuf Suharto
Sebelum membincang tentang berbagai
perniknya, alangkah baiknya kita melihat unsur kebahasaan yang berkaitan dengan
“takut”. Juga dapat dimaklumkan, bahwa yang akan saya tulis ini adalah batas
takut dalam perspektif muslim. Sebuah ikhtiar untuk mendekati kebenaran yang
ada dalam kitab suci Al-Qur’an dan tuturan Rasulullah Muhammad shallallahu
‘alaih wasaallam.
Kata takut dalam terminologi al-Qur’an (kitab
suci muslim) dan hadis (tutur kata, tindakan, atau persetujuan Rasul) merupakan
terjemahan-antara lain- dari kata taqwa, khauf, serta khasyah. Ketiganya dapat
merujuk pada makna yang sama, namun juga dapat berbeda dalam tekanan
implikasinya. Namun dalam tulisan ini, penulis tidak dapat mengelaborasinya
secara lebih jauh. Penulis lebih banyak mengupas tentang makna, tanda-tanda dan
implikasi “takut” sahaja. Marilah kita memulai.
Takut merupakan perasaan kekhawatiran atas kehilangan sesuatu yang dicintai atau takut kedatangan sesuatu yang dibenci. Jika dikaitkan dengan masa atau waktu, maka adalah berkenaan pada keadaan masa yang belum dipijak.
Takut pada Allah bermakna takut pada siksa Allah, baik di dunia maupun di akhirat nanti. Takut pada Allah bahkan juga bermakna takut kehilangan kepercayaan serta kecintaan Allah.
Secara garis besar, rasa takut itu dapat dicerminkan pada pelaksanaan perintah Allah serta menjauhi larangan-larangan-Nya. Pada penjelasan yang lebih detail, Syekh Nashr As-Samarqandy dalam Bustanul ‘Arifin berpendapat bahwa takut pada Allah itu menjadi hal yang sesungguhnya, jika telah terpenuhi tujuh (7) macam pertanda.
Pertama, lisan orang yang takut pada Allah mendorongnya untuk tidak berucap kebohongan, menjelek-jelekkan orang lain, juga tidak berkata yang tiada guna. Rasa takut justru menyibukkannya untuk selalu ingat Allah, membaca kitab suci serta membincang pengetahuan.
Kedua, perutnya tidak diisi kecuali dengan makanan minuman yang baik serta halal, juga tidak berlebihan.
Ketiga, penglihatannya tidak mau melihat hal yang yang tidak diperkenankan untuk dilihat.
Keempat, tangannya didayagunakan pada hal-hal yang menuju ketaatan pada Allah; terbebaskan dari hal yang dilarang.
Kelima, kedua kakinya dibawa pada sesuatu yang bukan merupakan larangan Allah.
Keenam, hatinya dijauhkan dari kecenderungan untuk bermusuhan, kebencian, serta kedengkian pada karib atau sahabat. Yang ada dalam hatinya adalah nasehat yang bijak, kedalaman rasa kasih sayang antar sesama.
Ketujuh, kecenderungan untuk menjaga bentuk ketaatan. Maka ketaatannya itu benar-benar ditujukan pada Allah semata, bukan untuk dipuji dan diharga sesama.
Nabi Muhammad pernah menasehatkan tiga hal yang dapat menyelamatkan manusia. Pertama, hendaknya manusia itu berlaku seimbang dalam keadaan senang maupun galau. Kedua, sederhana dalam keadaan papa maupun berkecukupan. Ketiga, takut pada Allah dalam kesunyiaan maupun di tengah-tengah keramaian; dihadapan orang banyak.
Al-Qur’an menyatakan bahwa rasa takut itu adalah bagian syarat dan konsekuensi keimanan. Barang siapa yang takut pada Allah, maka ia tak akan diliputi ketakutan pada apa pun selain-Nya. Namun jika seseorang takut takut pada selain-Nya, maka ia akan diliputi takut pada apa pun. Rasa takut itu membuat manusia selalu berusaha melakukan apa pun yang menjadi keridaan Allah, dan segalanya akhirnya ia pasrahkan sepenuhnya pada Allah.
