Pemberontakan Partai Komunis Indonesia (PKI) pada rentang 1948 hingga 1965 merupakan peristiwa tragis bagi bangsa Indonesia. Bukan hanya menjadi catatan sejarah buruk karena tidak sedikit nyawa rakyat tak berdosa melayang, tetapi juga menjadi noktah hitam bagi demokrasi yang menjujung nilai-nilai kemanusiaan. Di sini masyarakat Indonesia perlu mencatat perjuangan para kiai pesantren dan Nahdlatul Ulama (NU) dalam mencegah pergerakan PKI dengan segala ambisi politiknya.
KH Saifuddin Zuhri dalam Berangkat dari Pesantren (LKiS, 2013) mencatat bahwa
NU dari awal sudah memahami gerak-gerik PKI dengan komunismenya, tidak sulit
bagi NU untuk mengidentifikasi siapa dalang dari pemberontakan Gerakan 30
September 1965 (G30S) di Madiun dan di beberapa daerah dengan melakukan
penculikan dan perbuatan sadis lainnya. Sebab saat itu, belum banyak yang
mengetahui siapa dalang bughot tersebut.
NU mengidentifikasi bahwa percobaan perebutan kekuasaan melalui pemberontakan
fisik didalangi oleh PKI. Karena itu, pada tanggal 3 Oktober 1965, ketika
banyak orang belum mengetahui siapa dalang G30S, NU telah menuntut agar
pemerintah membubarkan PKI.
Upaya merongrong dalam bentuk lain yang dilakukan PKI, pertama bisa dilihat
dari usaha penetrasi ideologi komunis. Kedua, PKI melakukan pemberontakan
fisik. Upaya bughot yang dilakukan PKI menelan banyak nyawa, termasuk dari
kalangan NU yang sedari awal berjuang melawan ideologi komunis. NU melakukan
perlawanan terhadap PKI di medan politik dan di lapangan selama kurun waktu 17
tahun.
Pada rentang tahun 1957-1959, Majelis Konstituante memang sedang membahas
rancangan dasar negara. PKI masuk dalam faksi Pancasila. Namun, dasar negara
Pancasila yang PKI perjuangkan hanya kamuflase politik karena yang
diperjuangkan justru materialisme historis yang ateis.
Pendiri NU Hadratussyekh KH Hasyim Asy’ari pada tahun 1947 mengingatkan bahaya
ajaran materialisme historis yang ateis itu bagi bangsa Indonesia. Karena
konsep yang sedang dikembangkan secara gencar oleh PKI yaitu menyerukan
pengingkaran terhadap agama dan pengingkaran terhadap adanya akhirat. (Lihat
Naskah Khotbah Iftitah KH Hasyim Asy’ari pada Muktamar ke-14 NU di Madiun tahun
1947)
Strategi dalam menghadapi PKI ditegaskan kembali oleh KH Saifuddin Zuhri (2013:
502) dalam sebuah tulisannya yang menyatakan bahwa: “Dengan dalil agama sebagai
unsur mutlak dalam nation building, maka kita dapat menyingkirkan kiprah PKI di
mana-mana. Bahkan kita bisa menumpas segala bentuk ateisme, baik ateisme yang
melahirkan komunisme maupun ateisme yang melahirkan kapitalisme, liberalisme,
atau fasisme. Setiap ideologi yang berbahaya tidak hanya bisa dilawan dengan
kekerasan dan senjata, tetapi juga harus dihadapi dengan kesadaran beragama.”
Terkait penetrasi ideologi komunis, Abdul Mun’im DZ dalam Benturan NU-PKI
1948-1965 tidak terlepas dari perang global saat itu, yaitu Perang Dunia II.
Marxisme merupakan pemikiran yang lahir dari filsafat Barat yang berjuang
melawan perkembangan kapitalisme. Namun, keduanya lahir dari budaya yang sama,
keduanya sama-sama ateis dan materialis. Karena itu, sekeras apapun permusuhan
kedua saudara sekandung tersebut bisa ketemu dan saling bergandengan
bahu-membahu.
Kapitalisme dan imperialisme Barat bisa bergandengan tangan dengan komunisme
Soviet dalam menghadapi fasisme Nazi, Jepang, dan Italia dalam Perang Dunia II.
Begitu juga dengan kolonialisme Belanda yang kapitalis itu bisa bekerja sama
dengan komunisme yang sosialis dalam menghadapi Jepang dan dalam pemberontakan
Madiun.
Para kiai NU tidak menutup mata, bahkan melek terhadap penetrasi ideologi itu.
Sedari awal kalangan pesantren menolak segala bentuk penjajahan atau
kolonialisme, baik saat Belanda dan Jepang menjajah bangsa Indonesia. Namun,
para kiai tidak terkecoh dan tidak melibatkan diri dalam pertarungan antara komunisme
dan kolonialisme di Indonesia. Karena keduanya sama-sama ateis dan sama-sama
imperialis.
Dengan tegas KH Idham Chalid dalam perhelatan Hari Lahir ke-39 NU di Jakarta
mengatakan bahwa politik non-komunis atau anti-komunis yang dijalankan NU tidak
hanya untuk menghadapi komunisme saja, tetapi NU akan berhadapan dengan segala
bentuk la diniyun (sekularisme) dan segala bentuk zanadiqoh (ateisme). Karena
keduanya merupakan satu-kesatuan sebagai musuh NU. (Lihat Verslaag Muktamar
ke-22 NU tahun 1959 di Jakarta, dalam Abdul Mun’im DZ).
[]
Sumber: NU Online
Tidak ada komentar:
Posting Komentar