Jumat, 17 Juni 2022

(Ngaji of the Day) Ketentuan Zakat Harta Utang Piutang dalam Islam

Karena didorong oleh berbagai upaya pemenuhan kebutuhan, manusia melakukan muamalah dan saling interaksi antara satu sama lain. Tak terkecuali dalam urusan usaha produktif, semisal kebutuhan akan permodalan. Dari hasil interaksi antara pemilik harta dan pihak yang butuh modal ini salah satunya muncul relasi utang-piutang (istidanah). Konsekuensinya, muncul pula istilah utang modal.

 

Sesuai dengan karakteristiknya, modal merupakan harta yang diniatkan untuk dikembangkan (nama’) dalam kerangka produksi. Adanya unsur pengembangan (nama’) ini menjadikan modal memiliki korelasi kuat dengan zakat disebabkan maksud produktivitasnya itu. Pertanyaannya adalah apakah  modal yang diperoleh dari hasil utang itu merupakan harta yang wajib dizakati? Jika wajib dizakati, siapa yang berhak mengeluarkan zakatnya? Apakah pihak yang memberi utang ataukah pihak yang berutang?

 

Ada empat kemungkinan jawaban dalam hal ini. Pertama, pihak yang wajib zakat adalah pihak yang utang (dâ-in). Kedua, pihak yang wajib mengeluarkan zakat adalah pihak yang mengutangi (mudîn). Ketiga, kedua pihak baik dâ-in dan mudîn, sama-sama wajib mengeluarkan zakat. Keempat, keduanya tidak wajib zakat.

 

Dasar utama dari keempat jawaban ini adalah berangkat dari perintah Allah swt dalam QS al-Nahl [16] ayat 90: “Sesungguhnya Allah telah memerintahkan berlaku adil dan berbuat ihsan, menyantuni kerabat dekat, amar ma’ruh, dan nahi mungkar.” Yang wajib untuk kita jadikan landasan acuan berhukum dalam konteks ini adalah bahwa kita hendaknya berlaku adil. Sudah pasti, maksud dari adil ini adalah tidak berlakunya sifat aniaya (dhulm) dilihat dari berbagai aspeknya. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pernah bersabda kepada sahabat Mu’adz ibn Jabal radliyallahu ‘anhu:

 

فَإِيَّاكَ وَكَرَائِمَ أَمْوَالِهِمْ، وَاتَّقِ دَعْوَةَ الْمَظْلُومِ، فَإِنَّهُ لَيْسَ بَيْنَهُ وَبَيْنَ اللَّهِ حِجَابٌ

 

“Takutlah kamu terhadap orang-orang yang dimuliakan dengan harta-harta mereka! Takutlah kamu dari doanya orang yang teraniaya, karena antara mereka dan Allah, tiada sesuatu hijab pun” (HR. Imam al-Bukhari)

 

Faedah yang bisa kita ambil dari hadits ini adalah, bahwa zakat itu ada aturan yang sudah disepakati. Oleh karenanya, perlu menimbang secara arif suatu masalah dengan standar yang sudah ditentukan oleh syariat. Tujuannya adalah agar tidak salah dalam menetapkan siapa sebenarnya muzakki yang harus dipungut zakat.

 

Pihak yang Berutang selaku yang Wajib Zakat

 

Kondisi ini terjadi manakala pihak yang berutang adalah bermaksud menjadikan utang yang diambilnya sebagai modal usaha atau menambah modal yang sudah ada. Suatu misal, ia punya 50% modal, sementara 50% lainnya ia dapatkan dari meminjam dalam bentuk uang cash. Modal sebensar 50% yang diambil dari utang berupa uang cash ini merupakan bagian dari yang harus diakumulasikan ke dalam bagian ‘urudl al-tijarah (modal usaha), bilamana telah bersalin rupa dari uang menjadi barang. Mengapa?

 

Ketika modal masih dalam bentuk uang cash maka status kepemilikan uang yang ada di tangan pedagang, masuk kategori lemah. Padahal, disyaratkan bahwa wajibnya zakat adalah berlaku bilamana harta muzakki telah menjadi milik sempurna baginya. Dan ini memungkinkan terjadi, setelah adanya pergantian wujud uang menjadi barang. Karena utang berupa uang harus kembali menjadi uang. Pembelanjaan uang menjadi barang, menjadikan barang itu sudah menjadi hak milik sempurna pihak yang utang. Oleh karenanya sudah terhitung sebagai urudl (harta dagang).

