Mengadili
Pemilu yang Amburadul
"KRIIING!
Halo Bapak, kami mahasiswa-maahasiswa Papua di Jogja mau mengadu kepada
Mahkamah Konstitusi (MK) karena hak konstitusional kami untuk memilih dirampas.
Kami tak boleh ikut mencontreng, Bapak."Itulah suara penelepon yang masuk
ke HP saya Jumat 10 April 2009 pukul 14.00.
"Kriiing! Halo Mas Mahfud, ada parpol meminta Saya mengajukan
gugatan pemilu ke MK karena daftar pemilih tetap (DPT) kacau balau. Banyak
warga partai tersebut yang tak masuk DPT sehingga partai kehilangan banyak
suara," itu suara penelepon lain, seorang pengacara, yang menghubungi saya
pada pukul 16.30 di hari yang sama.
Kepada kedua penelepon itu saya menjawab bahwa masalah tersebut
tidak bisa diperkarakan ke MK karepa berada diluar wewenang MK.
"Mengapa tak bisa, Bapak? Bukankah MK harus melindungi hak
konstitusional warga negara?" tanya mahasiswa dari Papua itu. "Lho
kok aneh. Bukankah MK itu harus mengadili pelanggaran pemilu?" sergah
pengacara yang mewakili keinginan sebuah parpol itu.
Kepada mahasiswa asal Papua itu saya menjelaskan bahwa benar
Setiap pelanggaran atas hak konstitusional warga negara dapat diperkarakan ke
pengadilan. Tetapi, tidak semua pelanggaran atas hak konstitusional bisa
diperkarakan ke MK. Pelanggaran hak konstitusional dalam suatu perkawinan bagi
keluarga muslim, misalnya, tempat memerkarakannya di pengadilan agama.
Penghinaan yang juga merupakan pelanggaran atas hak konstitusional
di bidang pidana hanya bisa diadili oleh pengadilan umum. Pembuatan keputusan
pejabat yang melanggar hak konstitusional pegawai negeri bisa diajukan ke
Pengadilan Tata Usaha Negara.
Jadi, meski sama-sama mengandung kata "konstitusi', tidak
semua pelanggaran hak konstitusional itu bisa dibawa ke MK. Ada jalur
peradilanya sendiri -sendiri.
Akan halnya wewenang MK untuk mengadili kasus pemilu haruslah
diingat bahwa menurut pasal 24C UUD 1945, MK hanya mengadili perselisihan hasil
pemilu, bukan mengadili proses dan pelanggaran pidana dan administrasi pemilu.
Untuk itu MK tidak bisa membatalkan pelaksanaan pemilu, tetapi bisa membatalkan
dan mengubah perolehan suara masing-maSing parpol yang ditetapkan oleh KPU: Itu
intinya.
Jika dalam praktik MK menjadikan berbagai pelanggaran atau
karut-marut pemilu itu sebagai bahan pertimbanga di dalam membuat putusan, hal
itu bisa saja sejauh kasus-kasus tersebut diyakini telah memengaruhi
perhitungan suara hasil pemilu.
Dalam soal karut-marut dan amburadulnya DPT, MK tak bisa mengadili
karena dua hal. Pertama, masalah itu ada di luar kewenangan MK karena bukan
perselisihan hasil pemilu, tapi amburadulnya proses pemilu.
Kedua, secara materiil karut-marut atau amburadul DPT itu bersifat
random (acak),tidak hanya menimpa pemilih parpol tertentu tetapi menimmpa
hampir semua parpol.
Misalkan Partai Demokrat, Partai Gerindra dan Partai Amanat
Nasional mengklaim ribuan anggotanya tidak dapat memilih karena tidak terdaftar
di DPT, maka hal yang sama menimpa Partai Golkar, PDIP dan parpol-parpol lain.
Oleh sebab itu, tak mungkinlah dapat dihitung oleh siapa pun
berapa besar suara untuk masing-masing parpol yang seharusnya diperoleh
seandainya tidak ada kekacauan DPT.
Ingatlah, orang-orang yang memiliki kartu anggota atau me-ngaku
mendukung suatu parpol belum tentu akan benar-benar memilih parpol yang
bersangkutan. Di bilik suara, setiap orang bisa memilih parpol apa pun yang tak
boleh diintip olehsiapa pun. Inilah yang tak memungkinkan MK mengadili soal DPT
itu dalam kaitanya dengan hasil pemilu.
Soalnya apakah perampasan Hak konstitusional seperti amburadulnya
DPT itu tak bisa diadili? Jawabnya tentu saja bisa, tapi bukat di MK.
Pelanggaran itu bisa saja di ajukan ke pengadilan umum sebaga tindak pidana
karena, misalnya menghalangi orang untuk menggunakan hak pilih dalam pemilu
Siapa pun yang menghalangi hak orang untuk memilih, apakah itu pimpinan KPU,
pejabat pemerintah, atau orang biasa bisa diajukan ke peradilan pidana. Ancaman
hukumannya bisa dua tahun pidana penjara.Tinggallah pembuktian di pengadilan,
apakah kekacauan DPT itu karena kesengajaan atau kealpaan.
Jadi, janganlah setiap ada apa-apa yang berkaitan dengan hak
konstitusional mau diperkarakan ke MK. Jalur hukum pasti ada, tetapi tak harus
ke MK. []
Moh. Mahfud MD, Akademisi
Sumber:
Tidak ada komentar:
Posting Komentar