Hari Lahir (Harlah) Pancasila ditetapkan melalui Keputusan Presiden Nomor 24 Tahun 2016. Sebelumnya, Nahdlatul Ulama (NU) secara resmi dan kelembagaan meminta dan mengusulkan kepada Presiden Joko Widodo untuk menetapkan 1 Juni 1945 sebagai Hari Lahirnya Pancasila. Usulan tersebut disampaikan pada peringatan Hari Lahir ke-93 NU di Lapangan Candra Wilwatikta, Pasuruan Jawa Timur yang dihadiri sekitar 15.000 orang yang berasal dari warga NU dan ormas-ormas se-Jawa Timur.
Ketua Umum PBNU Said Aqil Siroj dalam kesempatan Harlah ke-93 NU tersebut
menyatakan bahwa NU telah melakukan berbagai kajian akademis, baik yang
bersifat historis maupun ideologis. "Hasilnya tidak dapat dipungkiri bahwa
pada tanggal 1 Juni 1945 itulah di depan Sidang BPUPKI Bung Karno untuk pertama
kalinya mencetuskan dan menawarkan gagasannya tentang lima dasar Indonesia
merdeka yang beliau beri nama Pancasila," ujar Kiai Said, Sabtu
(30/4/2016) kala itu.
Megawati Soekarnoputri yang diundang secara khusus oleh panitia Harlah ke-93 NU
dalam kapasitasnya sebagai Presiden RI ke-5 dan Putri Bung Karno didapuk untuk
menerima dokumen kajian akademis yang telah disusun oleh PBNU tentang usulan
penetapan 1 Juni 1945 sebagai Hari Lahir Pancasila. Dokumen tersebut diserahkan
langsung di hadapan 15.000 hadirin dan tokoh tokoh NU se-Jawa Timur oleh KH
Said Aqil Siroj.
Wacana penetapan Hari Lahir Pancasila muncul karena pentingnya mengokohkan
dasar negara sebagai fondasi kehidupan berbangsa dan bernegara yang justru
belum diperingati hari lahirnya. NU yang memiliki sejarah panjang dalam
merumuskan dan menegakkan Pancasila memberikan masukan berharga agar Harlah
Pancasila ditetapkan pada 1 Juni setiap tahunnya.
Sebelumnya, KH Said Aqil Siroj dalam Seminar Pancasila pada 1 Maret 2016 di
Surabaya, Jawa Timur mengungkapkan bahwa masukan NU terkait penetapan Hari
Lahir Pancasila juga berangkat dari tokoh NU yang juga Pahlawan Nasional, KH
Masjkur yang pernah mengusulkan 1 Juni sebagai Hari Lahir Pancasila.
Saran tersebut juga berangkat dari pidato Soekarno dalam rangkaian Sidang Badan
Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI). Ketika
berpidato dalam Sidang BPUPKI 1 Juni 1945, Bung Karno mengemukakan lima konsep
untuk dijadikan sebagai dasar negara Indonesia. Lima konsep itu antara lain:
kebangsaan, internasionalisme, permusyawarakatan, kesejahteraan, dan ketuhanan.
Perjuangan memerdekakan Indonesia dari kolonialisme telah melalui tahapan dan usaha yang panjang tetapi matang. Selain perjuangan fisik, bangsa Indonesia secara gigih mampu membangun fondasi kemerdekaan dengan merumuskan dasar dan ideologi negara melalui persiapan-persiapan yang dilakukan oleh para tokoh bangsa dengan wadah BPUPKI (Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia) pada Maret 1945 dan PPKI (Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia) pada Agustus 1945.
Sejarah mencatat, ketika Jepang semakin terdesak dalam Perang Dunia II,
Pemerintah Pendudukan Bala Tentara Jepang di Jawa melalui Saiko Syikikan Kumakici
Harada mengumumkan secara resmi berdirinya BPUPKI (Badan Penyelidik Usaha-usaha
Persiapan Kemerdekaan Indonesia) pada 1 Maret 1945 yang berjumlah 69 anggota.
KRT Radjiman Wedyodiningrat (seorang tokoh Budi Utomo) ditunjuk sebagai Ketua.
