Meneliti Sistematik
Penyusunan Al-Qur'an
Oleh: Syuaib
Ayat-ayat al-Qur’an diturunkan Allah swt dari
langit melalui malaikat jibril kepada Nabi Muhammad saw secara bertahap selama
dua puluh dua tahun, dua bulan, dan dua puluh dua hari. Berapapun jarak waktu
dan cara turunnya ayat al-Qur’an, Rasulullah selalu menyampaikan kepada para
sekertaris wahyu -berdasarkan petunjuk yang diberikan Malaikat Jibril- bahwa
ayat yang baru saja diterimanya merupakan lanjutan dari ayat yang sebelumnya
telah diturunkan, atu ayat tersebut merupakan awal dari salah satu surah.
Dari sini terlihat bahwa penyusunan ayat-ayat
al-Quran sebagaimana terlihat sekarang, tidak didasarkan pada masa atau tahapan
turunnya, tetapi disusun oleh Allah berdasarkan “pertimbangan-Nya”, atau lebih
tepatnya berdasarkan keserasian hubungan ayat-ayat dan surahnya
Kontradiktif Ulama
Menurut sebagian ulama sistematika penyusunan
al-Qur’an sangat kacau dengan artian sangat tidak sistematika, betapa tidak,
ayat-ayat yang tersusun dalam al-Qur’an dinilai tidak ada korelasi antara ayat
sebelumnya dan saetelahnya. Kata mereka, ketika susunan al-Qur’an belum selesai
menguraikan satu pembahasan, tiba-tiba dalam ayat berikutnya pembahasannya
melompat jauh dari pembahasan sebelumnya. Bukti validnya, mari lihat dan
perhatikan beberapa sistematika penyusunan ayat al-Qur’an yang terdapat dalam
surah al-Baqarah, ayat-ayat yang pembahasannya sangat kontradektif bersusun
dalam surat ini, seperti penjelasan ayat tentang keharaman suatu makanan
tertentu berbaur dengan ayat yang menjelaskan tentang ancaman terhadap yang
enggan menyebar luaskan ilmu pengetahuan, anjuran bersedekah, kewajiban puasa,
dan hubungan suami-istri dikemukakan secara berurut dalam belasan ayat-ayat
surah al-Baqarah.
Jauh dari itu, mereka juga berpendapat bahwa
sistematika penyusunan al-Qur’an dalam surah-surahnya, seperti dalam surah
al-Qur’an tidak disusun dalam bentuk bab per bab yang kemudian diteruskan
fasal-fasalnya sebagaimana sistematika kitab-kitab klasik yang biasa dikenal
oleh umat Islam. Sepintas, memang nampak jelas bahwa susunan ayat al-Qur’an
tidak teratur atau tidak berurutan, bahkan kadang satu ayat memuat parintah
sementara ayat selanjutnya memaparkan kisah-kisah sehingga sepintas tidak ada
korelasi erat. Menurut mereka, perbuatan orang yang ingin menghubungkan
ayat-ayat yang sudah jelas tidak mungkin disatukan, hanya akan memberatkan atau
menambah beban dirinya sendiri.
Di lain haluan, para pakar ulum al-Qur’an
menyatakan perspektif yang berbeda dengan apa yang telah dipaparkan di atas,
kalau di atas secara jelas dinyatakan bahwa susunan al-Qur’an tidak sistematik,
menurut pendapat ini justru menyatakan adanya korelasi dan keserasian antara
uraian ayat pertama dan ayat selanjutnya yang terdapat dalam berbagai surah
al-Qur’an. Pendapat ini diplopori oleh Imam Abu bakar an-Naisaburidan pakar
ilmu l-Qur’an lainnya, seperti Imam al-Syatibi. Dalam karyanya ia menulis:
“Tidak dibenarkan apabila seseorang hanya memperhatikan bagian dari suatu
pembicaraan, kecuali pada saat ia bermaksud memahami arti lahiriyah dari satu
kesatuan kata menurut etimologi.
