Bila Kesederhanaan Menjadi Pilihan
Ketokohan Kiai As’ad Syamsul Arifin dibidang
agama sudah dikenal pada zamannya hingga sekarang. Ia sangat memahami berbagai
kitab kuning, minimal dalam empat bidang ilmu; ilmu bahasa (Nahwu, sharaf,
balaghah), ilmu tauhid, ilmu tafsir dan ilmu fiqh. Ilmu-ilmu tersebut hingga
kini diajarkan secara mendalam kepada santri-santrinya. Selain itu ia juga
sangat mendalami ilmu tarekat. Bahkan menurut pengakuannya, 40 aliran tarekat
yang sudah dipelajarinya secara mendalam. Dari masing-masing aliran tersebut
Kiai As’ad mendapat ijazah (Ijin) untuk mengamalkan dan mengajarkannya sebagai
mursyid. Dari sekian banyak aliran tarekat, menurut Kiai As’ad hanya ada dua
aliran yang musalsal (mempunyai silsilah sampai pada Nabi Muhammad SAW) yakni
Terekat Naqsabandi dan Qadiriyah. Kedua aliran tarekat itulah yang diamalkan
Kiai As’ad sampai wafatnya.
Pengalamannya terhadap tarekat tersebut
tercermin pada kehidupannya sehari-hari. Walaupun pesantren yang dipimpinnya
sangat besar dengan ribuan santri, serta memiliki pengaruh besar di pemerintah
dan masyarakat. Namun Kiai As’ad tinggal di rumah yang sangat sederhana, bahkan
lebih sederhana ketimbang rumah pengasuh pesantren yang lain, bahkan lebih
sederhana dibanding dengan pemondokan para santri sekalipun.
Kalau kamar santri dan 80-an bangunan lainnya
terbuat dari tembok, yang terkesan cukup mewah. Sementara rumah yang ditempati
Kiai As’ad hanya bangunan semi permanen dengan ukuran kurang lebih 3 X 6 meter.
“Singgasana” Kiai As’ad hanyalah
amben yang dialasi tikar pandan dalam ruang lantai dengan lantai dari tanah.
Disitulah Kiai As’ad menerima tamu sekaligus tidur. Pakaian kebesarannya yang
dikenakan dalam segala situasi dan kondisipun tetap; terdiri dari baju piyama
putih, sarung pelekat putih, kopiah putih dan sandal selop.
Bagi orang yang ekonominya menengah ke bawah,
Kesederhanaan menjadi biasa. Tapi tidak bagi Kiai As’ad yang terkenal kaya raya
dan bahkan melimpah ruah. bayangkan, Kiai As’ad mengambil pilihan hidup
sederhana disaat beliau bisa bermewah-mewah dengan harta benda yang dimiliki.
Sungguh merupakan suatu sikap yang memerlukan kekuatan jiwa yang besar karena
ia mampu mengambil jarak dengan apa yang dimilikinya. Ia menguasai harta tetapi
tidak dikuasai harta. Karena itu berani menggunakan hartanya untuk berjuang,
bukan untuk memenuhi kebutuhannya sendiri.
Kiai As’ad bukanlah kiai yang hanya bisa
mengaji, tetapi seorang wiraswastawan yang gigih, hal itu membuat sikapnya
sangat mandiri. Di Situbondo dan Asembagus saja, Kiai As’ad memiliki 7 buah
toko yang tergolong cukup besar. Di kawasan wisata pantai pasir putih
Situbondo, Kiai As’ad memiliki dua restoran yang laris. Begitupun di pulau
dewata, tepatnya di Negara. Kiai As’ad juga memiliki sebuah restoran di Mekkah,
tempatnya menuntut ilmu. Tidak hanya itu, Kiai yang konon memiliki silsilah
sampai ke Nabi Muhammad, mempunyai rumah berlantai tujuh yang setiap musim haji
disewakan sebagai penginapan jamaah haji, Belum lagi terhitung sawah, tambak
dan perahunya.
Kalau saja kendaraan kiai As’ad bukanlah sedan Toyota corona keluaran terbaru orang tak akan ada yang tahu bahwa Kiai As’ad adalah konglomerat. namun kendaraannya itu ibarat langit dan bumi dengan pakaian yang di kenakannya. Keandaraan tersebut bukan untuk gagah-gagahan atau untuk mengkhianati kesederhanaanya. usianya yang sudah uzur membutuhkan kendaraan yang nyaman untuk mengantarkannya bepergian.
Bagi Kiai As’ad, kekayaan mungkin hanya
sekedar sarana untuk menfasilitasi sekaligus mempermudah perjuangan, bukan tujuan
hidupnya. Tak heran kalau sarana prasarana pendidikan atau pesantrennya di
tunjang secara self supporting (swa dana), tidak pernah berharap funding luar
negeri, semuanya di lakukan atas nama keikhlasan berjuang di jalan Allah.
Kesadaran yang terbentuk bahwa harta adalah titipan itulah, yang menjadi
penggerak sikap sederhananya. Sungguh merupakan falsafah hidup yang layak
diteladani ditengah-tengah menguatnya mainstream materialisme saat ini. []
Disarikan dari buku “Menapak Jejak Mengenal Watak”, 1994
Tidak ada komentar:
Posting Komentar