Walaupun badan ini dibentuk oleh Jepang, bagi para pemimpin perjuangan yang
duduk di dalamnya, badan ini diarahkan untuk kepentingan kehidupan bangsa.
BPUPKI menggelar dua kali sidang. Sidang pertama dibuka pada 29 Mei-1 Juni 1945 di Gedung Cuo Sangi In dan 10-16 Juli 1945. Sidang pertama menetapkan Dasar Negara Pancasila dan sidang kedua menetapkan rancangan UUD 1945. Dalam sidang pertama, tepatnya pada 29 Mei 1945, Mohamad Yamin mengucapkan pidato yang berisi tentang asas-asas yang diperlukan sebagai dasar negara. Pada sidang 31 Mei, Soepomo juga mengungkapkan uraian tentang dasar-dasar negara. Akhirnya pada 1 Juni 1945, Soekarno menyodorkan 5 poin yang diusulkan menjadi dasar negara. Pada saat itu, ia jugalah yang pertama kali menyebut “Pancasila” untuk 5 dasar yang diajukannya itu.
Sebelumnya, tugas merumuskan dasar negara diserahkan kepada Panitia Sembilan
yang terdiri dari dari Soekarno, Mohammad Hatta, A.A. Maramis, KH A.
Wachid Hasyim, Abdul Kahar Muzakkir, Abikusno Tjokrosujoso, H. Agus Salim,
Ahmad Subardjo dan Mohammad Yamin. Mereka awalnya merumuskan salah satu
bunyi Piagam Jakarta yaitu “Ketuhanan, dengan Kewajiban Menjalankan Syari'at
Islam bagi Pemeluk-pemeluknya”.
Namun, sebelum Pembukaan/Muqaddimah (Preambule) disahkan, pada 17 Agustus 1945
Mohammad Hatta mengutarakan aspirasi dari rakyat Indonesia bagian Timur yang
mengancam memisahkan diri dari Indonesia jika poin “Ketuhanan” tidak diubah
esensinya. Akhirnya setelah berdiskusi dengan para tokoh agama di antaranya Ki
Bagus Hadikusumo, KH. Wahid Hasyim, dan Teuku Moh. Hasan, ditetapkanlah bunyi
poin pertama Piagam Jakarta yang selanjutnya disebut Pancasila itu dengan
bunyi: “Ketuhanan Yang Maha Esa”.
Tokoh ulama yang berperan menegaskan konsep Ketuhanan yang akomodatif tersebut
adalah KH Wahid Hasyim. Menurut Kiai Wahid Hasyim kala itu, “Ketuhanan Yang
Esa” merupakan konsep tauhid dalam Islam. Sehingga tidak ada alasan bagi umat
Islam untuk menolak konsep tersebut dalam Pancasila. Artinya, dengan konsep
tersebut, umat Islam mempunyai hak menjalankan keyakinan agamanya tanpa
mendiskriminasi keyakinan agama lain. Di titik inilah, menjalankan Pancasila
sama artinya mempraktikkan syariat Islam dalam konsep hidup berbangsa dan
bernegara. Sehingga tidak ada sikap intoleransi kehidupan berbangsa atas nama
suku, agama, ras, dan lain-lain.
Pancasila yang akomodatif dalam konteks sila Ketuhanan tersebut mewujudkan
tatanan negara yang unik dalam aspek hubungan agama dan negara. Dalam arti,
negara Indonesia bukanlah negara sekuler dan bukan pula negara Islam, melainkan
negara yang berupaya mengembangkan kehidupan beragama dan keagamaan (Einar
Martahan Sitompul, NU dan Pancasila, 2010: 91).
Peran Kiai Wahid Hasyim bukan hanya mampu menjabarkan Pancasila secara teologis
dan filosofis terhadap rumusan awal yang diajukan oleh Soekarno pada 1 Juni
1945, tetapi juga menegaskan bahwa umat Islam Indonesia sebagai mayoritas
menunjukkan sikap inklusivitasnya terhadap seluruh bangsa Indonesia yang
majemuk sehingga Pancasila merupakan dasar negara yang merepresentasikan
seluruh bangsa Indonesia. []
Sumber: NU Online
Tidak ada komentar:
Posting Komentar