Susunan al-Qur’an Sistematis
Memang secara sepintas susunan ayat-ayat
al-Qur’an tidak teratur dan tidak tersusun secara sistematis, Namun sejatinya
susunan ayat suci al-Qur’an sangat sistimatik, tersusun rapi, dan memuat
keserasian kombinsi yang sangat mengagumkan antara satu ayat dengan ayat lain,
sama halnya dengan keserasian hubungan yang memadukan gejolak dan
bisikan-bisikan hati manusia, sehingga pada akhirnya sisi dan aspek yang
tadinya terkesan kacau menjadi terangkai dan terpadu indah, bagaikan kalung
mutiara yang tidak diketahui dimana ujung dan pangkalnya. Keserasian ini hanya
dapat diketahui oleh orang-orang yang tekun mempelajari al-Qur`an. Sebab tata
letak ayat-ayat suci al-Qur’an merupakan ketentuan langsung dari Allah
(tauqîfi).
Sistematika dan Keserasian ayat al-Qur’an
nampak jelas dari beberapa hal:
Pertama, Tampilan kombinasi satu kata dengan
kata yang lain dalam al-Qur’an merupakan kesatuan yang logis dan mengagumkan.
Sebagaimana yang tertera dalam surah an-Nisaa’, mengenai penjelasan wanita yang
haram dinikahi oleh umat muslim: “Diharamkan atas kamu (mengawini) ibu-ibumu;
anak-anakmu yang perempuan; saudara-saudaramu yang perempuan, saudara-saudara
bapakmu yang perempuan; saudara-saudara ibumu yang perempuan; anak-anak
perempuan dari saudara-saudaramu yang laki-laki; anak-anak perempuan dari
saudara-saudaramu yang perempuan; ibu-ibumu yang menyusui kamu; saudara
perempuan sepersusuan; ibu-ibu isterimu (mertua); anak-anak isterimu yang dalam
pemeliharaanmu dari isteri yang telah kamu campuri, tetapi jika kamu belum
campur dengan isterimu itu (dan sudah kamu ceraikan), maka tidak berdosa kamu
mengawininya; (dan diharamkan bagimu) isteri-isteri anak kandungmu (menantu);
dan menghimpunkan (dalam perkawinan) dua perempuan yang bersaudara, kecuali
yang telah terjadi pada masa lampau; sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi
Maha Penyayang” (An-Nisaa’[04]:23)
Ayat diatas -dalam satu redaksi- menuturkan
secara rinci, menyeluruh, lugas, dan sangat indah. Di sampang itu, susunan ayat
tersebut amat sistematis; penyebutan hokum disertai dengan syarat, kondisinya
serta petunjuk yang menyangkut siapa yang haram dikawini.
Tidak dapat dipungkiri bahwa susunan semacam
ini bagi ilmuan merupakan suatu olah nalar yang amat sulit, lebih-lebih bila
disusun secara sepontan, sebagaimana keadaan wahyu yang diterima oleh Nabi
Muhammad saw. Ayat ini diuraikan dengan jelas dan gambling. Hal ini untuk
menyesuaikan dengan kondisi pada saat itu, dimana kelompok wanita berbeda-beda
sebanyak 13. Lantas ayat ini menjelaskan secara detail; menguraikan
kelompok-kelompok wanita tersebut secara berurutan, mulai dari ibu, anak
perempuan, saudara perempuan, anak saudara laki-laki, anak saudara perempuan
yang memiliki hubungan kekerabatan langsung, kemudian perempuan yang menyusui,
lalu saudara perempuan susuan, dan setelah itu disusul dengan keharaman
mengawini mertua, menantu, dan saudara istri. Sungguh menakjubkan !
Kedua, Fashilah (akhir) setiap ayat yang
sesuai dengan isi dan kandungan ayatnya, terlebih apabila ayat tersebut
diakhiri dengan nama-nama indah Allah (al-Asma’ al-Husna). Setiap ayat yang
diakhiri al-Asma’ al-Husna, tedapat hubungan yang sangat erat dan sesuai
(munâsabah) antara al-Asma’ al-Husna dan pembahasan yang dikandung ayat
tersebut. Kesesuain tersebut berfungsi untuk menguatkan atau menggarisbawahi
kandunagan ayat itu.
Misalnya, dalam surah al-Haj ayat 64, dimana
kandungan ayat tersebut menjelaskan bahwa alam semesta ini ada di genggaman
Allah, lalu kemudian ayat tersebut diakhiri dengan penyebutan sifat Allah, Maha
Kaya lagi Maha Terpuji. Pada awal ayat Allah menjelaskan bahwa, “Kepunyaan
Allah-lah segala yang ada di langit dan segala yang ada di bumi ” lalu ditutup
dengan kalimat “Sesungguhnya Allah Mahakaya lagi Maha Terpuji”. Penutup ayat
ini mengandung makna “langit dan bumi diciptakan Allah bukan untuk
kepentingan-Nya, karena Dia Maha Kaya dan Terpuji lagi.
Ketiga, hubungan surah dengan surah
berikutnya, mengenai hal ini Imam al-Biqai berkomentar, bahwa hubungan surah
dengan surah berikutnya bagaikan sepasang rantai mutiara yang saling terkait
sehingga tidak diketahui mana awal mana akhirnya, semisal surah terakhir, an-Nas
yang diawali permohonan perintah memohon perlindungan kepada Allah (qul a’udzu
bi Rabbin-nas), dimana kandungan ini terdapat dalam surah pertama yang disusun
oleh surah al-Fatihah (surah pertama), karena Al-Quran memerintahkan untuk
berta’awudz (memohon perlindungn Allah) sebelum membaca al-Qur’an:
فَإِذَا
قَرَأْتَ الْقُرْآَنَ فَاسْتَعِذْ بِاللَّهِ مِنَ الشَّيْطَانِ الرَّجِيمِ [النحل/98
[
“Apabila kamu membaca Al Qur’an hendaklah
kamu meminta perlindungan kepada Allah dari syaitan yang terkutuk” (QS An-Nahl)
Keempat, korelasi ayat ke ayat dalam satu
surah. Semisal surah dalam al-Baqarah yang terdiri dari 286 ayat. Surah ini
turun dalam kurun waktu cukup panjang, sembilan tahun. Namun, meski terjadi
selang waktu yang cukup panjang, namun keserasian hubungan ayat-ayatnya tetap
terpelihara dengan begitu indah.
Mengenai hal ini Abdullah Darras
menglasifikasikan isi surah al-Baqarah menjadi tiga bagian: Pertama,
pendahuluan yang berbicara tentang al-Quran. Kedua , uraian yang mengandung
empat tujuan pokok; 1) ajakan kepada seluruh manusia untuk memeluk ajaran
islam, 2) ajakan kepada ahli kitab agar meninggalkan kebatilan mereka dan ikut
memeluk ajaran islam, 3) penjelasan tentang ajaran-ajaran Islam, 4) penjelasan
tentang motivasi untuk melaksanakan ajaran Islam. Ketiga, penutup yang
menjelaskan orang-orang yang mingikuti ajaran Islam sekaligus penjelasan
tentang apa yang harapan dan pahala yang mereka raih di dunia dan akhirat.
Walhasil, semua ayat atau surah yang ada
dalam al-Quran itu disusun secara sistematis dan sudah dapat dipastikan
mengandung hikmah yang bigitu besar. Wallahu a’lam bish shawab.
Refrensi:
1.
Tafsir A-Manar hlm. 27
2.
Badruddin Al-Zarkasyi, Al-Burhan fi
Ulumil Quran, Al-Halabiy Kairo, cet.ke-1, 1957
3.
Abu Ishaq Al-Syatibi, Al-Muwafaqat Dar
Al-Ma’rifah, Beirut, Cet ke-II 1975, Jilid III, hlm 414.
4.
Al-Biqa’I, Nazhm Ad-Durarm, vol XXII,
hlm 483.
5.
Drs. Abd. Rahman Dahlan, M.a.
Kaidah-Kaidah Penafsiran al-Quran. hlm 204
Sumber: Buletin Pondok Pesantren Sidogiri,
Pasuruan – Jawa Timur
Tidak ada komentar:
Posting Komentar