 

إذا حلّت عليك الزكاة فانظر ما كان عندك من نقد أو عرض للبيع فقوّمه قيمة النقد‏، وما كان من دين في ملاءة فاحسبه‏،‏ ثم اطرح منه ما كان عليك من الدين، ثم زَكّ ما بقي

 

"Saat harta zakat sudah mencapai haul, maka telitilah segala harta zakawi yang kamu miliki, seperti nuqud (dinar dan dirham), harta dagang, maka jadikanlah ia dalam bentuk harga riil dengan standar nuqud, kemudian harta yang diperoleh dari utang dan dijadikan modal, maka hisablah ia sebagai modal, dan sisihkan harta (urudl) lainnya yang merupakan hasil utang urudl, kemudian tunaikan zakatnya!” (Abu ‘Ubaid al-Qasim ibn Salam, al-Amwal, Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1986 M, halaman 431)

 

Pihak yang Mengutangi sebagai yang Wajib Zakat

 

Hal ini terjadi, manakala utang dâ-in adalah berupa barang. Utang berupa barang menjadikan status kepemilikan barang bagi dâ-in adalah “milik lemah”, kecuali jika sudah terjadi transaksi baru yang menyertainya. Contoh dari transaksi baru ini adalah barang itu laku kepada pembeli lain.

 

Saat barang utang itu laku, maka secara otomatis barang yang dijual oleh dâ-in menjadi “milik kuat” dan dihitung sebagai bagian dari ‘urudl tijarah (harta dagang) sejak barang utangan ada di kekuasaan dâ-in dan boleh dijual.

 

Yang perlu dicatat adalah bahwa dâ-in mendapatkan barang itu lewat transaksi “utang”, dan bukan sekadar menjadi wakil dari pemilik asal barang.

 

تجب زكاة الدين على الذي عليه الدين (أي المدين) وتسقط عن ربه المالك له (أي الدائن)

 

Artinya, “Zakat utang wajib berlaku atas pihak yang mengutangi sehingga gugur kewajibannya atas orang yang menguasai utang (orang yang berutang).” (Abu ‘Ubaid al-Qasim ibn Salam, al-Amwal, Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1986 M, halaman 435)

 

Keduanya Sama-Sama Wajib Zakat

 

Kondisi ini terjadi manakala terjadi mathlu (menunda-nunda) pembayaran oleh pihak yang berutang terhadap utang modal yang dilakukannya. Pihak yang mengutangi, tetap menghitung modal yang dipinjamkannya kepada dâ-in sebagai bagian dari harta miliknya sebelum dilunasi oleh pihak dâ-in. Sementara itu, bagi dâ-in, harta yang sudah laku dan berubah menjadi uang, secara sah telah menjadi miliknya dan dihisab sebagai nuqud tersimpan baginya. Walhasil, kedua mudîn dan dâ-in sama-sama mengeluarkan zakat.

 

Keduanya Sama-Sama Tidak Wajib Zakat

 

Kondisi ini terjadi manakala pihak yang mengutangi bukan pedagang. Ia mengutangi dalam rangka menolong saudaranya yang tengah kesusahan. Harta utang yang sudah dikucurkan kepada pihak dâ-in, dalam kondisi ini sudah menjadi milik kuat bagi dâ-in. Dengan demikian, pihak mudîn sudah tidak memiliki kuasa sama sekali terhadap harta yang dipinjamkan karena terjadi perpindahan milik.

 

Harta dihitung menjadi milik mudîn kembali manakala sudah dikembalikan oleh dâ-in. Dan bila harta itu sudah lewat satu tahun (Hijriah), terhitung semenjak masih ada dalam kekuasaan mudîn hingga berpindah dalam kuasanya dâ-in, kemudian kembali lagi kepada mudîn, maka saat kembalinya harta itu kepada mudîn, di situ mudîn baru berkewajiban mengeluarkan zakatnya. Wallahu a’lam bish-shawab. []

 

Ustadz Muhammad Syamsudin, Peneliti Bidang Ekonomi Syariah – Aswaja NU Center PWNU Jawa Timur

Tidak ada komentar:

Posting Komentar