Beragam Qiraah Adalah
Ketentuan dari Tuhan
Oleh: Fathurohman Syamsuri
Secara bahasa, qiraah adalah asal kata dari
kata kerja (fi’il mâdhi) qaraa yang bermakna membaca. Sedangkan secara istilah
qiraah adalah suatu tata cara bacaan al-Qur`an yang diriwayatkan oleh para
qari.(Syaikh Abd Adzim az zarqani, Manâhilul 'Irfân fi Ulûml Qur'ân, hlm 266).
Abul Khair Ibnu Jazaari mengatakan, bahwa
setiap qiraah yang sesuai dengan tata bahasa Arab meski dalam satu segi atau
mencocoki salah satu mushaf utsmani serta sanadnya sahih, maka itu termasuk
qiraah sahih yang tidak bisa ditolak dan diingkari. Qiraah tersebut termasuk
dalam kategori ahrufis sab'ah, baik qiraah tersebut diriwayatkan oleh imam yang
tujuh atau yang lainnya.
Lebih lanjut al-Jazari menjelasakan, bahwa
sesuai dengan tingkatannya, qiraah terbagi dalam beberapa macam. Pertama,
mutawatir, yaitu qiraah yang mulai dari awal hingga akhir sanad diriwayatkan
oleh banyak orang yang tidak dimungkinkan bersepakat melakukan kebohongan.
Kedua, qiraah masyhur , yaitu qiraah yang sanadnya tidak mencapai derajat
mutawatir namun sahih dan qiraah tersebut masyhur di kalangan para qari dan
sesuai dengan tata bahasa Arab atau tulisan dalam mushaf Utsmani. Ketiga,
qiraah yang sanadnya sahih tapi tidak sesuai dengan tulisan mushaf utsmani atau
tata bahasa Arab serta tidak masyhur di kalangan para qari. Keempat, qiraah
syâdz, yaitu qiraah yang sanadnya tidak sahih seperti membaca malak yaumiddin
ayat keempat surah al-Fatihah. Kelima qiraah maudhû', yaitu qiraah yang hanya
dibuat-buat (palsu) seperti qiraah al-Khuzai.(Zubadatul Itqan fi Ulumil Qur'an,
hlm 31-33)
Latar Belakang Timbulnya Beragam Qiraaah
Dalam sebuah Hadis Nabi pernah bersabda,
bahwa al-Qur‘an diturunkan dengan tujuh model huruf (bacaan). Namun meski
demikian, tidak semua sahabat menguasai ragam bacaan al-Qur‘an dengan tujuh
bacaan tersebut. Di antara sahabat hanya ada yang belajar al-Qur`an dengan satu
qiraah, ada yang dua dan ada yang lebih. Dan, di wilayah masing-masing, para
sahabat mengajarkan bacaan al-Qur‘an sesuai dengan qiraah yang dengar dari
Rasulallah.
Hal yang demikian ini terus berlanjut hingga
masa kepemerintahan Sayyidina Utsman bin Affan, di mana pada saat itu, daerah
kekuasaan Islam telah meluas. Umat Islam pada waktu itu belajar al-Qur‘an pada
para sahabat yang ahli qiraat di Kota mereka masing-masing. Sebagaimana
penduduk Syam belajar bacaan al-Qur‘an kepada Ubay bin Kaab dan penduduk Kufah
kepada Abdullah bin Masud.(Manâhilul Irfân hlm. 143)
Di berbagai wilayah, para sahabat sama-sama
mengajarkan al-Qur‘an sesuai dengan qiraah yang mereka dengar dari Nabi. Hal
ini yang kemudian menyebabkan terjadinya perselisihan bacaan al-Qur‘an di
antara umat Islam saat itu.
Ibnu Abi Daud dalam kitab mashâhif
menyebutkan, bahwa pada saat Sayyidina Utsman menjabat sebagai khalifah, beliau
melantik beberapa muallim al-Qur'an di berbagai wilayah Islam. Para muallim ini
mengajarkan al-Qur‘an dengan beragam bacaan yang berbeda kepada para murid
mereka. Oleh sebab itu, qiraah al-Qur‘an di Syam tidak sama dengan qiraah Mesir
dan begitu pun seterusnya. Hingga dari sini umat Islam berselisih pendapat
dalam bacaan al-Qur‘an. Bahkan ada yang saling memurtadkan antara satu dengan
yang lain.
Pada ujung-ujungnya, terjadinya perselisihan
sengit dalam hal bacaan al-Qur‘an di kalangan umat Islam ini didengar juga oleh
Sayyidinan Utsman bin Affan setelah beliau mendapat laporan dari Hudzaifah ibn
al-Yaman . Sayyidina Utsman pun mengambil langkah cepat dan tepat. Beliau lalu
berinsiatif menyatukan umat Islam dalam satu bacaan al-Qur‘an dengan membuat
mushaf standar yang bisa dijadikan pijakan oleh umat Islam seluruh dunia.
