Tren childfree atau kesepakatan pasangan suami istri untuk tidak punya anak setelah menikah terus diperbincangkan. Ada yang setuju dan ada yang tidak. Yang setuju bilang karena itu hak setiap pasangan dengan beragam argumentasi yang diajukan; demikian pula yang tidak setuju mempunyai alasan tersendiri. Lalu bagaimana hukum asal childfree itu sendiri?
Hemat penulis, dalam kajian fiqih childfree secara riil dapat digambarkan
dengan kesepakatan menolak kelahiran atau wujudnya anak, baik sebelum anak
potensial wujud ataupun setelahnya. Sebab itu, pertanyaan hukum asal childfree
dapat dijawab dengan menelusuri hukum menolak wujudnya anak sebelum berpotensi
wujud, yaitu sebelum sperma berada di rahim wanita. Apakah haram atau makruh,
atau boleh? Sebab dari sinilah hukum asal itu ditemukan.
Dalam kajian fiqih ada beberapa padanan kasus, yaitu menolak wujudnya anak
sebelum sperma berada di rahim wanita, baik dengan cara (1) tidak menikah sama
sekali; (2) dengan cara menahan diri tidak bersetubuh setelah pernikahan; (3)
dengan cara tidak inzâl atau tidak menumpahkan sperma di dalam rahim setelah
memasukkan penis ke vagina; atau (4) dengan cara ‘azl atau menumpahkan sperma
di luar vagina. Semuanya secara substansial sama dengan pilihan childfree dari
sisi sama-sama menolak wujudnya anak sebelum berpotensi wujud.
Berkaitan hal ini Imam al-Ghazali menjelaskan hukum ‘azl adalah boleh, tidak
sampai makruh apalagi haram, sama dengan tiga kasus pertama yang sama-sama
sekadar tarkul afdhal atau sekadar meninggalkan keutamaan. Imam Al-Ghazali
menjelaskan:
وَإِنَّمَا
قُلْنَا لَا كَرَاهَةَ بِمَعْنَى التَّحْرِيمِ وَالتَّنْزِيهِ، لِأَنَّ إِثْبَاتَ
النَّهْيِ إِنَّمَا يُمْكِنُ بِنَصٍّ أَوْ قِيَاسٍ عَلَى مَنْصُوصٍ، وَلَا نَصَّ
وَلَا أَصْلَ يُقَاسُ عَلَيْهِ. بَلْ هَهُنَا أَصْلٌ يُقَاسُ عَلَيْهِ، وَهُوَ
تَرْكُ النِّكَاحِ أَصْلًا أَوْ تَرْكُ الْجِمَاعِ بَعْدَ النِّكَاحِ أَوْ تَرْكُ
الْإِنْزَالِ بَعْدَ الْإِيلَاجِ، فَكُلُّ ذَلِكَ تَرْكٌ لِلْأَفْضَلِ وَلَيْسَ
بِارْتِكَابِ نَهْيٍ. وَلَا فَرْقَ إِذِ الْوَلَدُ يَتَكَوَّنُ بِوُقُوعِ
النُّطْفَةِ فِي الرَّحْمِ
Artinnya, “Saya berpendapat bahwa ‘azl hukumnya tidak makruh dengan makna
makruh tahrîm atau makrûh tanzîh, sebab untuk menetapkan larangan terhadap
sesuatu hanya dapat dilakukan dengan dasar nash atau qiyâs pada nash, padahal
tidak ada nash maupun asal atau sumber qiyâs yang dapat dijadikan dalil
memakruhkan ‘azl. Justru yang ada adalah asal qiyâs yang membolehkannya, yaitu
tidak menikah sama sekali, tidak bersetubuh setelah pernikahan, atau tidak
inzâl atau menumpahkan sperma setelah memasukkan penis ke vagina. Sebab
semuanya hanya merupakan tindakan meninggalkan keutamaan, bukan tindakan
melakukan larangan. Semuanya tidak ada bedanya karena anak baru akan berpotensi
wujud dengan bertempatnya sperma di rahim perempuan. (Abu Hamid Al-Ghazali,
Ihyâ’ ‘Ulûmiddîn, [Beirut, Dârul Ma’rifah], juz II, halaman 51).
Nah, bila childfree yang dimaksud adalah menolak wujudnya anak sebelum
potensial wujud, yaitu sebelum sperma berada di rahim wanita, maka hukumnya
adalah boleh.
Lalu bagaimana dengan hadits-hadits Nabi saw yang menganjurkan orang untuk
menikah dan mempunyai anak? Bukankah Nabi saw berulang kali menganjurkannya,
seperti dalam dua hadits berikut:
إِنَّ
الرَّجُلَ لَيُجَامِعُ أَهْلَهُ فَيُكْتَبُ لَهُ بِجِمَاعِهِ أَجْرُ وَلَدٍ ذَكَرٍ
قَاتَلَ فِي سَبِيلِ اللهِ فَقُتِلَ قال العراقي: لم أجد له أصلا، ولكن قال
الزبيدي: بل له أصل من حديث أبي ذر أخرجه ابن حبان في صحيحه
Artinya, “'Sungguh seorang lelaki niscaya menyetubuhi istrinya kemudian sebab
persetubuhan itu pahala anak laki-laki yang berjihad fi sabilillah kemudian
mati syahid.' (Al-‘Iraqi berkata: 'Aku tidak menemukan asalnya', namun Murtadla
az-Zabidi berkata: 'Ada asalnya, yaitu dari hadits riwayat Abu Dzar ra yang
ditakhrij oleh Ibnu Hibban dalam kitab shahihnya'). (Muhammad bin Muhammad
al-Husaini az-Zabidi, Ithâfus Sâdatil Muttaqîn bi Syarhi Ihyâ-i’ ‘Ulûmiddîn,
[Beirut, Muassasatut Târîhil ‘Arabi, 1414 H/1994 M], juz V, halaman 379-380).
