Menimbang Poligami Agar
tidak Berat Sebelah
Oleh: Fauzan al-Farisi
Suami adalah seorang pemimpin yang mempunyai
otoritas besar dalam menjaga keutuhan rumah tangga. Agar berhasil meraih
kebahagiaan, suami harus selektif dalam mencari sebuah solusi ketika
hubungannya timbul ketidakharmonisan. Sebaik dan sepintar apapun seorang istri
apabila sang suami tak bisa memelihara kebahagiaan, maka impian itu sulit untuk
terwujud.
Beda halnya bila keberhasilan untuk mencapai
bahagia tercoreng akibat ulah istri, maka suami masih mempunyai wewenang dan
kemampuan lebih untuk membenahi hubungannya. Sebab, kepemimpinan suami lebih
besar dari pada istri.
Rumah tangga bahagia, secara umum, sebenarnya
hanya dapat terpelihara bila suami hanya beristri satu saja. Bentuk rumah
tangga semacam ini lebih ampuh terhindar dari segala macam hal yang
bersangkutan dengan disharmonisasi antar pasutri. Poligami berpotensi
memunculkan ketidakserasian dan kecemburuan sosial, baik yang terjadi pada
istri atau pihak-pihak lain. Poligami bisa jadi bertentangan dengan citra kasih
dan ketenangan saat hidup bersama seorang wanita. Lantas, bagaimana dengan
firman Allah swt yang disebut dalam al-Quran?
وَإِنْ
خِفْتُمْ أَلَّا تُقْسِطُوا فِي الْيَتَامَى فَانْكِحُوا مَا طَابَ لَكُمْ مِنَ
النِّسَاءِ مَثْنَى وَثُلَاثَ وَرُبَاعَ فَإِنْ خِفْتُمْ أَلَّا تَعْدِلُوا فَوَاحِدَةً
أَوْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ ذَلِكَ أَدْنَى أَلَّا تَعُولُوا [النساء/3]
“Dan jika kamu takut tidak dapat berlaku adil
terhadap (hak-hak) perempuan yang yatim (bilamana kamu mengawininya), maka
kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi: dua, tiga atau empat.
Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (kawinilah)
seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. Yang demikian itu adalah lebih
dekat kepada tidak berbuat aniaya.”(Q.S an-Nisa [04]: 03)
Penjelasan
Telah jelas bahwa menikahi lebih dari satu
istri merupakan sikap islami. Ayat ini bukanlah dalam konteks memotivasi atau
mengapresiasi poligami, namun meletakkan pada konteks perlindungan yatim dan
janda korban perang. Penjelasan ayat ini secara global ialah, Jika seseorang
menjadi seorang wali yang memelihara wanita yatim, lalu ada keinginan untuk
menikahinya, namun khawatir untuk tidak bisa berlaku adil, maka Allah
memberinya jalan untuk mengawini wanita-wanita lain baik dua, tiga, atau empat
(poligami). (Al-Mawardi, An-Naktu Wal-'uyûn, vol 01, hal 273. Ali ash-Shabuni,
Tafsiru Âyatil-Ahkam, vol 1, hal 189. [Perlu diketahui bahwa beberapa karya
para ulama yang menjadi referensi dari penulisan ini, semuanya diambil dari
Maktabah Syamilah]). Ibnu Abbas ra menjelaskan bahwa, orang-orang Arab dahulu
berhati-hati dalam memelihara harta anak yatim, tapi dalam perlakuan adil
terhadap para istri, mereka tidak berhati-hati. Lalu turunlah ayat ini sebagai
petunjuk bagi mereka. (Ibnu Jazi, At-Tashîl Li‘ulûmit-Tanzîl, Surat an-Nisa’)
Terdapat munâsabah (korelasi) antara
penyebutan wanita dan anak yatim dalam ayat ini, yaitu, keduanya merupakan
orang-orang lemah yang butuh perlindungan. Dari sisi lain, poligami merupakan
sebuah solusi bagi para pengurus wanita yatim yang berkeinginan menikahinya
namun khawatir tidak bisa berbuat adil.(Ibid, ash-Shabuni hal 191) Dan, tulisan
ini hanya akan fokus pada pembahasan nikah dan poligami di ayat tersebut.
Perintah berupa kata fankihû (nikahilah!) di
ayat ini, yang menjadi obyek sasaran ialah orang merdeka, bukan budak. Dasar
mengenai hal ini ialah kalimat yang berbunyi aw mâ malakat aimânukum (atau
budak-budak yang kamu miliki). Sebagaimana maklum bahwa hanya orang merdeka
saja yang mempunyai budak. Selain itu, didukung oleh kalimat selanjutnya,
dzâlika adnâ an lâ ta'ûlû (Yang demikian itu adalah lebih dekat untuk tidak
berbuat aniaya) juga menunjukkan hal ini tertuju pada orang merdeka, sebab
hanya orang merdeka yang berharta, dan orang yang berharta yang berpotensi
berbuat aniaya. Sehingga, ayat ini menjelaskan pembatasan poligami sampai empat
istri saja bagi orang merdeka. Demikian penjelasan as-Syafii.(Fakhruddin
ar-Razi, Mafâtihul-Ghaib, vol 5 hal 47)
Berangkat dari kata Fankihû yang berupa
perintah, mayoritas ulama berpendapat bahwa nikah berhukum mubâh. Sedangkan
ahludz-dlâhir memiliki pandangan berbeda dalam menyikapi hal ini. Nikah
berhukum wajib, sebab perintah memunculkan konsekuensi hukum wajib. Kemudian,
Imam Fakhruddin ar-Razi menyatakan bahwa tidak menikah dalam ranah ini, lebih
baik dari pada menikah, sehingga, menunjukkan bahwa nikah tidak berhukum sunat,
apalagi wajib.
Perbedaan pandangan mengenai hukum nikah,
tidak sampai pada perbedaan jumlah bolehnya wanita yang hendak dikawin. Seluruh
ulama dan fukaha sepakat bahwa empat istri adalah jumlah maksimal bagi seorang
suami, bila lebih dari empat, maka bisa berhukum haram dan tidak sah.
Kesepakatan ulama pada jumlah 4 ini tentu berbeda dengan riwayat yang
diceritakan dari Ibnu Qasim yang menyatakan lelaki boleh berpoligami hingga
sembilan orang wanita dengan memandang pada ayat ini, dan karena Nabi Muhammad
saw wafat dan meninggalkan sembilan istri. Klarifikasinya ialah, melihat pada
redaksi berupa matsnâ wa tsulâtsa wa rubâ‘, dengan menjadikan huruf
"wawu" berfaedah jam‘u, sehingga artinya; 2 + 3 + 4 = 9.(Ibid,
ash-Shabuni, hal 192.)
Padahal, huruf "wawu", di sini
bermakna "aw" yang berfaedah takhyîr (memilih), artinya, lelaki
diberi pilihan beristri satu, atau dua, atau empat, sesuai yang dikehendakinya.
Pendapat seperti ini tidak bisa diambil sebab telah menyalahi ijmak dan Hadis
Rasulullah saw, ketika memerintahkan Ghalayan ra saat dia masuk Islam untuk
menceraikan lima dari sembilan istrinya.(Dikutip dari salah satu ibarat yang
ada di buku Bahtsul Masail) Sebagaimana yang dijelaskan oleh al-Qurthubi,
mengumpulkan istri lebih dari empat merupakan salah satu khushûshiyyah
Rasulullah saw. Pada periode sahabat dan tabiin, tidak ditemukan satu pun dari
mereka yang memiliki lebih dari empat istri.(Ibid, as-Shabuni hal 193)
Islam memperbolehkan poligami dengan
syarat-syarat tertentu, yaitu adil. Berlaku adil ialah perlakuan yang setara
dalam meladeni istri atau bergilir (qismah), berinteraksi dengan baik, memberi
nafkah seperti materi, pakaian, dan tempat tinggal; semua ini ialah hal-hal
yang bersifat lahir. Adapun adil yang bersifat batin, seperti hati suami yang
lebih condong mencintai salah satu istrinya dari pada yang lain, maka sikap
adil semacam ini tidak mungkin bisa ditolerir oleh lelaki, sehingga tidak masuk
pada persyaratan poligami.(Ibrahim al-Qaththan, Taysîrut-Tafsîr, vol 1, 264)
Ketentuan untuk bersikap adil terhadap semua istri inilah yang secara hukum dan
moral membedakan pernikahan poligamis dalam Islam dibanding praktek-praktek
poligamis lainnya.
Pada tataran selanjutnya, lelaki yang hendak
berpoligami, bila takut tidak mampu untuk memegang tanggung jawab dan khawatir
tidak bersikap adil terhadap mereka, maka sebaiknya dia bermonogami, cukup
mengawini satu istri saja yang merdeka, atau budak-budak wanita. Yang demikian
ini lebih mengamankan seseorang untuk tidak berbuat aniaya, sehingga monogami
lebih ringan dari pada harus berbuat adil pada istri-istri jika ia
berpoligami.(Ibnu Abbas, Tanwîrul-Miqbâs Min Tafsîri Ibni 'Abbâs, vol 1 hal 82)
Epilog
Mayoritas kaum hawa tidak rela bila cintanya
dimadu. Karenanya, individu atau kelompok-kelompok tertentu ada yang tidak
setuju atas diperbolehkannya poligami hingga memberikan sedikit pengaruh
terhadap tercorengnya Islam yang menurut pandangan mereka telah menganjurkan
tiap lelaki untuk berpoligami. Memang benar bahwa tak ada pendapat-pendapat
ulama yang melarang poligami. Masalah diperbolehkannya poligami telah menjadi
hukum mujma‘ ‘alaih dalam Islam. Poligami tergolong dalam masalah dharûrî yang
apabila diingkari bisa menyebabkan kufur.(Hukum kufur ini adalah hasil
keputusan Bahtsul Masail dari pertanyaan yang dibuat oleh PP. al-Falak Lebak
Winongan Pasuruan; apakah poligami tergolong masalah dharûrî yang jika
diingkari menyebabkan kufur?). Namun, yang perlu diperhatikan bahwa seluruh
ulama sepakat melalui al-Quran dan Hadis yang mereka jadikan pijakan hukum
bahwa poligami bukan anjuran yang mutlak untuk dilakukan.
Poligami menuntut seseorang yang hendak
melaksanakannya untuk memperhatikan kesanggupan dirinya dalam memenuhi
syarat-syaratnya. Jika beberapa syarat ini tidak dipenuhi, maka Islam
benar-benar melarang dengan tegas kepadanya untuk melangsungkan pernikahan
poligamis.
Sebagai seorang Muslim, kita seharusnya tidak
mengingkari poligami. Tapi, di sisi lain, kita harus bisa arif dan bijaksana
dalam menyikapinya. Poligami memiliki syarat-syarat yang diperketat dan tak
mudah untuk dilakukan. Dalam beberapa literatur fikih dijelaskan mengenai tata
cara bagi suami bersikap adil pada istri, antara lain, istri memiliki rumah
sendiri (namun dalam kondisi tertentu boleh mengumpulkan istri-istri dalam satu
rumah atas kerelaan dari mereka), menyamakan jatah giliran yang sama,
menyamakan jumlah nafkah, dsb; setiap sifat adil yang bersifat lahir. Poligami
memiliki keterkaitan erat dengan budaya dan adat istiadat, sehingga
pemahamannya mengenai kapan dan bagaimana poligami diperbolehkan, dianjurkan,
atau dilarang, tidak dapat diketahui secara konkret kecuali dengan menelusuri
dan mengkaji karakter budaya tertentu melalui kaca mata agama dan tentu, tetap
merujuk pada agama. []
Sumber: Buletin Pondok Pesantren Sidogiri,
Pasuruan – Jawa Timur
Asslmkm…wrwb
BalasHapusAfwan
Penjelasan tentang poligami memang tercantum dalam Alqur’an dan Hadist, dicontohkan juga oleh Rosululloh Muhammad SAW dan para sahabat
Tapi…ROSUL JUGA MEMBERI CONTOH MELARANG POLIGAMI, ketika beliau melarang putrinya Fatimah RA dipoligami ketika Ali Bin Abi Tholib hendak menikah lagi, mungkin beliau tahu bahwa poligami walaupun sesuai syariat namun juga bisa membuat wanita tersakiti, sehingga beliau tidak rela putrinya dipoligami. Wallohua’lam
Dan……
Berdasarkan sensus penduduk 2000 dan 2010 ternyata justru JUMLAH PRIA DI INDONESIA LEBIH BANYAK DARI WANITANYA.
“laki2 jaman sekarang biasanya mati2an menentang atau berusaha menutup2i fakta ini dengan berbagai alasan dan dalih”
Begitu juga dengan data2 negara2 di dunia (CIA, Bank Dunia, dll) ternyata jumlah pria juga lebih banyak dari wanitanya (terutama untuk China, India, dan negara-negara Arab)
Yup jumlah wanita memang sangat melimpah tapi di usia di atas 65 tahun, mauu?? hehehe….kalo ngebet, silakan berpoligami dengan golongan wanita di usia ini.
