Mendedah 3 Dimensi Aswaja
Judul Buku
: Trilogi Ahlusunnah: Akidah, Syariah dan Tasawuf
Penulis
: Tim
Penulis Batartama Pesantren Sidogiri
Tebal
: xv, 318
Penerbit
: Pustaka Sidogiri
Pondok Pesantren Sidogiri
Cetakan
: pertama, Agustus
2012
Peresensi
: In’am Al Fajar (Pustakawan
di Pesantren Al Hikmah 2 Brebes)
Ada tiga pilar utama peyangga agama ini. Sebagaimana dalam hadits riwayat Sayyidina Umar RA tentang pertanyaan Malaikat Jibril pada Rasulullah SAW. Tiga pilar yang dimaksud adalah Islam, Iman dan Ihsan. Ketiga hal ini ibarat kesatuan utuh yang tak bisa dipisahkan.
Benar, semula ketiganya memang merupakan satu
kesatuan yang tidak terbagi-bagi. Namun dalam perkembangan selanjutnya
bagian-bagian itu dielaborasi oleh para ulama sehingga menjadi bagian ilmu yang
berbeda. Perhatian terhadap Iman memunculkan ilmu tauhid atau akidah. Perhatian
khusus terhadap aspek Islam (dalam arti sempit) melahirkan ilmu fikih atau
syariah. Sedangkan perhatian terhadap aspek Islam melahirkan ilmu tasawuf atau
akhlak. (Pemikiran KH Achmad Siddiq, 1-2).
Pertanyaan yang muncul berikutnya, seperti apakah gambaran yang benar dari ketiga dimensi: akidah, syariah dan tasawuf ini ? Sedangkan seperti diketahui, hari ini ada begitu banyak pendapat berbeda tentang definisi ketiga dimensi tersebut. Satu hal yang jamak difahami, bahwa pemahaman yang lurus tentang ketiga dimensi ini adalah pemahaman Ahlusunnah wal Jama’ah.
Hal ini bersumber dari keterangan sebuah hadist bahwa Rasulullah Saw pernah bersabda “Umat Yahudi terpecah menjadi 71 golongan. Umat Nasrani menjadi 72 golongan. Sedangkan umatku akan terpecah menjadi 73 golongan. Yang selamat dari 73 golongan itu hanya satu, sedangkan yang lainnya celaka“ lalu ditanyakan (pada Nabi Saw) “Siapakah golongan yang selamat itu?” Beliau bersabda, “Ahlusunnah wal Jamaah” ditanyakan lagi (kepada beliau) “Siapakah Ahlusunnah wal Jamaah itu?” Beliau menjawab,”Apa yang dipegang olehku dan para sahabatku”
Hadist ini disebukan oleh al-Hafidz Ibnu Hajar dalam al-Qaul al-Musaddah, Imam asy Syahrastani dalam al Milal wan Nihal, serta disebut oleh Imam al Ghalai dalam Ihya’ Ulumiddin. Menariknya, dalam kitab-kitab-kitab tersebut, hadist ini tidak disebutkan bersama sanadnya, sehingga sulit untuk menentukan sejauh mana kapasitas hadist tersebut untuk bisa dijadikan pijakan (halaman 3).
Sementara itu, ada banyak hadist bersanad yang cukup mirip dengan hadis di atas, tapi hanya menggunakan redaksi “al Jama’ah”, bukan Ahlusunnah wal Jama’ah. Jadi sebenarnya kapan awal mula munculnya istilah Ahlusunnah wal Jama’ah ini? Oleh sebab tidak ditemukan riwayat sahih yang secara langsung menyebutkan istlah Ahlusunnah wal Jama’ah, banyak ulama menilai bahwa istilah ini baru muncul setelah masa Rasulullah Saw.
Sebagaimana tafsiran Sayyidina Ibnu Abbbas RA, pada surat Ali Imran ayat 106-107. Ibnu Abbas menafsiri firman Allah “Muka yang putih berseri” ini dengan menyebut Ahlusunnah wal Jama’ah sedangkan orang yang “hitam wajahnya” di hari kiamat adalah orang yang ahli bid’ah dan kesesatan. (Lihat Tafsir Ibni Katsir Juz 1).
Lepas dari asal-usul istilah Ahlusunnah, satu hal penting yang harus dicatat bahwa satu golongan yang dijanjikan oleh Rasulullah Saw akan selamat di hari akhir nanti, adalah golongan pengikut Rasulullah dan para sahabatnya.
Maka sudah semestinya pendedahan pada makna 3 dimensi : Akidah, Syariah dan Tasawuf pun disandarkan pada pengajaran Rasulullah pada para sahabatnya. Menarik membaca habis buku Trilogi Ahlusunnah, karena di buku inilah satu persatu dimensi agama itu dikaji secara detail dan lengkap berdasarkan pemahaman Ahlusunnah wal Jama’ah. []
Tidak ada komentar:
Posting Komentar