Assalamu'alaikum wr. wb. Redaktur NU Online, mohon petunjuk untuk kasus berikut. Saya wanita muslimah tinggal di Indonesia yang akan melangsungkan pernikahan dengan calon suami yang tinggal di Eropa. Sebenarnya kami sudah menetapkan tanggal pernikahan tahun ini, tetapi karena kasus wabah Corona yang sangat tinggi dan juga kesibukannya sebagai dokter tidak mungkin meninggalkan pekerjaannya dalam waktu lama. Akhirnya pernikahan kami tunda, dan belum tahu sampai kapan. Kami masih terus melihat perkembangan keadaan di masing-masing negara kami.
Namun, kemarin saya melihat pernikahan yang dilakukan melalui video call. Terus
terang saya belum begitu paham dengan pernikahan yang dilakukan melalui video
call. Mohon penjelasannya. Apakah juga bisa diterapkan pada kasus saya? Apakah
pernikahan seperti itu sah di hadapan hukum agama dan negara? Terima kasih.
Wassalamu'alaikum wr. wb.
(Fit/Yogyakarta).
Jawaban:
Penanya dan pembaca yang budiman, semoga Allah memberikan rahmat-Nya kepada kita semua. Dalam Islam, keabsahan akad nikah tergantung pada pemenuhan rukun dan syaratnya. Bila memenuhi maka sah; dan bila tidak memenuhi maka tidak sah. Lima rukun yang wajib terpenuhi adalah adanya calon suami, calon istri, shighat ijab qabul, wali istri, dan dua (2) saksi, di mana masing-masing yang harus terpenuhi syaratnya untuk mencapai keabsahan akad nikah. (Ibrahim al-Baijuri, Hâsyiyyatus Syaikh Ibrâhîm al-Baijuri ‘alâ Syarhil ‘Allâmah Ibnil Qâsim al-Ghazi, [Beirut, Dârul Kutubil ‘Ilmiyyah: 1420 H/1999 M], cetakan kedua, juz II, halaman 170).
Merujuk Keputusan Bahtsul Masail PWNU Jawa Timur di Kantor Diklat Departemen
Agama Surabaya pada 09-01 Jumada Tsani 1430 H/02-03 Juni 2009 M yang merumuskan
bahwa akad nikah secara online adalah tidak sah, maka termasuk pula akad nikah
via video call juga tidak sah. (Tim LBM PWNU Jawa Timur, NU Menjawab
Problematika Umat; Keputusan Bahtsul Masail PWNU Jawa Timur, [Surabaya: PW LBM
NU Jawa Timur, 2015], jilid 1, halaman 898-904).
Ketidakabsahan akad nikah via video call ini karena dua faktor. Faktor pertama,
rukun sighat ijab qabul pernikahan yang dilakukan secara video call tergolong
shigat kinayah (tidak jelas). Padahal akad nikah disyaratkan menggunakan shigat
yang sharih atau jelas. Dalam hal ini, pakar fiqih Syafi’i kontemporer al-Habib
Zain bin Smith (lahir 1357 H/1936 M) menegaskan:
اَلتِّلْفُوْنُ
كِنَايَةٌ فِي الْعُقُوْدِ كَالْبَيْعِ وَالسَّلَمِ وَالْإِجارَةِ، فَيَصِحُّ
ذَلِكَ بِوَاسِطَةِ التِّلْفُوْنِ،أَمَّا النِّكَاحُ فَلَا يَصِحُّ
بِالتِّلْفُوْنِ لِأَنَّهُ يُشْتَرَطُ فِيْهِ لَفْظٌ صَرِيْحٌ، وَالتِّلْفُوْنُ
كِنَايَة
Artinya, “Telpon menjadi shighat kinayah dalam beberapa akad, seperti akad jual
beli, akad salam dan akad sewa; maka akad-akad tersebut itu sah dilakukan
dengan perantara telpon. Adapun akad nikah maka tidak sah, karena dalam akad
nikah disyaratkan harus ada lafal yang jelas, sedangkan telpon itu kinayah
(mengandung makna dua/lafal yang tidak jelas).” (Zain bin Ibrahim bin Smith,
al-Fawaid al-Mukhtarah li Salik Thariq al-Akhirah, [ttp.: Ma’had Dar al-Lughah
wa ad-Da’wah, 1429 H/2008 M], ed: Ali bin Hasan Baharun, cetakan pertama
halaman 246).
