Rabu, 08 Juni 2022

(Ngaji od the Day) Di Balik Rujak Cingur Rp60 Ribu, Saatnya Introspeksi Tradisi Membeli

Baru-baru ini, beredar video viral pedagang kaki lima di Surabaya yang berdagang rujak cingur dengan harga dipatok senilai 60 ribu rupiah per porsi. Harga ini belum termasuk harga segelas es tehnya senilai 15 ribu rupiah. Tak urung harga ini mengagetkan sejumlah pendatang baru yang kebetulan lewat dan mampir ke warung itu. 

 

Berdasarkan hasil penelusuran NU Online, harga itu sebenarnya sudah maklum di kalangan tetangga kanan kiri. Dan bahkan menurut beberapa sumber yang berhasil ditemui tim redaksi, tempat pedagang kaki lima itu selalu dipenuhi para pembeli yang menjadi konsumennya. 

 

Emak Milla, demikian pedagang itu sering dikenal pelanggannya, mengatakan bahwa kadang ia sampai kehabisan stok cingur sebagai bahan baku rujak cingur, rujak asli Surabaya itu. Saking larisnya, ia sampai menjalin kerja sama dengan empat rekanan bisnis untuk menyediakan stok cingur, mengingat bahan baku yang satu ini sulit didapat. 

 

Bagaimana tidak sulit? Cingur adalah moncong sapi yang berwarna hitam. Orang-orang menyebutnya bibir sapi. Di Surabaya, ia disebut cingur. Satu ekor sapi, paling hanya menyisakan cingur seberat 3 kilogram. Padahal, sehari-harinya, Mak Milla bisa menghabiskan 10 kg. Itu berarti butuh 3 sampai 4 ekor sapi yang disembelih. Jadi, mau tidak mau ia harus bekerja sama dengan pejagalan.

 

Menurutnya, suatu ketika pernah dalam dua hari ia menghabiskan 40 kg cingur yang distok oleh empat rekanan bisnisnya. Tergantung momen atau hari-hari tertentu. Walhasil, bahan baku rujak cingur merupakan bahan yang memang susah didapat dan termasuk langka diperoleh dari pasaran umum. Ini adalah salah satu yang membuat rujak cingur terkenal mahal. 

 

Ini masih berupa bahan baku cingurnya saja. Belum bahan baku lainnya, seperti biji mente sebagai bahan baku sambal. Umumnya, sambal rujak-rujak lainnya selain rujak cingur, bahan baku mente ini memakai bahan baku kacang. Namun tidak dengan rujak cingur. Bahan bakunya khusus mente. Padahal mente itu berbuahnya hanya pada waktu-waktu tertentu saja. Itu sebabnya pedagang rujak cingur butuh banyak stok selagi masa buah mente / jambu monyet itu. Keberadaan sambal dengan bahan baku mente ini menjadikan rasa dari rujak cingur tidak sama dengan rujak lainnya. 

 

Nah, akibat viralnya video itu, ternyata Mak Milla sempat ditutup lapaknya oleh Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP). Bahkan, dalam beberapa sumber berita harian dilaporkan, bahwa ia sempat diteror oleh beberapa nomor tak dikenal. Ada dua alasan penutupan itu. Pertama, dikarenakan soal harga, dan kedua, disebabkan karena penggunaan bahu jalan untuk berjualan. Perlu diketahui memang bahwa Mak Milla ketika berdagang, ia melayani konsumennya dengan menggunakan bahu jalan. Itulah sebabnya ia disebut pedagang kaki lima. 

 

Penggunaan bahu jalan atau sarana umum untuk berjualan sehingga mengurangi fungsinya sebagai tempat lalu lalangnya orang lain pengguna jalan merupakan tindakan yang tidak dibenarkan secara syariat. Namun, penutupan lapak Mak Milla karena alasan harga jual rujaknya yang mahal merupakan langkah yang patut disesalkan. Setidaknya ada beberapa alasan dalam hal ini:

 

1. Harga jual produk rujak cingur Mak Milla, adalah bukan timbul karena faktor monopoli dagang yang dilarang oleh syariat. Semua orang yang punya keahlian sama dengan Mak Milla bisa membuka warung yang sama dengan harga yang bersaing

 

2. Harga jual rujak cingur Mak Milla bukanlah satu-satunya yang mahal. Ada warung lain yang juga telah beroperasi lama yang memiliki harga jual yang mahal. 

