Rabu, 03 April 2013

Bila Kesederhanaan Menjadi Pilihan


Bila Kesederhanaan Menjadi Pilihan

 

Ketokohan Kiai As’ad Syamsul Arifin dibidang agama sudah dikenal pada zamannya hingga sekarang. Ia sangat memahami berbagai kitab kuning, minimal dalam empat bidang ilmu; ilmu bahasa (Nahwu, sharaf, balaghah), ilmu tauhid, ilmu tafsir dan ilmu fiqh. Ilmu-ilmu tersebut hingga kini diajarkan secara mendalam kepada santri-santrinya. Selain itu ia juga sangat mendalami ilmu tarekat. Bahkan menurut pengakuannya, 40 aliran tarekat yang sudah dipelajarinya secara mendalam. Dari masing-masing aliran tersebut Kiai As’ad mendapat ijazah (Ijin) untuk mengamalkan dan mengajarkannya sebagai mursyid. Dari sekian banyak aliran tarekat, menurut Kiai As’ad hanya ada dua aliran yang musalsal (mempunyai silsilah sampai pada Nabi Muhammad SAW) yakni Terekat Naqsabandi dan Qadiriyah. Kedua aliran tarekat itulah yang diamalkan Kiai As’ad sampai wafatnya.

 

Pengalamannya terhadap tarekat tersebut tercermin pada kehidupannya sehari-hari. Walaupun pesantren yang dipimpinnya sangat besar dengan ribuan santri, serta memiliki pengaruh besar di pemerintah dan masyarakat. Namun Kiai As’ad tinggal di rumah yang sangat sederhana, bahkan lebih sederhana ketimbang rumah pengasuh pesantren yang lain, bahkan lebih sederhana dibanding dengan pemondokan para santri sekalipun.

 

Kalau kamar santri dan 80-an bangunan lainnya terbuat dari tembok, yang terkesan cukup mewah. Sementara rumah yang ditempati Kiai As’ad hanya bangunan semi permanen dengan ukuran kurang lebih 3 X 6 meter. “Singgasana Kiai As’ad hanyalah amben yang dialasi tikar pandan dalam ruang lantai dengan lantai dari tanah. Disitulah Kiai As’ad menerima tamu sekaligus tidur. Pakaian kebesarannya yang dikenakan dalam segala situasi dan kondisipun tetap; terdiri dari baju piyama putih, sarung pelekat putih, kopiah putih dan sandal selop.

 

Bagi orang yang ekonominya menengah ke bawah, Kesederhanaan menjadi biasa. Tapi tidak bagi Kiai As’ad yang terkenal kaya raya dan bahkan melimpah ruah. bayangkan, Kiai As’ad mengambil pilihan hidup sederhana disaat beliau bisa bermewah-mewah dengan harta benda yang dimiliki. Sungguh merupakan suatu sikap yang memerlukan kekuatan jiwa yang besar karena ia mampu mengambil jarak dengan apa yang dimilikinya. Ia menguasai harta tetapi tidak dikuasai harta. Karena itu berani menggunakan hartanya untuk berjuang, bukan untuk memenuhi kebutuhannya sendiri.

 

Kiai As’ad bukanlah kiai yang hanya bisa mengaji, tetapi seorang wiraswastawan yang gigih, hal itu membuat sikapnya sangat mandiri. Di Situbondo dan Asembagus saja, Kiai As’ad memiliki 7 buah toko yang tergolong cukup besar. Di kawasan wisata pantai pasir putih Situbondo, Kiai As’ad memiliki dua restoran yang laris. Begitupun di pulau dewata, tepatnya di Negara. Kiai As’ad juga memiliki sebuah restoran di Mekkah, tempatnya menuntut ilmu. Tidak hanya itu, Kiai yang konon memiliki silsilah sampai ke Nabi Muhammad, mempunyai rumah berlantai tujuh yang setiap musim haji disewakan sebagai penginapan jamaah haji, Belum lagi terhitung sawah, tambak dan perahunya.


Kalau saja kendaraan kiai As’ad bukanlah sedan Toyota corona keluaran terbaru orang tak akan ada yang tahu bahwa Kiai As’ad adalah konglomerat. namun kendaraannya itu ibarat langit dan bumi dengan pakaian yang di kenakannya. Keandaraan tersebut bukan untuk gagah-gagahan atau untuk mengkhianati kesederhanaanya. usianya yang sudah uzur membutuhkan kendaraan yang nyaman untuk mengantarkannya bepergian.

 

Bagi Kiai As’ad, kekayaan mungkin hanya sekedar sarana untuk menfasilitasi sekaligus mempermudah perjuangan, bukan tujuan hidupnya. Tak heran kalau sarana prasarana pendidikan atau pesantrennya di tunjang secara self supporting (swa dana), tidak pernah berharap funding luar negeri, semuanya di lakukan atas nama keikhlasan berjuang di jalan Allah. Kesadaran yang terbentuk bahwa harta adalah titipan itulah, yang menjadi penggerak sikap sederhananya. Sungguh merupakan falsafah hidup yang layak diteladani ditengah-tengah menguatnya mainstream materialisme saat ini. []


Disarikan dari buku “Menapak Jejak Mengenal Watak”, 1994

Tidak ada komentar:

Posting Komentar