Pada masa pandemi Covid-19, kita melakukan melalui pembatasan sosial dengan menjauhi kerumunan, menjaga jarak fisik, penggunaan masker, cuci tangan menggunakan cairan pembersih tangan pada air mengalir, dan membatasi mobilitas serta interaksi. Semua upaya pencegahan itu juga dilakukan di rumah ibadah dan pada saat beribadah.
Pada saat shalat, kita tetap menjaga jarak shaf shalat dan mengenakan masker.
Tetapi sebagian orang mengampanyekan pelepasan masker pada saat shalat karena
dapat menghalangi atau menutupi hidung saat sujud.
Bagi sebagian orang, pemakaian masker saat sujud membuat shalat tidak sah.
Sujud yang tidak sah mengakibatkan shalat tidak sah karena sujud adalah salah
satu rukun shalat. Apakah benar demikian?
Sebelum membahas masalah ini, kami akan mengutip definisi sujud dari Kitab
Fathul Qarib, bahan ajar standar dalam mazhab syafi’i.
والتاسع
السجود مرتين في كل ركعة وأقله مباشرة بعض جبهة المصلي موضع سجوده من أرض أو غيرها
Artinya, “(Kesembilan sujud) dua kali pada setiap rakaat. Sujud itu minimal
meletakkan sebagian dahi orang yang shalat pada tempat sujud baik tanah maupun
alas sujud lainnya,” (Ibnu Qasim Al-Ghazzi, Fathul Qaribil Mujib).
Definisi itu jelas menyebut sujud sebagai peletakan dahi pada alas sujud. Dahi
merupakan salah satu dari tujuh anggota sujud, yaitu dahi, kedua tangan, kedua
lutut, dan kedua kaki. Memang sempurnanya sujud itu meletakkan atau
mengikutsertakan hidung dalam sujud sebagaimana keterangan berikut:
وأكمله
أن يكبر لهويه للسجود بلا رفع يديه ويضع ركبتيه ثم يديه ثم جبهته وأنفه
Artinya, “Sempurnanya (sujud) adalah bertakbir untuk turun sujud tanpa
mengangkat kedua tangan, meletakkan kedua lutut, kemudian kedua tangan, lalu
dahi dan hidung,” (Ibnu Qasim Al-Ghazzi, Fathul Qaribil Mujib).
Keterangan Kitab Fathul Qarib di atas menyebutkan tata cara sempurna (kaifiyah)
sujud yang menyertakan hidung. Pertanyaan yang harus dijawab kemudian adalah
apakah hidung menjadi bagian dari anggota sujud?
Ibrahim Al-Baijuri menyatakan secara jelas bahwa hidung bukan bagian dari 7
anggota sujud. Peletakan hidung pada saat sujud bersifat sunnah, bukan rukun
sebagaimana dahi.
قوله
(ثم جبهته وأنفه) معا كما أشار بتعبيره بالواو فوضع الأنف سنة مع الجبهة ولا يكفي
وضعه وحده لأن المعتبر هو الجبهة
Artinya, “Kata ‘(meletakkan) dahi dan hidung’ berbarengan sebagaimana
redaksinya yang menggunakan konjungsi wawu. Peletakan hidung berbarengan
dengan dahi saat sujud adalah sunnah sehingga tidak cukup (sah) menempelkan
hidung saja (tanpa dahi) karena patokan sujud adalah dahi (bukan hidung),”
(Syekh Ibrahim Al-Baijuri, Hasyiyatul Baijuri ala Syarhi Ibni Qasim Al-Ghazzi,
[Beirut, Darul Kutub Al-Ilmiyyah: 1999 M/1420 H], juz I, halaman 296-297).
Dari sini kemudian kita dapat menarik simpulan bahwa kita tetap mengikuti
prokes dengan memakai masker pada saat shalat tanpa takut shalatnya tidak sah
karena hidung bukan bagian dari anggota sujud.
Pemakaian masker yang menutupi hidung saat sujud tidak berpengaruh pada
keabsahan shalat karena peletakkan hidung saat sujud tidak bersifat wajib
(rukun sujud). Sedangkan pemakaian masker sebagai bentuk pencegahan penyebaran
Covid-19 bersifat wajib.
Sebagaimana kita tahu, pemerintah melakukan berbagai upaya pencegahan Covid-19,
yaitu penerapan prokes, 5M Covid-19 (memakai masker, mencuci tangan pakai sabun
dan air mengalir, menjaga jarak, menjauhi kerumunan, serta membatasi mobilisasi
dan interaksi), pembatasan sosial berskala besar (PSBB), lockdown, pemberlakuan
pembatasan kegiatan masyarakat (PPKM), dan upaya lainnya.
Semua upaya itu dilakukan dalam rangka memberikan jaminan atas keselamatan jiwa
atau upaya penyelamatan jiwa yang tercakup dalam konsep hifzhun nufus atau
hifzhun nafs. Wallahu a’lam. []
Sumber: NU Online
Tidak ada komentar:
Posting Komentar