Coba dehh cek di data resmi BPS dan masing2 pemda atau coba klik di:
http://www.bps.go.id/tab_sub/view.php?kat=1&tabel=1&daftar=1&id_subyek=40¬ab=1
http://sp2010.bps.go.id/
http://www.datastatistik-indonesia.com/portal/index.php?option=com_content&task=view&id=211&Itemid=211&limit=1&limitstart=2
http://nasional.kompas.com/read/2011/09/19/10594911/Jumlah.Penduduk.Indonesia.259.Juta
http://statistik.ptkpt.net/_a.php?_a=penduduk_ratio&info1=4
http://www.census.gov/population/international/data/worldpop/tool_population.php
http://health.detik.com/read/2011/10/28/164741/1755096/763/negara-yang-jumlah-prianya-lebih-banyak-bisa-berbahaya?l993306763
http://nasional.kompas.com/read/2010/08/16/20585145/Siapa.Bilang.Wanita.Lebih.Banyak-8
Berdasarkan hasil sensus tersebut kira2 apa ya solusi dari kelebihan pria ini?
masih tetap POLIGAMI? bukannya itu malah akan semakin “merampas” kesempatan bujangan pria lain untuk dapat menikah?
perkiraan dan anggapan selama ini “turun temurun” yang selalu dijadikan senjata bagi pria yang ngebet ingin berpoligami bahwa jumlah wanita jauh berlipat lipat di atas pria ternyata adalah SALAH BESAR
Hasil Sensus Penduduk 2010 berdasar jenis kelamin perpropinsi
Kode, Provinsi, Laki-laki, Perempuan, Total Penduduk
1 Aceh, 2 248 952, 2 245 458, 4 494 410
2 Sumatera Utara, 6 483 354, 6 498 850, 12 982 204
3 Sumatera Barat, 2 404 377, 2 442 532, 4 846 909
4 Riau, 2 853 168, 2 685 199, 5 538 367
5 Jambi, 1 581 110, 1 511 155, 3 092 265
6 Sumatera Selatan, 3 792 647, 3 657 747, 7 450 394
7 Bengkulu, 877 159, 838 359, 1 715 518
8 Lampung, 3 916 622, 3 691 783, 7 608 405
9 Bangka Belitung , 635 094, 588 202, 1 223 296
10 Kepulauan Riau, 862 144, 817 019, 1 679 163
11 DKI Jakarta, 4 870 938, 4 736 849, 9 607 787
12 Jawa Barat, 21 907 040, 21 146 692, 43 053 732
13 Jawa Tengah, 16 091 112, 16 291 545, 32 382 657
14 DI Yogyakarta, 1 708 910, 1 748 581, 3 457 491
15 Jawa Timur, 18 503 516, 18 973 241, 37 476 757
16 Banten, 5 439 148, 5 193 018, 10 632 166
17 Bali, 1 961 348, 1 929 409, 3 890 757
18 Nusa Tenggara Barat, 2 183 646, 2 316 566, 4 500 212
19 Nusa Tenggara Timur, 2 326 487, 2 357 340, 4 683 827
20 Kalimantan Barat, 2 246 903, 2 149 080, 4 395 983
21 Kalimantan Tengah, 1 153 743, 1 058 346, 2 212 089
22 Kalimantan Selatan, 1 836 210, 1 790 406, 3 626 616
23 Kalimantan Timur, 1 871 690, 1 681 453, 3 553 143
24 Sulawesi Utara, 1 159 903, 1 110 693, 2 270 596
25 Sulawesi Tengah, 1 350 844, 1 284 165, 2 635 009
26 Sulawesi Selatan, 3 924 431, 4 110 345, 8 034 776
27 Sulawesi Tenggara, 1 121 826, 1 110 760, 2 232 586
28 Gorontalo, 521 914, 518 250, 1 040 164
29 Sulawesi Barat, 581 526, 577 125, 1 158 651
30 Maluku, 775 477, 758 029, 1 533 506
31 Maluku Utara, 531 393, 506 694, 1 038 087
32 Papua Barat, 402 398, 358 024, 760 422
33 Papua, 1 505 883, 1 327 498, 2 833 381
TOTAL, 119 630 913, 118 010 413, 237 641 326
Bagaimana tanggapan dan penjelasan tentang hal ini?
Syukron
Wasslmkm wrwb
Nah, dari data di atas, lebih banyak laki-laki toch :D
BalasHapusYap. Ternyata makhluk berkelamin laki-laki masih jauh lebih banyak.
HapusTapi sayang, data-data di atas itu perlu dipertanyakan validitasnya, sebab banyak data yang lain yang menunjukkan bahwa kaum wanita lebih banyak daripada kaum lelaki.
HapusKomentar ini telah dihapus oleh pengarang.
BalasHapusBerarti sebaiknya disajikan data dari berbagai versi.
BalasHapus