Dalam kitab al-Bashâ’ir wa al-Dzakhâ’ir, Imam Abu Hayyan al-Tauhidi mencatat sebuah doa yang diucapkan oleh Imam Ibnu Sammak. Berikut riwayatnya:
ابن
السّمّاك: اللهمَّ إِنَّا نُحِبُّ طَاعَتَكَ وَإِنْ قَصَّرْنَا عَنْهَا،
وَنَكْرَهُ مَعْصِيتَكَ وَإِنْ رَكَبْنَاها، اللهمَّ فَتَفَضَّلْ عَلَيْنَا
بِالْجَنَةِ وَإِنْ لَمْ نَكُنْ لَهَا أَهْلًا، وَخَلِّصْنَا مِن النَّارِ وَإِنْ
كُنَّا اسْتَوْجَبَنَاهَا، اللهمَّ إِنّا نَخَافُ أَنْ يَضْطَرْنَا الْمَعَاشُ
إِلى ما نَكْرَهُ مِنَ الْأَعْمَالِ فَسَلِّمْنَا مِنْ فِتْنَتِهِ وَعَوَارِضِ
بَلَائِهِ
(Imam) Ibnu Sammak (berdoa): “Ya Allah, sesungguhnya kami senang menaati-Mu,
meskipun kami tidak (terlalu) berhasil melakukannya; kami pun benci bermaksiat
kepada-Mu, meskipun kami (sering) melakukannya. Ya Allah, karena itu,
persilakanlah kami memasuki surga(-Mu), meskipun kami (tidak pantas) menjadi
penghuninya; dan selamatkanlah kami dari (siksa) neraka, meskipun kami berhak
(mendapatkan)nya. Ya Allah, sesungguhnya kami takut penghidupan (atau mata
pencaharian) akan mendorong kami pada hal-hal yang kami benci melakukan(nya),
maka selamatkanlah kami dari tipu daya dan hadangan kemalangannya. (Imam Abu
Hayyan al-Tauhidi, al-Bashâ’ir wa al-Dzakhâ’ir, Beirut: Dar Shadir, 1988, juz
3, h. 70)
****
Doa adalah ruang ekspresi yang sering disalah-pahami. Banyak orang marah,
kecewa, dan berputus asa ketika doanya tidak terpenuhi. Padahal, terkabul atau
tidak, terpenuhi atau tidak, mungkin hanyalah sebatas persepsi (anggapan).
Karena pengabulan doa tidak selalu “sim salabim” langsung terwujud di depan
mata. Sebuah doa harus dipandang secara menyeluruh, karena banyak hal yang
terkait dengan itu. Misalnya, manusia seringkali merasa doanya tidak terpenuhi,
meskipun, bisa jadi kenikmatan atau anugerah yang kita dapatkan di kemudian
hari adalah hasil dari doa kita yang terdahulu.
Kekecewaan manusia membuatnya lupa akan doa-doanya sendiri, sehingga kemampuannya
untuk bersabar dan bersyukur menjadi berkurang. Maka, pantas saja jika kita
sering lalai akan segala nikmat yang kita terima, dan sering ingat akan segala
musibah yang menimpa kita. Tanpa memandangnya secara menyeluruh, kemampuan kita
dalam bersabar dan bersyukur akan berkurang, atau bahkan terpinggirkan.
Terlepas dari itu semua, kita tidak akan berbicara tentang pengabulan doa
secara lebih jauh. Kita akan lanjutkan dengan membicarakan doa sebagai ekspresi
penghambaan. Dalam doa di atas, Imam Ibnu Sammak mengakui dan menerima
kemanusiaannya. Ia tidak sekedar “meminta” dan “meminta” tanpa kemawasan diri.
Bisa dikatakan, ia cukup tahu diri untuk melebih-lebihkan permintaannya; ia
cukup tahu diri untuk sekedar meminta tanpa mengakui kelemahannya.
Karena itu, ia menguraikan doanya sebagaimana yang ia rasakan. Sebagai seorang
Muslim, ia cinta dan mengharapkan dirinya untuk selalu taat kepada Allah, tapi
kenyataanya, sebagai manusia biasa, ia tidak bisa menjaga ketaatannya secara
terus-menerus. Ia masih sering tergoda, terayu dan terpuji, meski di waktu yang
sama ia beramal, beribadah, dan menghamba. Semua itu akan terus terjadi
sepanjang manusia hidup, dan Imam Ibnu Sammak tahu betul akan hal itu.
Sebelum mengurai lebih jauh, kita perlu mengenal siapa Imam Ibnu Sammak. Nama
lengkapnya adalah Abu ‘Amr ‘Utsman bin Ahmad al-Baghdadi al-Daqaq (w. 344 H).
Ia dikenal sebagai musnid al-‘irâq (ahli sanad hadits Irak), seorang ulama
besar yang diakui ke-tsiqqah-annya oleh banyak ulama.
Ditarik dari latang belakang keilmuannya, kita bisa dapati dua hal yang menarik
tentang doa di atas. Pertama, dari sudut pandang “meskipun begitu”, dan kedua,
dari sudut pandang “karena itu.” Maksudnya adalah, yang pertama, meskipun ia
merupakan seorang ulama besar yang diakui keilmuan dan kepribadiannya, ia tidak
bersombong diri dan tidak segan mengakui kesalahan dan kekurangannya dalam
menaati Allah. Ia mengakui secara terbuka, jika tidak, mungkin tidak akan ada
riwayat ini, bahwa ia masih bermaksiat, dan tidak terlalu berhasil dalam
menaati-Nya.
Yang kedua, karena pemahaman dan pengetahuan agamanya yang mendalam, ia bisa
meraba dirinya, dan menjadi teman baik untuk dirinya sendiri, sehingga ia bisa
mengingatkan dirinya ketika berbuat salah. Kebanyakan manusia, tidak mengenali
dirinya sendiri. Banyak di antara kita, tidak merasa sombong ketika kita
sebenarnya sedang menyombongkan diri; tidak merasa tamak ketika kita sebenarnya
sedang enggan berbagi. Kita hanya menganggap itu sebagai hal biasa, padahal
keduanya adalah bentuk ketidaktaatan dan maksiat kepada Allah.
Namun, karena kita tidak bisa menjadi “teman baik” untuk diri kita sendiri,
kita kehilangan pemberi peringatan dan penasihat. Dalam sebuah hadits Qudsi, Allah
berfirman kepada Nabi Isa ‘alaihissalam:
أَوْحَى
اللَّهُ إِلَى عِيسَى عَلَيْهِ السَّلَامُ أَنْ يَا عِيسَى عِظْ نَفْسَكَ، فَإِنِ
اتَّعَظْتَ فَعِظِ النَّاسَ، وَإِلَّا فَاسْتَحِ مِنِّي
“Allah mewahyukan kepada Isa ‘alaihissalam. (Firman-Nya): “Wahai Isa,
nasihatilah dirimu sendiri (sebelum menasihati orang lain). Jika kau sudah
menasihati dirimu (sendiri), maka nasihatilah manusia (lainnya), (jika kau
belum melakukannya), maka malulah kepada-Ku.” (Imam Ahmad bin Hanbal, al-Zuhd,
Kairo: Dar al-Rayyan li al-Turats, 1992, h. 71)
Menasihati diri sendiri menjadi mungkin dilakukan jika orang itu memahami
kesalahan dirinya. Untuk memahami kesalahan diri, dia harus mengenali dirinya,
dan untuk menjadi penasihat yang baik, dia harus memiliki ilmu yang cukup.
Karena itu, ada riwayat yang mengatakan, “man ‘arafa nafsah faqad ‘arafa
rabbahu” (barang siapa yang mengenal dirinya, maka sunggung ia mengenal
Tuhannya).
Doa di atas juga menunjukkan prasangka baik Imam Ibnu Sammak kepada Allah,
bahwa kasih sayang-Nya jauh lebih besar dari murka-Nya. Prasangka baik itu
tidak muncul tiba-tiba, tapi karena pengetahuannya bahwa Allah pasti tahu isi
hatinya yang sangat berkeinginan untuk selalu taat kepada-Nya, tapi sebagai
manusia, ia tidak cukup mampu untuk menjaga dan menerapkan keinginannya
tersebut. Karena itu, di akhir doanya, ia menjelaskan ketakutannya akan proses
mencari penghidupan yang akan membawanya melakukan hal-hal yang tidak
disukainya, dan memohon Allah untuk menyelamatkannya dari itu semua.
Jika dilihat dari kacamata hubungan sosial, doa tersebut mengajarkan kita untuk
mengenali kesalahan diri sendiri sebelum mengenali kesalahan dan kekurangan
orang lain. Sebab, bagi orang yang tidak berani, atau cukup tahu diri untuk
merasa dirinya “paling benar” seperti Imam Ibnu Sammak, ia tidak akan sibuk
menilai dan menyalahkan orang lain. Ia akan bergaul dengan rasa malu, dan
mendidik dengan kerendahan hati. Ia akan menghindari pertentangan yang
melibatkan kedudukan iman dan ketakwaan seseorang.
Oleh karena itu, sebagai manusia, kita harus paham betul, jangankan menilai
orang lain, menilai diri sendiri saja kita sering salah. Lalu apa yang membuat
kita begitu senang menilai? Bukankah kita diharuskan menasihati diri kita
terlebih dahulu sebelum menasihati orang lain? Atau jangan-jangan kita telah
menjadi juru nilai yang lupa untuk menilai diri sendiri? Jika demikian,
sebaiknya kita baca doa di atas saja.
Wallahu a’lam bish-shawwab. []
Muhammad Afiq Zahara, alumni PP. Darussa’adah, Bulus, Kritig, Petanahan,
Kebumen
Tidak ada komentar:
Posting Komentar