Beliau membentuk dua belas panitia dari golongan Anshar dan Muhajirin untuk
melakukan melakukan kompilasi al-Qur‘an dalam mushaf standar. Menurut
as-Suyuthi, kedua belas panitia itu membuat lima mushaf standar. Kelima mushaf
tersebut disebarkan ke beberapa kota Islam beserta para muallimnya. Setelah
itu, proses pembelajaran al-Qur‘an secara langsung kepada mualllim yang
memiliki sanad sampai kepada Rasullah terus berlanjut, meski belum ada disiplin
ilmu tertentu yang menjelasakan tentang qiraah.
Menurut as-Suyuthi orang yang pertama kali
mengarang kitab yang mengurai disiplin ilmu qiraah adalah Abu Ubaid Qosim bin
Salam. Dalam karyanya tersebut, beliau menyebutkan dua pulu imam ahli qiraat
yang bisa diikuti. Kemudia dilanjutkan oleh Ahmad bin Jubair al-Kufi, kemudian
Ismail bin Ishaq al-Maliki, Abu Jakfar ibnu Jarir ath-Thabari, Abu Bakar
Muahammad bin Ahmad bin Umar, Abu Bakar bin Mujahid.(Mannaul Qathtahan,
Mabahits fi Ulum Qur'an 173)
Dari sini dapat disimpulkan, bahwa perbedaan
bacaan al-Qur‘an memang merupakan ketentuan langsung dari Allah, bukan
ketentuan imam qiraah, para sahabat atau Nabi. Hal ini dijelaskan dalam Hadis
bahwa Pada masa Nabi, pernah suatu ketika Umar bin Khaththab mendengar Hisyam
bin Hakim membaca surat al-Furqan tidak seperti bacaan yang Nabi bacakan
kepadanya. Lantas Sayyidina Umar bertanya, “Dari siapa kamu mendengar bacaan
ini ?” “Dari Nabi” Jawab Hisyam bin Hakim. “Kau berdusta” Sanggah Umar.
Kemudian Umar mengadukannya kepada Nabi, “Ya Rasulullah saya mendengar Hisyam
bin Hakim membaca surah al-Furqan dengan bacaan yang tidak pernah saya dengar”
Lalu Nabi bersabda, “Baca wahai Hisyam, dengarkan wahai Umar” setelah Lalu Nabi
bersada, “Dengan bacaan inilah surah al-Furqan diturunkan”. Lalu Nabi menyuruh
Umar membaca surah al-Furqan sesuai bacaan yang ia dengar dari Nabi. Lalu Umar
membaca dan Nabi berkata, “Sesungguhnya al-Qur‘an itu diturunkan dengan tujuh
model bacaan (huruf).”(Syarhul Bukhâri libni Baththâl, vol 16, hlm 146 versi
Maktabah Syamilah)
Hikmah terjadinya beragam bacaan
Perbedaan tata cara baca al-Qur‘an mengandung
beberapa hikmah. Pertama, ragam bacaan al-Qur‘an menunjukkan al-Qur`an terjaga
dari perubahan dan tahrîf. Kedua, memberikan kemudahan kepada umat Islam untuk
memilih bacaan yang mudah bagi mereka.(Mabahist fi ululmil Qiraah 180) Ketiga
menunjukkan suatu hukum dari beberapa hukum yang terkandung dalam al-Qur‘an.
“Jika seseorang mati, baik laki-laki maupun
perempuan yang tidak meninggalkan ayah dan tidak meninggalkan anak, tetapi
mempunyai seorang saudara laki-laki (seibu saja) atau seorang saudara perempuan
(seibu saja), maka bagi masing-masing dari kedua jenis saudara itu seperenam”
(QS An-Nisaa’[04]:12)
Sahabat Saad membaca ayat di atas dengan
penambahan lafal Min Ummin (dari ibu) sehingga dapat dipahami bahwa yang
dimaksud kata saudara dalam ayat di atas adalah saudara seibu, bukan sekandung
atau sebapak. Keempat, satu ayat dapat menyimpulkan dua hukum yang berbeda
disebabkan dibaca dengan dua qiraah yang berbeda. Mislanya seperti ayat :
فَاعْتَزِلُوا
النِّسَاءَ فِي الْمَحِيضِ وَلَا تَقْرَبُوهُنَّ حَتَّى يَطْهُرْنَ
“Dan janganlah kamu mendekati mereka, sebelum
mereka suci” (QS Baqaraah [02]:222)
Dalam ayaat di atas, kalimat يَطْهُرْنَ dapat dibaca dengan dua bacaan; yaitu (يَطْهُرْنَ )tanpa
tasydid dan (يُطَهِّرْنَ) dengan ditasydîd. Sehingga dari dua bacaan ini, ayat di atas
mengandung dua hukum yang berbeda. Ketika dibaca , menyimpulkan bahwa seorang
suami tidak boleh berhubungan badan dengan istrinya yang sedang dating bulan
sampai darah haidnya ampet, meski belum mandi haid.
Dan apabila dibaca dengan tasydîd (يُطَهِّرْنَ )
menimbulkan hukum bahwa seorang suami tidak boleh berhubungan bada dengan
istrimya yang sedang haid hingga selesai masa haidnya dan mandi haid. Kedua
pendapat di atas sama-sama dari mazhab Syafi'i. Wallahu a’lam. []
Sumber: Buletin Pondok Pesantren Sidogiri,
Pasuruan – Jawa Timur
Tidak ada komentar:
Posting Komentar