 

3. Harga jual rujak cingur Mak Milla tidak ditentukan akibat menipu pelanggan. Sudah lama Mak Milla menjual dengan harga 60 ribu rupiah (kurang lebih 5 tahun). 

 

4. Sudah 20 tahun warung Mak Milla ini beroperasi di lokasi ia berjualan sekarang. Gejolak timbul justru setelah diunggahnya video dirinya dan dagangannya oleh sekelompok pemuda tidak dikenal. 

 

Jika ditelusuri lebih jauh tentang motif pemuda itu mengunggah video Mak Milla, tampaknya ada dua kemungkinan. 

 

Pertama, mereka kaget dengan harga rujak cingur yang sedang dihadapinya, ditambah dengan harga Es Manado yang memang dipatok dengan harga 15 ribu rupiah. Dalam video itu disebutkan sebagai Es Teh. Namun Mak Milla menampiknya bahwa itu adalah Es Manado. 

 

Kedua, dalam benak pemuda ini seolah terbersit rasa kecewa dengan harga yang dipatok oleh Mak Milla, mengingat lapaknya yang berada di tepi jalan (pedagang kaki lima) namun harganya menyamai restoran. Adat kebiasaan yang berlaku di masyarakat bahwa harga kaki lima adalah lebih rendah dan lebih murah dibanding harga jual produk yang sama di restoran atau rumah makan. Padahal, dari sudut pandang ekonomi, belum tentu juga hal itu terjadi, mengingat harga semua bahan baku merupakan faktor penentu dari terbentuknya harga. 

 

Menyangkut permasalahan ini, dipandang dari sisi syariat, sejatinya kekecewaan konsumen terhadap harga suatu produk dagangan yang dibelinya, tidak akan terjadi manakala memperhatikan beberapa hal berikut:

 

1. Sebelum memutuskan membeli produk, seyogianya konsumen memastikan terlebih dahulu harga produk yang hendak dibelinya. Makanya dalam syariat kita, hal pertama yang harus diketahui terkait dengan jual beli adalah barang yang hendak dibeli dan kedua adalah mengetahui harga produknya. 

 

Jika terjadi sengketa antara harga dan barang, maka menurut fiqih, yang dibenarkan adalah pengakuan pedagang. Mengapa? Karena pedaganglah yang memiliki barang dan ia berhak menentukan harga jualnya

 

2. Ada satu kebiasaan jual beli di masyarakat yang kadang sering melahirkan kekecewaan di belakang harinya. Kekecewaan umumnya datang dari pembeli. Kebiasaan apakah itu? Yaitu kebiasaan membeli makanan di warung dengan harga belakangan. Mestinya bertanya dulu harga per porsinya, lalu baru memutuskan untuk membeli atau tidaknya. Kebiasaan jual beli semacam ini (makan dulu, harga belakangan), dikenal sebagai jual beli mu'âthah. Imam Nawawi membolehkan jual beli semacam ini, namun untuk barang yang bernilai kecil. Adapun untuk barang yang bernilai besar (mahal), beliau tidak membolehkannya, kecuali ada illat lain, seperti adanya bandrol harga. 

 

Nah, kedua kebiasaan terakhir inilah yang semestinya diperhatikan oleh para penjual dan pembeli. Apapun itu jenis barang yang dijual, asal ada kejelasan mengenai harga dan barang, pasti tidak akan menimbulkan konflik berkelanjutan. Bila syariat diperhatikan, niscaya akan selamat dari akar perselisihan. Jual beli itu sah bukan disebabkan karena harganya murah, melainkan karena barang yang dijual bersifat maklum, harga juga maklum, dan terbit saling ridha serta tidak ada unsur yang merugikan atau membahayakan salah satu pihak. Wallahu a'lam bish shawâb. []

 

Ustadz Muhammad Syamsudin, Pengisi Kajian pada Kanal Ekonomi Syariah NU Online; Peneliti Bidang Ekonomi Syariah - Aswaja NU Center PWNU Jawa Timur

Tidak ada komentar:

Posting Komentar