Faktor kedua, tidak adanya kesatuan majelis secara offline yang memungkinkan
kedua orang saksi melihat dua (2) pelaku akad, yaitu suami dan wali calon istri
yang menikahkannya, serta mendengar shigat ijab qabul dari mereka secara
langsung. Sebagaimana dimaklumi, akad nikah disyaratkan harus persaksian secara
langsung oleh dua orang saksi.
Meskipun dalam fiqih kontemporer, akad mu’amalah melalui perantara alat
komunikasi modern seperti telegram, faksimile, atau internet dapat dinilai sah,
tetapi demikian tidak berlaku untuk akad nikah. Sebab, dalam akad nikah,
disyaratkan adanya kesaksian langsung dari dua (2) orang saksi. Karenanya,
keabsahan melakukan transaksi mu’amalah dengan alat-alat modern tersebut tidak
mencakup akad nikah. Hal ini sebagaimana dirumuskan dalam Keputusan Majelis
Majma’ al-Fiqh al-Islami nomor 6/3/45 tentang Pelaksanaan Akad dengan Perantara
Alat Komunikasi Modern yang ditetapkan dalam dalam Muktamar VI di Arab Saudi
pada 17-23 Sya’ban 1430 H/14-20 Maret 1990 M:
أَنَّ
الْقَوَاعِدَ السَّابِقَةَ لَا تَشْمَلُ النِّكَاحَ لِاشْتِرَاطِ الْإِشْهَادِ
فِيْهِ
Artinya, “Sungguh kaidah-kaidah yang telah dijelaskan (keabsahan akad mu’amalah
dengan perantara alat-alat modern) tidak mencakup akad nikah, karea di dalamnya
disyaratkan adanya persaksian.” (Keputusan Majelis Majma’ al-Fiqh al-Islami
nomor 6/3/45 tentang Pelaksanaan Akad dengan Perantara Alat Komunikasi Modern
dalam Wahbah az-Zuhaili, al-Fiqh al-Islami wa Adillatuh, [Damaskus: Dar
al-Fikr, tth], juz VII, halaman 157).
Rumusan hukum yang menetapkan ketidakabsahan akad nikah via video call
merupakan rumusan yang sangat berhati-hati seiring dengan prinsip fiqih:
‘Al-Abdha’ yuhtathu laha fauqa ghairiha” (Urusan kehalalan wanita bagi
laki-laki lain harus diperlakukan secara lebih hati-hati daripada urusan
lainnya.” (Abu Bakr ibn as-Sayyid Muhammad Syattha ad-Dimyathi, Hasyiyah I’anah
at-Thalibin ‘ala Hall Alfazh Fath al-Mu’in, [Bairut: Dar al-Fikr, tth.], juz
III, halaman 86).
Namun demikian secara hukum fiqih terdapat solusi untuk melangsungkan
pernikahan secara jarak jauh, yaitu melalui perwakilan atau akad wakalah baik
melalui perantara surat, utusan, telepon, jaringan internet, video call
maupun semisalnya. (Al-Baijuri, Hâsyiyyatus Syaikh Ibrâhîm al-Baijuri, juz I,
halaman 739).
Kemudian calon suami yang ada di luar negeri dapat membuat surat kuasa atau
menunjuk wakil orang yang dipercayainya untuk mewakilinya menerima akad nikah
dari wali calon istri. Hal demikian mengingat dalam wakalah tidak disyaratkan
adanya kesatuan majelis sebagaimana aturan yang sangat ketat dalam akad nikah.
Detail cara calon suami menunjuk wakilnya dan sighat wakil calon suami dalam
menerima akad nikah tersebut dapat dibaca dalam tulisan berjudul: Hukum Calon
Suami Mewakilkan Akad Nikah karena Positif Covid-19.
Ringkasnya, akad nikah via video call hukumnya tidak sah. Namun terdapat
solusi, yaitu calon suami menunjuk wakil untuk menerima akad nikahnya.
Demikian secara hukum fikih. Adapun berkaitan dengan hukum negara dan urusan
adminstrasi lainnya dapat dikonsultasikan ke KUA (Kantor Urusan Agama)
terdekat.
Semoga jawaban singkat ini dapat dipahami dengan baik. Kami selalu terbuka
untuk menerima saran dan kritik dari para pembaca. Wallâhul muwaffiq ilâ
aqwamith thâriq. Wassalamu ’alaikum wr. wb.
Ahmad Muntaha AM, Redaktur Keislaman NU Online dan Founder Aswaja Muda.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar