Hadis Qudsi: Buah Kolaborasi
Firman Allah dan Hadis Nabi
Oleh: Muhairil Yusuf
Dari Abu Hurairah beliau berkata: “Rasulullah
bersabda:
Sesungguhnya Allah berfirman pada hari
kiamat: Di manakah orang-orang yang saling mencintai demi keagungan-Ku? Hari
ini kunaungi mereka di bawah naungan-Ku di mana hari tiada naungan kecuali
naungan-Ku”
Esensi Hadis Qudsi
Secara terminologi pengertian Hadis Qudsi
adalah: ragam khusus dari Hadis-Hadis yang diriwayatkan dari Nabi saw, yang
beliau sandarkan kepada Allah. Dengan sebab penyandaran tersebut, Hadis-Hadis
ragam ini memperoleh kekudusan (kesucian), dan karena itu pulalah terkadang
Hadis Qudsi ini di disebut al Hadis al-Ilahiyah dan al-Hadis al-Rabbaniyah.
Penjelasan tentang Hadis Qudsi ini, banyak
ditemukan diberbagai definisi dan pendapat para ulama terdahulu dan masa kini
yang pantas untuk dikemukakan. Adapun salah satu dari definisi tertua mengenai
Hadis Qudsi adalah apa yang dikemukakan oleh As-Syarif al-Jurjani (w.816 H)
dalam bukunya at-ta'rifat, yaitu:
Hadis Qudsi, dari segi makna bersumber dari
Allah, dan dari segi redaksi bersumber dari Rasulullah.
Hadis Qudsi merupakan sesuatu yang
diberitakan Allah kepada Rasul-Nya melalui ilham, atau mimpi, kemudian
Rasulullah menyampaikannya kepada umat manusia dengan memakai redaksi yang beliau
susun sendiri (seiring qudrah dan iradah-Nya). Karena itu al-Qur'an lebih mulia
dari pada Hadis Qudsi, sebab lafaz al-Qur'an termasuk yang diturunkan-Nya.
Sejalan dengan definisi di atas juga
dipaparkan oleh al-Mulla bin Muhammad al-Qari, pakar hukum Islam bermadzhab
Hanafi (w. 1016 H), dalam mukaddimah karyanya al-Hadis al-Qudsiyyah
al-Arba'iniyyah.
Bersamaan dengan definisi di atas, masih ada
pendapat-pendapat lain yang hampir tidak keluar dari kandungan apa yang telah
disebut di atas. Misalnya definisi Muhammad bin Yusuf al-Kirmani yang
mengomentari kandungan kitab as-Shahih al-Bukhari (w. 743 H), Ibnu Hajar
al-Atsqalani, yang mengomentari kitab al-Arba'in an-Nawawiyyah (w. 974 H),
Muhammad bin 'Allan ash-Shiddiqi asy-Syafi'i, yang mengomentari kitab ar-Riyadh
as-Shalihin ( w. 1057 H).
Adapun keinginan para ulama terkait dengan
Hadis Qudsi adalah berupaya untuk menjelaskan esensi Hadis Qudsi menyangkut
beberapa hal:
1. Perbedaan Antara Hadis Qudsi Dengan Hadis
Nabi
Secara kesimpulan, Hadis Nabi, sanadnya
berakhir pada Rasulullah. Sedang Hadis Qudsi sanadnya berlanjut hingga kepada
Allah. Dengan demikian ia adalah firman Allah, seperti pada Hadis yang
mengharamkan penganiayaan, yakni: ''wahai hamba-hamba-Ku, sesungguhnya Aku
telah mengharamkan penganiayaan atas diri-Ku, dan Aku menjadikannya di antara
kamu pun haram, karena itu, janganlah saling menganiaya,
Namun penting untuk diketahui bahwa hal ini
tidak menafikan bahwa Hadis Nabi secara umum adalah wahyu dari Allah,
berdasarkan firman-Nya: ''Sesungguhnya dia ( Muhammad ) tidak berucap dari hawa
nafsu,'' (QS. An-Najm : 53).
2. Cara Kehadiran Hadis Qudsi Dari Segi
Redaksi Dan Esensinya
Dalam pembahasan ini, ada dua pendapat ulama.
1) Sebagian berpendapat bahwa lafaz dan maknanya sama-sama dari Allah dengan
alasan bahwa Hadis Qudsi secara tegas dinisbatkan kepada Allah, dan penamaannya
sebagai Qudsi, Ilahi, dan Rabbany, demikian juga dengan redaksinya yang
menggunakan kata pada persona pertama (Allah).
2) sebagian ulama yang lain menyatakan bahwa
yang dari Allah hanya maknanya saja, dengan alasan-alasan yang sama dengan apa
yang di kemukakan tadi, adapun redaksinya merupakan susunan dari Rasulullah
atas izin dan iradah Allah, dengan sebab itu Hadis Qudsi tidak dapat menjadi
mukjizat, dan boleh jadi berbeda-beda dalam periwayatannya,
Perbedaan pendapat ini tidak terlalu
signifikan, selama terdapat kesepakatan tentang sumber maknanya yaitu dari
Allah, dan bahwa Hadis Qudsi tersebut tidak merupakan mukjizat dan tidak juga
tercakup dalam janji pemeliharaan Allah sebagaimana al Qur'an. Dari asumsi ini
dapat disimpulkan bahwa redaksi tersebut diucapkan Nabi melalui ilham atau
taufik Allah.
3. Bentuk-Bentuk Redaksi Periwayatan Hadis
Qudsi
Mengenai hal ini ada dua bentuk redaksi
periwayatan Hadis Qudsi yang di perkenalkan para ulama.
Pertama, -dan ini yang dianggap afdhal oleh
ulama salaf- yaitu memulai Hadis Qudsi itu dengan berkata:
''Nabi Bersabda, dari apa yang beliau
riwayatkan dari Allah Azza Wa Jalla (yang Maha Mulia lagi Maha Agung )''.
Kedua, menggunakan redaksi ''Allah berfirman,
sebagaimana diriwayatkan dari-Nya oleh Rasulullah,''
Sebenarnya dari dua periwayatan ini hampir
sama hanya saja redaksinya yang sedikit terdapat perbedaan tapi tetap se arti.
Kalau lebih diteliti lagi secara cermat kita akan menemukan berbagai riwayat
Hadis Qudsi yang berbeda dengan apa yang telah dipaparkan di atas, seperti
berikut ini:
Hadis Qudsi tersebut dimulai dengan redaksi:
''Rasulullah Bersabda, Allah Azza Wa Jalla berfirman'', kemudian sang perawi
menyebut teks Hadis.
Firman Allah dalam Hadis Qudsi tersebut
disampaikan bukan dalam bentuk ''Dia berfirman'', seperti Hadis Qudsi yang
diriwayatkan imam Muslim: ''Setelah Allah telah menyelesaikan ciptaan, Dia
memutuskan dalam ketetapan-Nya atas diri-Nya, maka keputusan itu ada di
sisi-Nya, 'sesungguhnya rahmat-Ku mengalahkan amarah-Ku'. Teks terakhir ini
diriwayatkan secara sangat pasti dengan bentuk persona pertama kepada Allah.
Dalam suatu redaksi Hadis hampir tidak
ditemukan Hadis yang dari awal hingga akhir berupa Hadis Qudsi semua, tetapi
bagian Qudsinya hanya yang dinisbatkan secara jelas kepada Allah, setelah
dimulai dengan Sabda Nabi yang menjelaskan konteks pembicaraan. Seperti Hadis
yang diriwayatkan oleh Imam an-Nasa'i, Rasulullah bersabda: ''Tuhanmu kagum
terhadap seorang pengembala kambing, di belahan puncak suatu Gunung, dia
mengumandangkan azan untuk salat, lalu ia melaksanakan salat, Allah Azza Wa
Jalla (Yang Maha Mulia lagi Maha Agung ) befirman: ''lihatlah kepada hamba-Ku
ini…''
Bagian Hadis yang Qudsi, termasuk ke dalam
Hadis sebagaimana yang terdapat di atas, tetapi kenisbatannya kepada Allah
dipahami dari konteksnya, tidak dengan redaksi yang tegas menisbatkan
kepadanya. Seperti dalam Hadis riwayat Imam Muslim: ''Rasulullah bersabda:
''dibuka pintu-pintu surga (setiap) hari Senin dan Kamis, ketika itu setiap
hamba yang tidak diampuni adalah seorang yang terdapat antara dia dan
saudaranya (seagama) permusuhan. Menyangkut mereka akan dikatakana (oleh
allah): ‘tangguhkan kedua orang itu sampai mereka berdamai''.
Epilog
Semua bentuk redaksi tersebut memiliki sifat
ke-qudsian (kesucian), karena semua mengandung redaksi yang dinisbatkan kepada
Allah. Dan dari penjabaran di atas kita bisa membedakan dengan sendirinya
antara Hadis-Hadis, apakah ini berupa Hadis Qudsi atau Hadis yang murni dari
Rasulullah. Wallahu ‘a’lam. []
Sumber: Buletin Pondok Pesantren Sidogiri,
Pasuruan – Jawa Timur
Tidak ada komentar:
Posting Komentar