Dalam kitab al-Ikhwân, Imam al-Hafidz Ibnu Abi Dunya mencatat sebuah riwayat tentang wasiat Sayyidina Sa’id bin al-‘Ash kepada anaknya. Berikut riwayatnya:
حدثني
محمد بن الحسين، قال: أخبرنا عبد الله بن زياد السحيمي حدثنا بعض شيوخنا، قال:
لَمَّا حضرت سعيد بن العاص الوفاة، قال: يا بني لا تفقدوا إخواني مني عندكم عين
وجهي أجروا عليهم ما كنت أجري، واصنعوا بهم ما كنت أصنعُ، ولا تلجئوهم للطّلَب،
فإنّ الرجل إذا طلب الحاجة اضطربت أركانهُ، وارتعدتْ فرائصه، وكلَّ لسانه، وبدا
الكلام في وجهه. اكفوهم مؤنة الطلب بالعطية قبل المسألة فإنّي لا أجد لوجه الرجل
يأتي يتقلقل علي فراشه ذاكرا موضعا لحاجته، فعدا بها عليكم لا أري قضي حاجته عوضا
من بذل وجهه. فبادروهم بقضاء حوائجهم قبل أن يسبقوكم إليها بالمسألة.
Menceritakan kepadaku Muhammad bin al-Husain, ia berkata: Abdullah bin Ziyad
al-Suhaimi bercerita, (bahwa) sebagian guru-guru kami bercerita:
Saat Sa’id bin al-‘Ash hampir wafat, ia berkata (kepada anak-anaknya): “Wahai
anakku, jangan kalian hilangkan saudara-saudaraku dariku (setelah kematianku).
Kunjungilah mereka sebagaimana aku mengunjungi (mereka). Perlakukanlah mereka
sebagaimana aku perlakukan (mereka). Jangan (biarkan mereka mencari)
perlindungan dengan meminta-minta. Karena sesungguhnya, ketika seseorang
meminta (sesuatu) yang dibutuhkan(nya), persendiannya gemetar dan menggigil
(karena malu), lidahnya kelu dan wajahnya pucat pasi. (Maka dari itu),
cukupilah kebutuhan (mereka) sebelum (mereka) meminta. Sungguh, aku tidak
temukan wajah orang yang (sedang dalam kebutuhan), (kecuali) dia (terus)
bergerak-gerak (gelisah) di atas tempat tidurnya sembari teringat akan
kebutuhannya. Kemudian dia mendatangi kalian karena kebutuhannya, (dan) aku
tidak melihat, (meskipun) kebutuhannya terpenuhi, (dapat) menggantikan (rasa
malu yang tampak) di wajahnya. Karena itu, bergegaslah dalam memenuhi
kebutuhan-kebutuhan mereka sebelum mereka (mendatangi kalian) terlebih dahulu
untuk meminta(nya)” (Imam al-Hafidz Ibnu Abi Dunya, al-Ikhwân, Beirut: Dar
al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1988, h. 223).
****
Sayyidina Sa’id bin al-‘Ash berusia sembilan tahun ketika Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wasallam wafat. Nama lengkapnya adalah Sa’id bin al-‘Ash
bin Sa’id bin al-‘Ash bin Umayyah bin ‘Abdu Syams bin ‘Abdu Manaf al-Umawiy. Ia
berasal dari keluarga pembesar Quraish, tepatnya dari Bani Umayyah. Ayahnya terbunuh
di Perang Badar dalam keadaan belum Islam. Setelah itu, ia tumbuh dalam
perlindungan Sayyidina ‘Utsman bin ‘Affan. Imam Ibnu Katsir mengatakan:
ونشأ
سعيد في حجر عثمان بن عفان رضي الله عنه، وكان عمر سعيد يوم مات رسول الله تسع
سنين، وكان من سادات المسلمين والأجواد المشهورين
“Sa’id tumbuh di (bawah) perlindungan (Sayyidina) ‘Utsman bin ‘Affan
radhiyallahu ‘anhu. Umur Sa’id saat Rasulullah wafat adalah sembilan tahun. Ia
termasuk pembesar umat Islam dan dermawan yang masyuhur” (Imam al-Hafidz Ibnu
Katsir, al-Bidâyah wa al-Nihâyah, Giza: Hajr, 1998, juz 11, h. 317).
Sa’id bin al-‘Ash penah menjabat sebagai gubernur Kufah di era Sayyidina
‘Utsman bin ‘Affan, dan gubernur Madinah di era Muawiyyah bin Abi Sufyan. Ia
wafat di Madinah dan dikuburkan di kompleks pemakaman Baqi’.