Allah lah pelindung, penjaga yang sebenar-benarnya. Rasa takut membuat manusia pasrah pada apa pun ketentuan-Nya. Bukankah manusia itu mengimankan bahwa apa pun ketentuan dari Allah adalah siraman kasih, kebijaksanaan dan keadilan-Nya? Barangkali bagi kita, hal yang telah ditentukan Allah itu kelihatan sebagai hal yang merugikan. Namun, tahukah kita, hikmah apakah yang ada dibalik semuanya itu? Sebagai makhluk yang serba terbatas, termasuk dalam rasio dan rasa, kadang kita menjadi naif untuk menggugat keadilan Allah.
Derajat ketakutan itu bagi tiap orang tidaklah sama. Dengan demikian ekspresi dan aplikasi rasa takut itu menjadi hal yang bermacam dalam ejawantahnya. Semakin tinggi rasa takut itu, menjadi terbukalah segala pengetahuan keAllahan padanya. Rasa takut adalah juga bagian dari kecintaan yang mendalam pada Allah. Seorang kekasih akan takut kehilangan perhatian dan kasih sayang kekasihnya, bukankah demikian?
Dalam Islam, rasa takut dengan berbagai ekspresinya itu hendaknya dibarengkan dengan sebuah pengharapan. Harapan dan takut itu hendaknya diseimbangkan, sehingga rasa takut itu misalnya, tidak membuat manusia terputus dari kasih Allah. Rahmat Allah yang meliputi seluruh makhluk-Nya itu menimbulkan harapan yang begitu besar dari manusia untuk berharap akan kasih yang tulus itu.
Rasa cinta telah Allah buktikan dengan memberikan pada kita aneka ragam kenikmatan, sehingga hendaknya kita juga mempersembahkan rasa cinta itu untuk menggapai kerelaan-Nya. Takut akan siksa Allah misalnya, hendaknya merupakan pendorong untuk selalu membuat rela Allah dengan selalu memperbuat apa yang dicintai-Nya.
Takut adalah sebab menjauhi segala apa yang dilarang Allah, serta sebagai kunci dari segala sesuatu. Ia lah yang dapat menghancurkan nafsu angkara manusia. Kesempurnaan iman adalah dengan pengetahuan dan kesempurnaan pengetahuan adalah dengan takut pada Allah. Dalam kata lain, bahwa takut adalah buah dari pengetahuan akan eksistensi keAllahan. Setiap yang beriman pada Allah adalah seorang yang mempunyai rasa takut. Namun rasa takut itu menjadi berbeda-beda tergantung kadar kedekatan pada-Nya.
Jika dikatakan, bahwa bagian terbesar penyebab kehancuran kita bersama adalah kurangnya atau bahkan terkikisnya rasa takut pada Allah, sementara kita melihat begitu banyak cerdik cendekia, hemat penulis adalah sebuah kebenaran. Ketiadaan rasa takut itu membuat manusia mau berbuat apa pun juga, bahkan segala larangan Allah. Bahkan banyak juga di antara kita bersama selalu membincang wacana “takut” itu sebatas dalam perbincangan saja, tanpa membawa aplikasinya di tengah-tengah kehidupan realitas kita. Allah menegaskanpada firman-Nya bahwa sungguh amat besar dosanya orang yang mengatakan pada apa yang tidak pernah ia tindakkan. Dan menurut penuturan Rasulullah, sikap seperti ini antara lahir dengan isi hati yang tidak sama ini dapat disebut sebagai zindiq dan merupakan salah satu ciri munafiq. Kita berlindung dari sikap dan paradigma pikir dan tindak semacam ini.
Alangkah indah dan betapa kita merindukan adanya kebersamaan di antara kita untuk menghayati agama dan kepercayaan kita masing-masing. Sebuah keimanan yang melahirkan sikap dan pola pikir yang konsisten akan kebenaran ajaran Allah. Kita mengimaninya, dan dengannya kita melandaskannya pada seluruh aspek aktivitas kita. Keberimanan yang membawa dan sekaligus rasa takut untuk tidak disapa-Nya kelak di hari akhir.
Penulis adalah Ketua Aswaja NU Center Jombang, Dosen Univ Darul ‘Ulum
Tidak ada komentar:
Posting Komentar