Kamis, 18 April 2013

(Ngaji of the Day) Meneliti Sistematik Penyusunan Al-Qur'an


Meneliti Sistematik Penyusunan Al-Qur'an

Oleh: Syuaib

 

Ayat-ayat al-Qur’an diturunkan Allah swt dari langit melalui malaikat jibril kepada Nabi Muhammad saw secara bertahap selama dua puluh dua tahun, dua bulan, dan dua puluh dua hari. Berapapun jarak waktu dan cara turunnya ayat al-Qur’an, Rasulullah selalu menyampaikan kepada para sekertaris wahyu -berdasarkan petunjuk yang diberikan Malaikat Jibril- bahwa ayat yang baru saja diterimanya merupakan lanjutan dari ayat yang sebelumnya telah diturunkan, atu ayat tersebut merupakan awal dari salah satu surah.

 

Dari sini terlihat bahwa penyusunan ayat-ayat al-Quran sebagaimana terlihat sekarang, tidak didasarkan pada masa atau tahapan turunnya, tetapi disusun oleh Allah berdasarkan “pertimbangan-Nya”, atau lebih tepatnya berdasarkan keserasian hubungan ayat-ayat dan surahnya

 

Kontradiktif Ulama

 

Menurut sebagian ulama sistematika penyusunan al-Qur’an sangat kacau dengan artian sangat tidak sistematika, betapa tidak, ayat-ayat yang tersusun dalam al-Qur’an dinilai tidak ada korelasi antara ayat sebelumnya dan saetelahnya. Kata mereka, ketika susunan al-Qur’an belum selesai menguraikan satu pembahasan, tiba-tiba dalam ayat berikutnya pembahasannya melompat jauh dari pembahasan sebelumnya. Bukti validnya, mari lihat dan perhatikan beberapa sistematika penyusunan ayat al-Qur’an yang terdapat dalam surah al-Baqarah, ayat-ayat yang pembahasannya sangat kontradektif bersusun dalam surat ini, seperti penjelasan ayat tentang keharaman suatu makanan tertentu berbaur dengan ayat yang menjelaskan tentang ancaman terhadap yang enggan menyebar luaskan ilmu pengetahuan, anjuran bersedekah, kewajiban puasa, dan hubungan suami-istri dikemukakan secara berurut dalam belasan ayat-ayat surah al-Baqarah.

 

Jauh dari itu, mereka juga berpendapat bahwa sistematika penyusunan al-Qur’an dalam surah-surahnya, seperti dalam surah al-Qur’an tidak disusun dalam bentuk bab per bab yang kemudian diteruskan fasal-fasalnya sebagaimana sistematika kitab-kitab klasik yang biasa dikenal oleh umat Islam. Sepintas, memang nampak jelas bahwa susunan ayat al-Qur’an tidak teratur atau tidak berurutan, bahkan kadang satu ayat memuat parintah sementara ayat selanjutnya memaparkan kisah-kisah sehingga sepintas tidak ada korelasi erat. Menurut mereka, perbuatan orang yang ingin menghubungkan ayat-ayat yang sudah jelas tidak mungkin disatukan, hanya akan memberatkan atau menambah beban dirinya sendiri.

 

Di lain haluan, para pakar ulum al-Qur’an menyatakan perspektif yang berbeda dengan apa yang telah dipaparkan di atas, kalau di atas secara jelas dinyatakan bahwa susunan al-Qur’an tidak sistematik, menurut pendapat ini justru menyatakan adanya korelasi dan keserasian antara uraian ayat pertama dan ayat selanjutnya yang terdapat dalam berbagai surah al-Qur’an. Pendapat ini diplopori oleh Imam Abu bakar an-Naisaburidan pakar ilmu l-Qur’an lainnya, seperti Imam al-Syatibi. Dalam karyanya ia menulis: “Tidak dibenarkan apabila seseorang hanya memperhatikan bagian dari suatu pembicaraan, kecuali pada saat ia bermaksud memahami arti lahiriyah dari satu kesatuan kata menurut etimologi.

 

Susunan al-Qur’an Sistematis

 

Memang secara sepintas susunan ayat-ayat al-Qur’an tidak teratur dan tidak tersusun secara sistematis, Namun sejatinya susunan ayat suci al-Qur’an sangat sistimatik, tersusun rapi, dan memuat keserasian kombinsi yang sangat mengagumkan antara satu ayat dengan ayat lain, sama halnya dengan keserasian hubungan yang memadukan gejolak dan bisikan-bisikan hati manusia, sehingga pada akhirnya sisi dan aspek yang tadinya terkesan kacau menjadi terangkai dan terpadu indah, bagaikan kalung mutiara yang tidak diketahui dimana ujung dan pangkalnya. Keserasian ini hanya dapat diketahui oleh orang-orang yang tekun mempelajari al-Qur`an. Sebab tata letak ayat-ayat suci al-Qur’an merupakan ketentuan langsung dari Allah (tauqîfi).

 

Sistematika dan Keserasian ayat al-Qur’an nampak jelas dari beberapa hal:

Pertama, Tampilan kombinasi satu kata dengan kata yang lain dalam al-Qur’an merupakan kesatuan yang logis dan mengagumkan. Sebagaimana yang tertera dalam surah an-Nisaa’, mengenai penjelasan wanita yang haram dinikahi oleh umat muslim: “Diharamkan atas kamu (mengawini) ibu-ibumu; anak-anakmu yang perempuan; saudara-saudaramu yang perempuan, saudara-saudara bapakmu yang perempuan; saudara-saudara ibumu yang perempuan; anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang laki-laki; anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang perempuan; ibu-ibumu yang menyusui kamu; saudara perempuan sepersusuan; ibu-ibu isterimu (mertua); anak-anak isterimu yang dalam pemeliharaanmu dari isteri yang telah kamu campuri, tetapi jika kamu belum campur dengan isterimu itu (dan sudah kamu ceraikan), maka tidak berdosa kamu mengawininya; (dan diharamkan bagimu) isteri-isteri anak kandungmu (menantu); dan menghimpunkan (dalam perkawinan) dua perempuan yang bersaudara, kecuali yang telah terjadi pada masa lampau; sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang” (An-Nisaa’[04]:23)

 

Ayat diatas -dalam satu redaksi- menuturkan secara rinci, menyeluruh, lugas, dan sangat indah. Di sampang itu, susunan ayat tersebut amat sistematis; penyebutan hokum disertai dengan syarat, kondisinya serta petunjuk yang menyangkut siapa yang haram dikawini.

 

Tidak dapat dipungkiri bahwa susunan semacam ini bagi ilmuan merupakan suatu olah nalar yang amat sulit, lebih-lebih bila disusun secara sepontan, sebagaimana keadaan wahyu yang diterima oleh Nabi Muhammad saw. Ayat ini diuraikan dengan jelas dan gambling. Hal ini untuk menyesuaikan dengan kondisi pada saat itu, dimana kelompok wanita berbeda-beda sebanyak 13. Lantas ayat ini menjelaskan secara detail; menguraikan kelompok-kelompok wanita tersebut secara berurutan, mulai dari ibu, anak perempuan, saudara perempuan, anak saudara laki-laki, anak saudara perempuan yang memiliki hubungan kekerabatan langsung, kemudian perempuan yang menyusui, lalu saudara perempuan susuan, dan setelah itu disusul dengan keharaman mengawini mertua, menantu, dan saudara istri. Sungguh menakjubkan !

 

Kedua, Fashilah (akhir) setiap ayat yang sesuai dengan isi dan kandungan ayatnya, terlebih apabila ayat tersebut diakhiri dengan nama-nama indah Allah (al-Asma’ al-Husna). Setiap ayat yang diakhiri al-Asma’ al-Husna, tedapat hubungan yang sangat erat dan sesuai (munâsabah) antara al-Asma’ al-Husna dan pembahasan yang dikandung ayat tersebut. Kesesuain tersebut berfungsi untuk menguatkan atau menggarisbawahi kandunagan ayat itu.

 

Misalnya, dalam surah al-Haj ayat 64, dimana kandungan ayat tersebut menjelaskan bahwa alam semesta ini ada di genggaman Allah, lalu kemudian ayat tersebut diakhiri dengan penyebutan sifat Allah, Maha Kaya lagi Maha Terpuji. Pada awal ayat Allah menjelaskan bahwa, “Kepunyaan Allah-lah segala yang ada di langit dan segala yang ada di bumi ” lalu ditutup dengan kalimat “Sesungguhnya Allah Mahakaya lagi Maha Terpuji”. Penutup ayat ini mengandung makna “langit dan bumi diciptakan Allah bukan untuk kepentingan-Nya, karena Dia Maha Kaya dan Terpuji lagi.

 

Ketiga, hubungan surah dengan surah berikutnya, mengenai hal ini Imam al-Biqai berkomentar, bahwa hubungan surah dengan surah berikutnya bagaikan sepasang rantai mutiara yang saling terkait sehingga tidak diketahui mana awal mana akhirnya, semisal surah terakhir, an-Nas yang diawali permohonan perintah memohon perlindungan kepada Allah (qul a’udzu bi Rabbin-nas), dimana kandungan ini terdapat dalam surah pertama yang disusun oleh surah al-Fatihah (surah pertama), karena Al-Quran memerintahkan untuk berta’awudz (memohon perlindungn Allah) sebelum membaca al-Qur’an:

 

فَإِذَا قَرَأْتَ الْقُرْآَنَ فَاسْتَعِذْ بِاللَّهِ مِنَ الشَّيْطَانِ الرَّجِيمِ [النحل/98 [

 

“Apabila kamu membaca Al Qur’an hendaklah kamu meminta perlindungan kepada Allah dari syaitan yang terkutuk” (QS An-Nahl)

 

Keempat, korelasi ayat ke ayat dalam satu surah. Semisal surah dalam al-Baqarah yang terdiri dari 286 ayat. Surah ini turun dalam kurun waktu cukup panjang, sembilan tahun. Namun, meski terjadi selang waktu yang cukup panjang, namun keserasian hubungan ayat-ayatnya tetap terpelihara dengan begitu indah.

 

Mengenai hal ini Abdullah Darras menglasifikasikan isi surah al-Baqarah menjadi tiga bagian: Pertama, pendahuluan yang berbicara tentang al-Quran. Kedua , uraian yang mengandung empat tujuan pokok; 1) ajakan kepada seluruh manusia untuk memeluk ajaran islam, 2) ajakan kepada ahli kitab agar meninggalkan kebatilan mereka dan ikut memeluk ajaran islam, 3) penjelasan tentang ajaran-ajaran Islam, 4) penjelasan tentang motivasi untuk melaksanakan ajaran Islam. Ketiga, penutup yang menjelaskan orang-orang yang mingikuti ajaran Islam sekaligus penjelasan tentang apa yang harapan dan pahala yang mereka raih di dunia dan akhirat.

 

Walhasil, semua ayat atau surah yang ada dalam al-Quran itu disusun secara sistematis dan sudah dapat dipastikan mengandung hikmah yang bigitu besar. Wallahu a’lam bish shawab.

 

Refrensi:

1.     Tafsir A-Manar hlm. 27

2.     Badruddin Al-Zarkasyi, Al-Burhan fi Ulumil Quran, Al-Halabiy Kairo, cet.ke-1, 1957

3.     Abu Ishaq Al-Syatibi, Al-Muwafaqat Dar Al-Ma’rifah, Beirut, Cet ke-II 1975, Jilid III, hlm 414.

4.     Al-Biqa’I, Nazhm Ad-Durarm, vol XXII, hlm 483.

5.     Drs. Abd. Rahman Dahlan, M.a. Kaidah-Kaidah Penafsiran al-Quran. hlm 204

 

 

Sumber: Buletin Pondok Pesantren Sidogiri, Pasuruan – Jawa Timur

Tidak ada komentar:

Posting Komentar