Rabu, 15 Juni 2022

(Hikmah of the Day) Wasiat Sa’id bin al-‘Ash kepada Anaknya Menjelang Wafat

Dalam kitab al-Ikhwân, Imam al-Hafidz Ibnu Abi Dunya mencatat sebuah riwayat tentang wasiat Sayyidina Sa’id bin al-‘Ash kepada anaknya. Berikut riwayatnya:


حدثني محمد بن الحسين، قال: أخبرنا عبد الله بن زياد السحيمي حدثنا بعض شيوخنا، قال: لَمَّا حضرت سعيد بن العاص الوفاة، قال: يا بني لا تفقدوا إخواني مني عندكم عين وجهي أجروا عليهم ما كنت أجري، واصنعوا بهم ما كنت أصنعُ، ولا تلجئوهم للطّلَب، فإنّ الرجل إذا طلب الحاجة اضطربت أركانهُ، وارتعدتْ فرائصه، وكلَّ لسانه، وبدا الكلام في وجهه. اكفوهم مؤنة الطلب بالعطية قبل المسألة فإنّي لا أجد لوجه الرجل يأتي يتقلقل علي فراشه ذاكرا موضعا لحاجته، فعدا بها عليكم لا أري قضي حاجته عوضا من بذل وجهه. فبادروهم بقضاء حوائجهم قبل أن يسبقوكم إليها بالمسألة.


Menceritakan kepadaku Muhammad bin al-Husain, ia berkata: Abdullah bin Ziyad al-Suhaimi bercerita, (bahwa) sebagian guru-guru kami bercerita:


Saat Sa’id bin al-‘Ash hampir wafat, ia berkata (kepada anak-anaknya): “Wahai anakku, jangan kalian hilangkan saudara-saudaraku dariku (setelah kematianku). Kunjungilah mereka sebagaimana aku mengunjungi (mereka). Perlakukanlah mereka sebagaimana aku perlakukan (mereka). Jangan (biarkan mereka mencari) perlindungan dengan meminta-minta. Karena sesungguhnya, ketika seseorang meminta (sesuatu) yang dibutuhkan(nya), persendiannya gemetar dan menggigil (karena malu), lidahnya kelu dan wajahnya pucat pasi. (Maka dari itu), cukupilah kebutuhan (mereka) sebelum (mereka) meminta. Sungguh, aku tidak temukan wajah orang yang (sedang dalam kebutuhan), (kecuali) dia (terus) bergerak-gerak (gelisah) di atas tempat tidurnya sembari teringat akan kebutuhannya. Kemudian dia mendatangi kalian karena kebutuhannya, (dan) aku tidak melihat, (meskipun) kebutuhannya terpenuhi, (dapat) menggantikan (rasa malu yang tampak) di wajahnya. Karena itu, bergegaslah dalam memenuhi kebutuhan-kebutuhan mereka sebelum mereka (mendatangi kalian) terlebih dahulu untuk meminta(nya)” (Imam al-Hafidz Ibnu Abi Dunya, al-Ikhwân, Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1988, h. 223).


****


Sayyidina Sa’id bin al-‘Ash berusia sembilan tahun ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam wafat. Nama lengkapnya adalah Sa’id bin al-‘Ash bin Sa’id bin al-‘Ash bin Umayyah bin ‘Abdu Syams bin ‘Abdu Manaf al-Umawiy. Ia berasal dari keluarga pembesar Quraish, tepatnya dari Bani Umayyah. Ayahnya terbunuh di Perang Badar dalam keadaan belum Islam. Setelah itu, ia tumbuh dalam perlindungan Sayyidina ‘Utsman bin ‘Affan. Imam Ibnu Katsir mengatakan:


ونشأ سعيد في حجر عثمان بن عفان رضي الله عنه، وكان عمر سعيد يوم مات رسول الله تسع سنين، وكان من سادات المسلمين والأجواد المشهورين


“Sa’id tumbuh di (bawah) perlindungan (Sayyidina) ‘Utsman bin ‘Affan radhiyallahu ‘anhu. Umur Sa’id saat Rasulullah wafat adalah sembilan tahun. Ia termasuk pembesar umat Islam dan dermawan yang masyuhur” (Imam al-Hafidz Ibnu Katsir, al-Bidâyah wa al-Nihâyah, Giza: Hajr, 1998, juz 11, h. 317).


