Dalam kitab al-Bashâ’ir wa al-Dzakhâir, Imam Abu Hayyan al-Tauhidi meriwayatkan kisah yang disampaikan Imam Fudhail bin ‘Iyadl tentang pengaduan Iblis kepada Allah subhanahu wa ta’ala. Berikut kisahnya:
وقال
الفضيل بن عياض: قال إبليس: يا ربِّ، الخليقة تحبّك وتُبغضني، وتعصيك وتطيعني.
فقال الله سبحانه: لأغفرنَّ لهم طاعتهم إيّاك ببغضهم لَكَ، ولأغفرنَّ لهم معصيتهم
إيايَ بحبّهم لي
(Imam) al-Fudhail bin ‘Iyadl berkata: Iblis berkata (kepada Allah): “Ya
Tuhan(ku), makhluk(-Mu manusia) mencintai-Mu dan membenciku; (tapi mereka juga)
bermaksiat kepada-Mu dan menaatiku.”
Kemudian Allah subhanahu (wa ta’ala) berfirman: “Sungguh ketaatan mereka
kepadamu akan Ku-ampuni sebab kebencian yang mereka miliki untukmu, dan sungguh
kemaksiatan mereka kepada-Ku akan Ku-ampuni sebab cinta yang mereka miliki
untuk-Ku.” (Imam Abu Hayyan al-Tauhidi, al-Bashâ’ir wa al-Dzakhâir, Beirut: Dar
Shadir, 1988, juz 1, h. 196)
****
Ya, manusia memang begitu. Tak jarang menyakiti kekasihnya meskipun cinta,
apalagi terhadap yang dia benci. Cinta dan benci itu seperti tetangga dekat,
yang saling berjumpa dan menyapa. Seorang pecinta akan benci melihat orang yang
dicintainya didekati atau dihasrati orang lain. Begitu pun sebaliknya, seorang
pembenci akan senang melihat orang yang dibencinya tertimpa petaka atau
musibah. Kenapa demikian? Ya, memang begitulah manusia.
Manusia adalah makhluk yang unik nan menawan. Dia memiliki nalar dan rasa yang
kontradiktif. Keduanya saling terkait. Dalam cinta, tersimpan marah dan benci;
dalam benci, tersimpan cinta dan senang. Karena itu, Rasulullah mengajarkan
manusia untuk mencintai dan membenci secara sederhana, biasa-biasa saja. Jangan
berlebihan, apalagi melebih-lebihkannya.
Riwayat di atas, sedikit banyak berbicara tentang hal itu. Manusia, khususnya yang beriman, membawa fitrah cinta kepada Tuhannya. Dia pun tak sudi menuruti rayuan Iblis dan kroni-kroninya. Tapi, naik turunnya perasaan, bergejolaknya pikiran, dan terombang-ambingnya hawa nafsu, membuat manusia menjadi makhluk yang tidak mungkin tidak pernah salah. Selama dia hidup, manusia akan terus berhadapan dengan keadaan-keadaan yang akan mempengaruhi tindakannya. Di satu waktu, dia bisa bersedih dan menangis; di waktu lain, dia bisa tertawa dan gembira. Di satu waktu, dia bisa berbuat dosa dengan sengaja ataupun tidak; di waktu lain, dia bisa berbuat baik dengan sengaja ataupun tidak.
Jika diamati, ada dua tipe dosa dalam pengaduan Iblis di atas. Pertama, dosa
menaati Iblis, dan kedua, dosa bermaksiat kepada Allah. Keduanya akan diampuni
oleh Allah karena fitrah cinta yang mereka miliki kepada-Nya, dan kebencian
yang mereka punyai untuk Iblis. Artinya, sisi baik manusia, tidak bisa
diabaikan dalam memandang manusia secara utuh. Bahkan, sisi baik itulah yang
didahulukan jika mengacu pada kisah di atas. Meskipun manusia tetap bermaksiat
dan menaati Iblis, Allah mengampuninya karena sisi baiknya, yaitu cinta mereka
kepada-Nya dan benci mereka kepada Iblis.
Berbeda halnya dengan hubungan sesama manusia, kebaikan sebesar gunung akan
tertutupi oleh satu keburukan. Tidak jarang dari kita, mengakhiri hubungan
pertemanan hanya karena satu kesalahan seorang teman, dan dengan seketika, kita
abaikan banyak kebaikan yang pernah dia lakukan kepada kita sebelumnya.
Padahal, jika merujuk kisah di atas, penilaian kebaikan harus lebih didahulukan
daripada penilaian keburukan. Karena pada hakikatnya, terhadap orang yang
dicintainya pun, manusia bisa melakukan kesalahan, apalagi terhadap orang yang
dia benci. Tentu saja, ini tidak bisa dijadikan dalil untuk melakukan kesalahan,
tapi paling tidak bisa membuka pikiran kita agar dapat melihat manusia secara
menyeluruh, tidak secara parsial per-kesalahan dan kesalahan saja.
Lagi pula, ampunan Allah itu bersifat pasti, tidak seperti maaf dari manusia.
Pintu maaf-Nya selalu terbuka lebar bagi siapa pun yang hendak memasukinya.
Kasih sayang-Nya jauh lebih besar dari murka-Nya. Jadi, kita tak perlu ragu
untuk selalu memohon ampunan-Nya setiap hari, bahkan jika kita merasa tidak
berbuat dosa hari ini. Sebab, bisa saja kita melakukan dosa yang tidak kita
sengaja. Misalnya, menyakiti perasaan orang lain tanpa kita sadari, melihat
orang yang membutuhkan meski kita mampu membantunya, atau menendang sampah di
jalanan tanpa hasrat memungutnya. Di samping itu, merasa tidak berbuat salah atau
dosa adalah sesuatu yang perlu kita “istighfari” juga.
Kita harus berjuang untuk menghindari perbuatan salah. Sebab, semakin banyak
kesalahan dan dosa terkumpul, sisi kebaikan kita semakin tertepikan. Jangan
sampai dosa yang menumpuk terlalu banyak, membuat kita kehilangan kemampuan
untuk meminta maaf dan memaafkan. Jangan sampai kesalahan yang banyak itu
melalaikan kita dari memohon ampunan-Nya. Sebab, jika sesuatu sudah menjadi
kebiasaan, yang mulanya masih terlihat sebagai kesalahan, perlahan-lahan
menjadi hal yang lumrah.
Karena itu, ungkapan Imam Hasan al-Bashri tentang orang yang berhasil meraih
hari raya (‘Id) adalah orang yang tidak bermaksiat kepada Allah penting untuk
kita renungkan bersama. Katanya:
كل
يوم لا يعصى الله فيه فهو عيد، كل يوم يقطعه المؤمن في طاعة مولاه وذكره وشكره فهو
له عيد
“Tiap hari yang Allah tidak dimaksiati di dalamnya, maka itu adalah hari ‘Id
(hari raya). Tiap hari yang seorang mukmin menggunakan (seluruh waktu)nya dalam
ketaatan kepada Tuhannya, berdzikir kepada-Nya, dan bersyukur atas
(nikmat-nikmat)-Nya, maka itu adalah hari ‘Id.” (Imam Ibnu Rajab al-Hanbali,
Lathâ’if al-Ma’ârif: Fîmâ li Mawâsim al-‘Âm min al-Wadhâ’if, Beirut: Dar
al-Kutub al-Ilmiyyah, 1997, h. 317)
Wallahu a’lam bish-shawwab. []
Muhammad Afiq Zahara, alumni PP. Darussa’adah, Bulus, Kritig, Petanahan,
Kebumen
Tidak ada komentar:
Posting Komentar