مَنْ
تَرَكَ النِّكَاحِ مَخَافَةَ الْعِيَالِ فَلَيْسَ مِنَّا ثَلَاثًا رواه أبو منصور
الديلمي في مسند الفردوس من حديث أبي سعيد بسند ضعيف
Artinya, “Siapa saja yang meninggalkan nikah karena khawatir kesulitan mengurus
anak istri maka tidak termasuk dariku. Nabi saw mengatakannya tiga kali.” (HR
Abu Manshur ad-Dailami dalam Musnadul Firdaus dari hadits Abu Sa’id dengan
sanad dha’îf). (Abul Fadhl al-‘Iraqi, al-Mughni ‘an Hamlil Asfâr, [Riyadl,
Maktabah Thabariyyah: 1415 H/1995 M], tahqiq: Asyraf Abdil Maqshud, juz I,
halaman 369 dan 403).
Berkaitan hadits pertama Imam Al-Ghazali menjawab, Nabi saw berkata demikian
karena andaikan lelaki tersebut mendapatkan anak seperti itu, maka ia
mendapatkan pahala tasabbub atau telah menjadi sebab wujudnya anak tersebut.
Sementara yang menciptakan, menghidupkan, dan menguatkan anak itu dalam
berjihad adalah Allah. Adapun lelaki itu telah melakukan sebab wujudnya anak
tersebut dengan menyetubuhi istrinya, yaitu ketika ia membiarkan spermanya
masuk ke dalam rahim istri. Menurut Al-Ghazali, hadits ini hanya bersifat
anjuran, dan bila ada orang memilih tidak melakukannya atau memilih tidak punya
anak maka boleh atau sekadar tarkul afdhal (meninggalkan keutamaan).
(Al-Ghazali, II/51).
Demikian pula terkait hadits kedua, Imam Al-Ghazali menegaskan bahwa hukum ‘azl
atau menumpahkan sperma di luar vagina hukumnya boleh seperti hukum memilih
tidak menikah sama sekali. Adapun sabda Nabi saw: “Maka tidak termasuk dariku”,
maksudnya adalah tidak sesuai dengan sunnah dan jejak langkahnya, yaitu
melakukan pilihan amal yang lebih utama. (Al-Ghazali, II/52).
Keteguhan Al-Ghazali dalam memegang pendapatnya yang menyatakan menolak anak
sebelum potensial wujud atau sebelum sperma berada dalam rahim perempuan adalah
boleh, mendapat dukungan Az-Zabidi. Secara tegas Az-Zabidi menyatakan:
إِذْ
لَا يَجِبُ عَلَيْهِ النِّكَاحُ إِلَّا عِنْدَ وُجُودِ شُرُوطِهِ. فَإِذَا
تَزَوَّجَ لَا يَجِبُ عَلَيْهِ إِلَّا الْمَبِيتُ وَالنَّفَقَةُ. فَإِذَا جَامَعَ
لَا يَجِبُ عَلَيهِ أَنْ يُنْزِلَ. فَتَرْكُ كُلِّ ذَلِكَ إِنَّمَا هُوَ تَرْكٌ
لِلْفَضِيلَةِ
Artinya, “Karena sebenarnya seorang lelaki tidak wajib menikah kecuali saat
terpenuhi syarat-syaratnya. Sebab itu, bila menikah maka ia tidak wajib
melakukan apapun kecuali menginap di suatu tempat bersama istri dan
menafkahinya. Bila ia menyetubuhinya, maka tidak wajib baginya untuk inzâl atau
memasukan sperma ke rahim istri. Karena itu, meninggalkan semua hal tersebut
hanyalah meninggalkan keutamaan, tidak sampai makruh apalagi haram.”
(Az-Zabidi, V/380).
Walhasil, dengan merujuk pendapat Imam al-Ghazali, demikian pula pendapat
Az-Zabidi, yang membolehkan penolakan wujud anak sebelum potensial wujud, yaitu
sebelum sperma berada di rahim perempuan, maka hemat penulis, hukum asal
childfree adalah boleh.
Namun demikian kebolehan ini dapat berubah sesuai berbagai faktor yang
mempengaruhinya. Seperti childfree yang dalam praktik riilnya dilakukan dengan
menghilangkan sistem reproduksi secara total, maka hukumnya haram, sebagaimana dijelaskan
dalam tulisan berjudul: Hukum Memutus Fungsi Reproduksi melalui Childfree.
Wallâhu a’lam. []
Ahmad Muntaha AM-Redaktur Keislaman NU Online dan Founder Aswaja Muda.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar