Positif
dan Negative Suara Terbanyak
Putusan
Mahkamah Konstitusi (MK) tentang penentuan anggota DPR berdasar suara terbanyak
dalam pemilu legislatif (pileg) masih menuai pro dan kontra. Ada yang
mengkritik keras, banyak yang mendukung. Ada yang mengatakan MK "sok
tahu" dan menorpedo penentuan sistem pemilu yang seharusnya menjadi
wewenang lembaga legislatif, tetapi banyak juga yang memuji dan bersorak
gembira.
Amien Rais mengusulkan penganugerahan "medali platinum"
kepada MK karena sudah berani menjebol tembok kejumudan politik.
Maklum, sejak perrtengahan 1980-an, LIPI sudah merekomendasikan
sistem suara terbanyak (distrik), tetapi usul itu selalu mentok, dikandaskan
oleh elite politik yang menguasai lembaga legislatif.
Keniscayaan Pro-Kontra MK memang harus menerima pro dan kontra,
terutama kritik atas vonisnya itu, sebagai keniscayaan karena tiga hal.
Pertama, dalam setiap putusan yang diperkarakan ke pengadilan, apa pun
putusannya, pasti ada yang mendukung dan ada yang menolak dengan argumen
masing-masing yang prima facie sama benarnya.
Kedua, kasus suara terbanyak ini menyangkut interest (kepentingan
kue politik) yang menurut ahli perundang-undangan Aan Seidman memang pasti akan
menimbulkan pro dan kontra. Kata Seidman, ada dua hal di antara tujuh elemen
naskah akademik dalam penyusunan UU yang selalu memancing pro kontra atau
pertentangan keras, yakni ideologi dan interest.
Jadi kalau sudah menyangkut "dua I" (ideologi dan
interest), baik dalam pembuatan UU maupun dalam putusan pengadilan, pro dan
kontra tak mungkin sepi.
Ketiga, pro dan kontra, dukungan atau serangan, atas putusan MK
yang ternyata dapat dikemukakan secara bebas menunjukkan bahwa demokrasi kita
sudah semakin maju dengan segala keindahan dan ketidakindahannya. Pada masa
lalu, tidak mungkin ada lembaga yang dapat membatalkan isi UU kecuali dengan
legislative review. Juga, tak ada diskusi publik yang seimbang untuk mempersoalkan
produk legislasi (UU).
Tetapi, perkembangan demokrasi sekarang ini sudah memungkinkan
masyarakat mempersoalkan isi UU melalui judicial review dan MK benar-benar
dapat membatalkannya sebagai wujud dari bekerjanya checks and balances.
Gejala Buruk
Selain efek positif yang memang masih lebih merupakan harapan,
pemberlakuan suara terbanyak dalam pileg ternyata juga menimbulkan masalah
serius, terutama kurang sehatnya kompetisi antarcalon anggota legislatif
(caleg). Media massa memberitakan gejala banyaknya caleg yang menjadi lawan
buas dari caleg separtainya yang juga buas.
Dulu sesama caleg dari satu partai selalu bekerja sama untuk
memenangkan partai. Sekarang yang justru berperang ganas adalah sesama caleg
dalam satu partai.
Energi para caleg bukan disalurkan untuk memenangkan partainya,
melainkan memenangkan dirinya masing-masing. Membuka aib atau memfitnah caleg
lain yang separtai menjadi biasa sehingga suasananya menjadi homo homini lupus
(saling memangsa sesama caleg yang separtai).
Seorang anggota DPR yang kini kembali mejadi caleg dijebak oleh
teman separtainya sesama caleg. Dia diundang oleh teman calegnya itu ke daerah
pemilihannya untuk menemui konstituennya, dan untuk itu, dia menyediakan dana.
Setiba dia di tempat acara, ternyata sudah ada brosur atas namanya yang
disertai amplop berisi uang transpor untuk dibagi-bagi kepada yang hadir.
Dia tepergok oleh panwaslu, diproses secara hukum, dan dijatuhi
pidana penjara enam bulan serta denda enam juta rupiah. Sedangkan teman caleg
separtai yang mengundangnya aman karena tak nongol di tempat itu. Dialah yang
sebenarnya sudah menjebak.
Politik uang atau suap untuk pemilih menjadi bagian dari kompetisi
yang jorok. Banyak di antara mereka yang berani menjual aset (tanah, rumah)
atau meminjam uang ke bank hanya untuk membeli dukungan. Upaya membeli suara
secara borongan oleh caleg melalui KPU atau aparat di tingkat bawah sekarang
mulai menjadi isu yang mengkhawatirkan.
Meskipun bernada gurauan, tampaknya, penyiapan rumah sakit jiwa
untuk menampung para caleg yang tak terpilih kelak menjadi masuk akal. Sebab,
bagaimana jika tak terpilih padahal harta sudah habis dan utang pun menumpuk?
Harus Dilalui
Meski begitu, bukan berarti penentuan anggota legislatif dengan
suara terbanyak merupakan pilihan yang salah. Kalau mau berbicara sisi negatif,
penentuan dengan nomor urut pun banyak segi negatifnya. Misalnya, kemungkinan
penempatan calon pada nomor jadi karena nepotisme atau karena membeli
"nomer urut jadi" kepada pimpinan partai seperti yang banyak
diberitakan oleh media massa.
Ide penentuan dengan suara terbanyak justru dimaksudkan untuk
menghapus nepotisme dan jual beli nomor urut antara caleg dan elite partai. Di
samping itu, tentu saja, hal tersebut dilakukan untuk menghargai kedaualatan
rakyat.
Karena itu, gejala saling bantai dan fitnah, homo homini lupus
antar caleg, dan penghamburan uang caleg untuk mencari dukungan merupakan
risiko-risiko yang untuk sementara harus dilalui demi reformasi politik dan
hukum.
Dengan belajar dari pengalaman Pemilu 2009 ini, insya Allah pada
pemilu 2014, keadaannya lebih baik. Nomor urut tak bisa lagi dibeli atau
dinepotiskan karena sistem itu sudah dihapus; sementara sistem suara terbanyak
tak memungkinkan lagi sembarang orang mau berjudi, membuang-buang uang, dan
mempertaruhkan aset keluarga karena kalau tak punya modal ketokohan yang cukup
hanya akan sia-sia.
Jadi, harus dipahami bahwa gejala buruk sistem suara terbanyak
sekarang ini merupakan masalah yang harus dilalui dan tak terhindarkan untuk
meretas pembaruan politik dan hukum. Pilihan apa pun, ada risikonya. Tapi,
insya Allah untuk jangka panjang, pilihan sistem suara terbanyak akan lebih
bermafaat karena lebih demokratis dan adil. []
Moh. Mahfud MD, Akademisi
Sumber:
Tidak ada komentar:
Posting Komentar