Kedermawanan Sayyidina Sa’id telah terucap oleh banyak mulut, sampai melintasi
batas kota. Ia gemar memberi saudara dan teman-temannya yang membutuhkan, tanpa
harus diminta terlebih dahulu. Karena itu, sebelum kewafatannya, ia meninggalkan
wasiat penting untuk anak-anaknya, agar mereka tidak menghilangkan kebiasaannya
berbagi dan memberi. Ia berujar: “Wahai anakku, jangan kalian hilangkan
saudara-saudaraku dariku (setelah kematianku). Kunjungilah mereka sebagaimana
aku mengunjungi (mereka). Perlakukanlah mereka sebagaimana aku perlakukan
(mereka).”
Hal ini senafas dengan ajaran Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam, agar
seorang anak tetap terhubung dengan teman-teman orang tuanya. Rasulullah
bersabda (HR. Imam Muslim):
أَبَرُّ
الْبِرِّ أَنْ يَصِلَ الرَّجُلُ وُدَّ أَبِيهِ
“Kebajikan yang utama adalah seseorang yang melanjutkan hubungan (silaturrahim)
dengan sahabat ayahnya.”
Wasiat Sayyidina Sa’id bin al-‘Ash, memberikan kita gambaran tentang keluhuran
hati dan kedermawanannya. Ia membawa dan meluaskan penerapannya. Tidak hanya
pada aktivitas “minta dan beri”, tapi membawanya pada aktivitas “memberi
sebelum diminta.” Ia mengembangkan pengamatannya tentang keadaan manusia. Ia
memperhatikan, mempelajari dan merasai beragam keadaan manusia yang
membutuhkan. Ia tidak hanya melihat dari jauh, tapi membersamai mereka dengan
kehalusan perilaku.
Ia menyebut mereka dengan “ikhwânî” (saudara-saudaraku), dan meminta
anak-anaknya untuk mengunjungi mereka sebagaimana ia berkunjung; bergaul dengan
mereka sebagaimana ia bergaul. Artinya, Sayyidina Sa’id bin al-‘Ash sering
melibatkan dan mengajak anak-anaknya mengunjungi mereka, sehingga ia tidak
perlu menjelaskan secara terperinci bagaimana cara memperlakukan
sahabat-sahabat ayahnya. Ini juga bukti bahwa Sayyidina Sa’id membersamai
mereka dalam jalinan persaudaraan hakiki, tidak hanya menjadi pengamat yang
kemudian memberi jika dimintai.
Dengan memiliki banyak teman, Sayyidina Sa’id menjadi lebih kenal dengan
keadaan manusia dan karakteristik khasnya. Pemahaman inilah yang kemudian
menjadi dasar “memberi sebelum diminta”, karena ia telah melihat banyak
teman-temannya yang bergetar malu, berlidah kelu, dan bermuka pasi ketika
meminta sesuatu kepadanya. Melihat itu, ia merasa bersalah karena tidak mampu
mengenali dan memahami keadaan orang-orang yang membutuhkan. Sejak saat itu, ia
mengamati betul ragam karakteristik keadaan manusia. Tujuannya, agar ia tidak
lagi melihat rasa malu, berat dan gemetar teman-temannya yang
membutuhkan.
Dengan demikian, Sayyidina Sa’id telah menyuguhkan sebuah jamuan kedermawanan
yang halus budi. Sebuah kedermawanan yang tidak lagi sibuk berurusan dengan
pikiran, “jadi memberi atau tidak ya?” atau, “jika pun memberi, sebaiknya
berapa ya?”, dan seterusnya. Sayyidina Sa’id bin al-‘Ash tidak lagi berpikir
soal itu, yang ia pikirkan adalah, bagaimana seseorang tidak merasa malu ketika
menerima pemberian; bagaimana seseorang tidak harus mengutarakan kebutuhannya,
dan seterusnya.
Bahkan, saking pentingnya, di ambang kewafatannya, ia mewasiati anak-anaknya
untuk menjaga hal itu, dengan berucap: “Bergegaslah dalam memenuhi
kebutuhan-kebutuhan mereka sebelum mereka (mendatangi kalian) untuk
meminta(nya).” Pertanyaannya, bisakah kita menirunya?
Wallahu a’lam bish-shawwab.... []
Muhammad Afiq Zahara, alumni PP. Darussa’adah, Bulus, Kritig, Petanahan,
Kebumen
Tidak ada komentar:
Posting Komentar