Kamis, 25 April 2013

(Ngaji of the Day) Beragam Qiraah Adalah Ketentuan dari Tuhan


Beragam Qiraah Adalah Ketentuan dari Tuhan

Oleh: Fathurohman Syamsuri

 

Secara bahasa, qiraah adalah asal kata dari kata kerja (fi’il mâdhi) qaraa yang bermakna membaca. Sedangkan secara istilah qiraah adalah suatu tata cara bacaan al-Qur`an yang diriwayatkan oleh para qari.(Syaikh Abd Adzim az zarqani, Manâhilul 'Irfân fi Ulûml Qur'ân, hlm 266).

 

Abul Khair Ibnu Jazaari mengatakan, bahwa setiap qiraah yang sesuai dengan tata bahasa Arab meski dalam satu segi atau mencocoki salah satu mushaf utsmani serta sanadnya sahih, maka itu termasuk qiraah sahih yang tidak bisa ditolak dan diingkari. Qiraah tersebut termasuk dalam kategori ahrufis sab'ah, baik qiraah tersebut diriwayatkan oleh imam yang tujuh atau yang lainnya.

 

Lebih lanjut al-Jazari menjelasakan, bahwa sesuai dengan tingkatannya, qiraah terbagi dalam beberapa macam. Pertama, mutawatir, yaitu qiraah yang mulai dari awal hingga akhir sanad diriwayatkan oleh banyak orang yang tidak dimungkinkan bersepakat melakukan kebohongan. Kedua, qiraah masyhur , yaitu qiraah yang sanadnya tidak mencapai derajat mutawatir namun sahih dan qiraah tersebut masyhur di kalangan para qari dan sesuai dengan tata bahasa Arab atau tulisan dalam mushaf Utsmani. Ketiga, qiraah yang sanadnya sahih tapi tidak sesuai dengan tulisan mushaf utsmani atau tata bahasa Arab serta tidak masyhur di kalangan para qari. Keempat, qiraah syâdz, yaitu qiraah yang sanadnya tidak sahih seperti membaca malak yaumiddin ayat keempat surah al-Fatihah. Kelima qiraah maudhû', yaitu qiraah yang hanya dibuat-buat (palsu) seperti qiraah al-Khuzai.(Zubadatul Itqan fi Ulumil Qur'an, hlm 31-33)

 

Latar Belakang Timbulnya Beragam Qiraaah

 

Dalam sebuah Hadis Nabi pernah bersabda, bahwa al-Qur‘an diturunkan dengan tujuh model huruf (bacaan). Namun meski demikian, tidak semua sahabat menguasai ragam bacaan al-Qur‘an dengan tujuh bacaan tersebut. Di antara sahabat hanya ada yang belajar al-Qur`an dengan satu qiraah, ada yang dua dan ada yang lebih. Dan, di wilayah masing-masing, para sahabat mengajarkan bacaan al-Qur‘an sesuai dengan qiraah yang dengar dari Rasulallah.

 

Hal yang demikian ini terus berlanjut hingga masa kepemerintahan Sayyidina Utsman bin Affan, di mana pada saat itu, daerah kekuasaan Islam telah meluas. Umat Islam pada waktu itu belajar al-Qur‘an pada para sahabat yang ahli qiraat di Kota mereka masing-masing. Sebagaimana penduduk Syam belajar bacaan al-Qur‘an kepada Ubay bin Kaab dan penduduk Kufah kepada Abdullah bin Masud.(Manâhilul Irfân hlm. 143)

 

Di berbagai wilayah, para sahabat sama-sama mengajarkan al-Qur‘an sesuai dengan qiraah yang mereka dengar dari Nabi. Hal ini yang kemudian menyebabkan terjadinya perselisihan bacaan al-Qur‘an di antara umat Islam saat itu.

 

Ibnu Abi Daud dalam kitab mashâhif menyebutkan, bahwa pada saat Sayyidina Utsman menjabat sebagai khalifah, beliau melantik beberapa muallim al-Qur'an di berbagai wilayah Islam. Para muallim ini mengajarkan al-Qur‘an dengan beragam bacaan yang berbeda kepada para murid mereka. Oleh sebab itu, qiraah al-Qur‘an di Syam tidak sama dengan qiraah Mesir dan begitu pun seterusnya. Hingga dari sini umat Islam berselisih pendapat dalam bacaan al-Qur‘an. Bahkan ada yang saling memurtadkan antara satu dengan yang lain.

 

Pada ujung-ujungnya, terjadinya perselisihan sengit dalam hal bacaan al-Qur‘an di kalangan umat Islam ini didengar juga oleh Sayyidinan Utsman bin Affan setelah beliau mendapat laporan dari Hudzaifah ibn al-Yaman . Sayyidina Utsman pun mengambil langkah cepat dan tepat. Beliau lalu berinsiatif menyatukan umat Islam dalam satu bacaan al-Qur‘an dengan membuat mushaf standar yang bisa dijadikan pijakan oleh umat Islam seluruh dunia. Beliau membentuk dua belas panitia dari golongan Anshar dan Muhajirin untuk melakukan melakukan kompilasi al-Qur‘an dalam mushaf standar. Menurut as-Suyuthi, kedua belas panitia itu membuat lima mushaf standar. Kelima mushaf tersebut disebarkan ke beberapa kota Islam beserta para muallimnya. Setelah itu, proses pembelajaran al-Qur‘an secara langsung kepada mualllim yang memiliki sanad sampai kepada Rasullah terus berlanjut, meski belum ada disiplin ilmu tertentu yang menjelasakan tentang qiraah.

 

Menurut as-Suyuthi orang yang pertama kali mengarang kitab yang mengurai disiplin ilmu qiraah adalah Abu Ubaid Qosim bin Salam. Dalam karyanya tersebut, beliau menyebutkan dua pulu imam ahli qiraat yang bisa diikuti. Kemudia dilanjutkan oleh Ahmad bin Jubair al-Kufi, kemudian Ismail bin Ishaq al-Maliki, Abu Jakfar ibnu Jarir ath-Thabari, Abu Bakar Muahammad bin Ahmad bin Umar, Abu Bakar bin Mujahid.(Mannaul Qathtahan, Mabahits fi Ulum Qur'an 173)

 

Dari sini dapat disimpulkan, bahwa perbedaan bacaan al-Qur‘an memang merupakan ketentuan langsung dari Allah, bukan ketentuan imam qiraah, para sahabat atau Nabi. Hal ini dijelaskan dalam Hadis bahwa Pada masa Nabi, pernah suatu ketika Umar bin Khaththab mendengar Hisyam bin Hakim membaca surat al-Furqan tidak seperti bacaan yang Nabi bacakan kepadanya. Lantas Sayyidina Umar bertanya, “Dari siapa kamu mendengar bacaan ini ?” “Dari Nabi” Jawab Hisyam bin Hakim. “Kau berdusta” Sanggah Umar. Kemudian Umar mengadukannya kepada Nabi, “Ya Rasulullah saya mendengar Hisyam bin Hakim membaca surah al-Furqan dengan bacaan yang tidak pernah saya dengar” Lalu Nabi bersabda, “Baca wahai Hisyam, dengarkan wahai Umar” setelah Lalu Nabi bersada, “Dengan bacaan inilah surah al-Furqan diturunkan”. Lalu Nabi menyuruh Umar membaca surah al-Furqan sesuai bacaan yang ia dengar dari Nabi. Lalu Umar membaca dan Nabi berkata, “Sesungguhnya al-Qur‘an itu diturunkan dengan tujuh model bacaan (huruf).”(Syarhul Bukhâri libni Baththâl, vol 16, hlm 146 versi Maktabah Syamilah)

 

Hikmah terjadinya beragam bacaan

 

Perbedaan tata cara baca al-Qur‘an mengandung beberapa hikmah. Pertama, ragam bacaan al-Qur‘an menunjukkan al-Qur`an terjaga dari perubahan dan tahrîf. Kedua, memberikan kemudahan kepada umat Islam untuk memilih bacaan yang mudah bagi mereka.(Mabahist fi ululmil Qiraah 180) Ketiga menunjukkan suatu hukum dari beberapa hukum yang terkandung dalam al-Qur‘an.

 

“Jika seseorang mati, baik laki-laki maupun perempuan yang tidak meninggalkan ayah dan tidak meninggalkan anak, tetapi mempunyai seorang saudara laki-laki (seibu saja) atau seorang saudara perempuan (seibu saja), maka bagi masing-masing dari kedua jenis saudara itu seperenam” (QS An-Nisaa’[04]:12)

 

Sahabat Saad membaca ayat di atas dengan penambahan lafal Min Ummin (dari ibu) sehingga dapat dipahami bahwa yang dimaksud kata saudara dalam ayat di atas adalah saudara seibu, bukan sekandung atau sebapak. Keempat, satu ayat dapat menyimpulkan dua hukum yang berbeda disebabkan dibaca dengan dua qiraah yang berbeda. Mislanya seperti ayat :

 

فَاعْتَزِلُوا النِّسَاءَ فِي الْمَحِيضِ وَلَا تَقْرَبُوهُنَّ حَتَّى يَطْهُرْنَ

 

“Dan janganlah kamu mendekati mereka, sebelum mereka suci” (QS Baqaraah [02]:222)

 

Dalam ayaat di atas, kalimat يَطْهُرْنَ dapat dibaca dengan dua bacaan; yaitu (يَطْهُرْنَ )tanpa tasydid dan (يُطَهِّرْنَ) dengan ditasydîd. Sehingga dari dua bacaan ini, ayat di atas mengandung dua hukum yang berbeda. Ketika dibaca , menyimpulkan bahwa seorang suami tidak boleh berhubungan badan dengan istrinya yang sedang dating bulan sampai darah haidnya ampet, meski belum mandi haid.

 

Dan apabila dibaca dengan tasydîd (يُطَهِّرْنَ ) menimbulkan hukum bahwa seorang suami tidak boleh berhubungan bada dengan istrimya yang sedang haid hingga selesai masa haidnya dan mandi haid. Kedua pendapat di atas sama-sama dari mazhab Syafi'i. Wallahu a’lam. []

 

Sumber: Buletin Pondok Pesantren Sidogiri, Pasuruan – Jawa Timur

Tidak ada komentar:

Posting Komentar