“Buronan” yang menghasilkan Panja
Senin, 15 April 2013
Telah lahir: Panja
Ketenagakerjaan Badan Usaha Milik Negara (BUMN) di Komisi IX DPR RI. Itulah
kesimpulan rapat kerja Komisi IX DPR dengan Menteri Tenaga Kerja dan
Transmigrasi dan Menteri BUMN tanggal 10 April lalu.
Saya senang dengan
lahirnya Panja itu. Dengan Panja pembahasan masalah ketenagakerjaan di BUMN
akan sangat mendalam.
Panja tentu akan
mendengarkan banyak pihak yang pantas didengar: tokoh-tokoh serikat pekerja,
manajemen BUMN yang rugi, BUMN kecil, BUMN besar, BUMN yang mempraktikkan
sistem ketenagakerjaan yang baik dan yang kurang baik, dan banyak pihak lagi.
DPR, khususnya Komisi
IX, tentu lembaga yang sangat kritis yang bisa menyerap berbagai realitas di
lapangan. Baik realitas tenaga kerja yang harus kian sejahtera maupun realitas
perusahaan yang harus dijaga pertumbuhan dan sustainabilitasnya.
Saya sendiri menyesal
sempat terlalu lama jadi “buron” Komisi IX. Ternyata komisi ini sangat dinamis.
Anggota-anggotanya mengesankan. Banyak dokternya (saya lupa Komisi IX adalah
komisi yang juga mengurus kesehatan), intelektualnya, dan begitu banyak
wanitanya: cantik-cantik dan cerdas-cerdas.
Ada wakil ketua, Nova
Riyanti Yusuf yang dokter ahli kesehatan jiwa, ada Karolin Margret Natasa yang
juga dokter, ada Chusnunia Chalim yang ustadzah, dan banyak lagi. Dan jangan
lupa ketuanya sendiri: Ribka Tjiptaning yang juga dokter. Bahkan ada dokter
Dinajani Mahdi yang bergelar profesor, doktor, dan enam gelar mentereng
lainnya.
Tentu, saya tahu apa
yang harus dibahas hari itu: outsourcing atau alih daya. Ketika saya menjadi
Dirut PLN saya kaget: begitu banyak karyawan outsourcing-nya. Ke mana-mana, ke
seluruh Indonesia, saya bertemu dan bergaul dengan mereka.
Saya tahu apa yang
mereka alami: gaji jauh lebih kecil (dibanding karyawan tetap), tidak jelas
berapa lama akan bekerja di situ (karena bisa saja tahun berikutnya kontraknya
tidak diperpanjang), dan yang paling utama mereka merasa diperlakukan tidak
adil: mereka merasa bekerja lebih keras dari karyawan tetap tapi gajinya jauh
lebih kecil.
Tahun pertama di PLN,
saya sudah langsung bisa merumuskan tiga hal strategis itu. Saya merencanakan
untuk dicarikan jalan keluar di tahun ketiga masa jabatan saya. Tahun pertama
saya harus memprioritaskan program mengatasi krisis listrik di seluruh Indonesia.
Tahun kedua saya
harus mengatasi daftar tunggu yang jumlahnya jutaan. Sampai-sampai harus dua
kali melakukan program “sehari satu juta sambungan”. Itu sekaligus mengatasi
problem percaloan yang sudah mendarah-daging. Tahun ketiga, rencana saya,
menyelesaikan outsourcing dan melahirkan mobil listrik.
Tidak disangka-sangka
saya harus meninggalkan PLN sebelum genap dua tahun menjabat dirut. Saya harus
menjadi menteri, meski sudah berusaha untuk bisa tetap di PLN setahun lagi.
Waktu itu saya ingin
ada perbaikan sistem tender untuk perusahaan alih daya. Jangan mempertandingkan
harga murah tapi kualitas pekerjaan. Bahkan gaji minimal sudah harus
dipersyaratkan dalam dokumen tender.
Saya juga selalu
mengajak karyawan tetap untuk bekerja lebih keras. “Jangan sampai teman-teman
outsourcing mengatakan karyawan tetap itu gajinya besar tapi tidak mau kerja
keras,” kata saya.
Kini dengan
dibentuknya Panja Ketenagakerjaan BUMN oleh Komisi IX, soal-soal itu akan bisa
didalami lebih komprehensif. Sistem ketenagakerjaan di BUMN memang tidak
seragam. Tergantung masing-masing BUMN. Apalagi BUMN itu memang aneka-ria:
bidang usahanya sangat luas. Industri bajanya tidak bisa disamakan dengan
industri perbankan, penerbangan, perkebunan, dan seterusnya. Masing-masing mempunyai
karakteristiknya sendiri.
Sambil menunggu hasil
Panja Ketenagakerjaan Komisi IX DPR, semua BUMN harus menyiapkan
perubahan-perubahan yang mungkin harus terjadi. Tentu tidak tahun ini karena
sistem anggarannya sudah tidak memungkinkan direvisi. Lebih baik dan lebih siap
kalau disiapkan untuk dimulai tahun depan.
Semua persoalan,
semua pengalaman dan semua pemikiran harus disiapkan untuk kelancaran kerja
Panja Komisi IX. Inilah tahun kerja keras para direktur SDM di masing-masing
BUMN. Kalau perlu kurangi sedikit fasilitas direksi untuk yang satu ini.
Tapi saya juga bisa
membayangkan sulitnya BUMN-BUMN kecil yang masih serba sulit. Jangankan
memikirkan itu, karyawan tetapnya sendiri saja masih jauh dari sejahtera.
Bahkan ada BUMN yang baru tahun lalu bisa membayar karyawan tetapnya dengan
gaji tetap.
Itulah realitas
perusahaan: yang besar sulit dengan kebesarannya, yang kecil sulit dengan
kekecilannya, dan yang sulit kian sulit dengan kesulitannya. Paling enak adalah
orang yang bisa menikmati segala kesulitan itu. (*)
Dahlan Iskan, Menteri
BUMN
Sumber:
Tidak ada komentar:
Posting Komentar