Sa’id bin al-‘Ash penah menjabat sebagai gubernur Kufah di era Sayyidina ‘Utsman bin ‘Affan, dan gubernur Madinah di era Muawiyyah bin Abi Sufyan. Ia wafat di Madinah dan dikuburkan di kompleks pemakaman Baqi’.


Kedermawanan Sayyidina Sa’id telah terucap oleh banyak mulut, sampai melintasi batas kota. Ia gemar memberi saudara dan teman-temannya yang membutuhkan, tanpa harus diminta terlebih dahulu. Karena itu, sebelum kewafatannya, ia meninggalkan wasiat penting untuk anak-anaknya, agar mereka tidak menghilangkan kebiasaannya berbagi dan memberi. Ia berujar: “Wahai anakku, jangan kalian hilangkan saudara-saudaraku dariku (setelah kematianku). Kunjungilah mereka sebagaimana aku mengunjungi (mereka). Perlakukanlah mereka sebagaimana aku perlakukan (mereka).”


Hal ini senafas dengan ajaran Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam, agar seorang anak tetap terhubung dengan teman-teman orang tuanya. Rasulullah bersabda (HR. Imam Muslim):


أَبَرُّ الْبِرِّ أَنْ يَصِلَ الرَّجُلُ وُدَّ أَبِيهِ


“Kebajikan yang utama adalah seseorang yang melanjutkan hubungan (silaturrahim) dengan sahabat ayahnya.”


Wasiat Sayyidina Sa’id bin al-‘Ash, memberikan kita gambaran tentang keluhuran hati dan kedermawanannya. Ia membawa dan meluaskan penerapannya. Tidak hanya pada aktivitas “minta dan beri”, tapi membawanya pada aktivitas “memberi sebelum diminta.” Ia mengembangkan pengamatannya tentang keadaan manusia. Ia memperhatikan, mempelajari dan merasai beragam keadaan manusia yang membutuhkan. Ia tidak hanya melihat dari jauh, tapi membersamai mereka dengan kehalusan perilaku. 


Ia menyebut mereka dengan “ikhwânî” (saudara-saudaraku), dan meminta anak-anaknya untuk mengunjungi mereka sebagaimana ia berkunjung; bergaul dengan mereka sebagaimana ia bergaul. Artinya, Sayyidina Sa’id bin al-‘Ash sering melibatkan dan mengajak anak-anaknya mengunjungi mereka, sehingga ia tidak perlu menjelaskan secara terperinci bagaimana cara memperlakukan sahabat-sahabat ayahnya. Ini juga bukti bahwa Sayyidina Sa’id membersamai mereka dalam jalinan persaudaraan hakiki, tidak hanya menjadi pengamat yang kemudian memberi jika dimintai.


Dengan memiliki banyak teman, Sayyidina Sa’id menjadi lebih kenal dengan keadaan manusia dan karakteristik khasnya. Pemahaman inilah yang kemudian menjadi dasar “memberi sebelum diminta”, karena ia telah melihat banyak teman-temannya yang bergetar malu, berlidah kelu, dan bermuka pasi ketika meminta sesuatu kepadanya. Melihat itu, ia merasa bersalah karena tidak mampu mengenali dan memahami keadaan orang-orang yang membutuhkan. Sejak saat itu, ia mengamati betul ragam karakteristik keadaan manusia. Tujuannya, agar ia tidak lagi melihat rasa malu, berat dan gemetar teman-temannya yang membutuhkan. 


Dengan demikian, Sayyidina Sa’id telah menyuguhkan sebuah jamuan kedermawanan yang halus budi. Sebuah kedermawanan yang tidak lagi sibuk berurusan dengan pikiran, “jadi memberi atau tidak ya?” atau, “jika pun memberi, sebaiknya berapa ya?”, dan seterusnya. Sayyidina Sa’id bin al-‘Ash tidak lagi berpikir soal itu, yang ia pikirkan adalah, bagaimana seseorang tidak merasa malu ketika menerima pemberian; bagaimana seseorang tidak harus mengutarakan kebutuhannya, dan seterusnya. 


Bahkan, saking pentingnya, di ambang kewafatannya, ia mewasiati anak-anaknya untuk menjaga hal itu, dengan berucap: “Bergegaslah dalam memenuhi kebutuhan-kebutuhan mereka sebelum mereka (mendatangi kalian) untuk meminta(nya).” Pertanyaannya, bisakah kita menirunya?

Wallahu a’lam bish-shawwab.... []


Muhammad Afiq Zahara, alumni PP. Darussa’adah, Bulus, Kritig, Petanahan, Kebumen

Tidak ada komentar:

Posting Komentar