Imam Nawawi (w. 676 H) mengatakan dalam karyanya Al-Tibyan fi Adab Hamalat Al-Qur’an bahwa seorang qari’ diperbolehkan membaca Al-Qur’an dengan menggunakan qira’at sab’ah (tujuh ragam bacaan Al-Qur’an) yang telah disepakati oleh para ulama dan tidak diperkenankan menggunakan selain qira’at sab’ah atau riwayat syadz yang dinukil dari para qurra’ sab’ah (tujuh).
وتجوز
قراءة القرآن بالقراءات السبع المجمع عليها ولا يجوز بغير السبع ولا بالروايات
الشاذة المنقولة عن القراء السبعة
Artinya: “Diperbolehkan membaca Al-Qur’an dengan qira’at sab’ah yang disepakati
oleh para ulama, dan tidak boleh membaca Al-Qur’an selain qira’at sab’ah, juga
riwayat syadz (aneh, langkah) yang dinukil dari para imam tujuh”.
(Imam Nawawi, al-Tibyan fi Adab Hamalat Al-Qur’an: 75).
Ketujuh imam tersebut adalah: pertama, Imam Nafi’ bin Abdurrahman (w. 169 H).
Kedua, Imam Abdullah bin Katsir (w. 120 H). Ketiga, Imam Abu Amr, Zabban bin
Al-Ala’ Al-Bashri (w. 154 H). Keempat, Imam Abdullah Ibnu Amir Al-Syami (w. 118
H). Kelima, Imam Ashim bin Abi Al-Najud Al-Kufiy (w. 128 H). Keenam, Imam
Hamzah bin Al-Zayyat (w. 156 H). Ketujuh, Imam Ali bin Hamzah Al-Kisa’i (w. 189
H).
Dalam ungkapannya ini, Imam Nawawi secara tegas menyatakan bahwa selain qira’at
sab’ah (tujuh) tidak boleh untuk digunakan. Sementara itu, dunia Islam dan
orang-orang yang bergelut dalam bidang qira’at mengenal bahwa terdapat sepuluh
qira’at (qira'at asyrah) yang sah. Selain ke tujuh imam yang telah
tersebut di atas, terdapat tiga imam yang juga dinyatakan sah bacaannya dan
boleh dibaca baik dalam shalat maupun di luar shalat. Ketiga ulama tersebut
adalah: kedelapan, Imam Abu Ja’far bin Yazid al-Qa’qa’ al-Madani (w. 128 H).
Kesembilan, Imam Ya’qub bin Ishaq al-Hadhrami al-Bashri (w. 205 H), dan
Kesepuluh, Imam Khalaf bin al-Bazzar al-Asyir (w. 229 H).
Terkait hal ini, muncul sebuah pertanyaan, apakah Imam Nawawi mengingkari keberadaan qira’at selain yang tujuh?
Pada mulanya, penulisan qira’at Al-Qur’an dilakukan oleh para ulama dengan
maksud menghimpun dan mengakomodasi setiap qira’at tanpa melihat kualitas
sumber periwayatannya. Bisa jadi dalam riwayat-riwayat yang dihimpun terdapat
riwayat yang tidak termasuk kategori mutawatir.
Oleh sebab itu, pada generasi selanjutnya ditelitilah riwayat-riwayat yang ada
oleh Imam ibnu Mujahid, Ahmad bin Musa bin al-Abbas al-Baghdadi (w. 324 H)
untuk diseleksi dalam rangka menghimpun qira’at yang mutawatir. Dari sinilah
muncul tujuh qira’at yang mutawatir sekaligus mempresentasikan setiap negeri
Islam yang kala itu: Madinah, Makkah, Bashrah, Syam dan Kufah. Setiap negeri
Islam terwakili oleh satu imam qira’at kecuali Kufah yang diwakili tiga imam
qira’at.
Penelitian yang dilakukan Imam ibnu Mujahid ini mendapatkan respon yang positif
dari para ulama pada masanya maupun setelahnya. Sehingga banyak para ulama yang
menggunakan hasil penelitian ini, salah satunya adalah Abu Amr al-Dani (w. 444
H). Beliau menulis sebuah karya yang sangat terkenal dalam bidang qira’at
sab’ah yaitu: Al-Taisir fi al-Qira’at al-Sab’i. Karya ini kemudian direspons
oleh generasi setelahnya, yaitu Imam Syatibi (w. 591 H).
Al-Syatibi menulis karya yang terinspirasi dari karya al-Dani yaitu Hirz al-Amani
wa Wajh al-Tahani fi al-Qira’at al-Sab’i. Karya ini berbentuk qashidah/ syair
yang berakhiran La.
Di tangan al-Syatibi inilah qira’at sab’ah mendapatkan puncak kemasyhuran dan
sambutan positif dari para ulama pada masa itu dan setelahnya. Tidak kurang
dari 50 kitab yang memberi komentar atau syarah terkait karya ini. Dipelajari
di kampus, madrasah, ribath dan kuttab-kuttab pengajian hingga sampai saat ini.
Maka tak ayal, bila kemudian masyarakat muslim hanya mengenal qira’at sab’ah.
Lantas kapan qira’at asyrah dikenal?
Perkembangan ilmu qira’at terus melaju pesat seiring perkembangan intelektual
dan para peneliti di bidang ilmu qira’at. Pada abad ke sembilan, muncul Ibnu
al-Jazari (w. 833 H) memperkaya khazanah ilmu qira’at dengan menambahkan tiga imam
yang menurut hasil penelitiannya dianggap sahih dan mutawatir. Pemaparanya
terangkum dalam karyanya yang bernama al-Durrah al-Mudhi’ah fi al-Qira’at
al-Mutammimah li al-Asyrah.
Jika dilihat dari segi sestematika pembahasan dan ulasannya, kitab ini hampir
mirip dengan karya al-Syatibi, bisa dibilang terinspirasi dari karya
al-Syatibi. Dalam karyanyan ini, Ibnu al-Jazari hanya menyertakan 20 perawi dan
21 thariq. Jalur periwayatan seperti ini dikenal dengan “qira’at sughra”. Dari
sini bisa dikatakan bahwa qira’at Asyrah (10) mulai dikenal pada masa Imam
al-Jazari melalui penelitiannya.
Selain itu, Ibnu al-Jazari terus mengembangkan penelitiannya dalam bidang
qira’at Al-Qur’an. Dengan kepiawaiannya, beliau mampu mentahqiq bacaan yang
terdapat sekitar 40 kitab rujukan qira’at Al-Qur’an. Hasil dari penelitiannya
ini, Ibnu al-Jazari merumuskan bahwa jumlah thariq yang shahih sekitar 80
thariq. Dari jumlah 80 thariq tersebut masih memiliki akar thariq yang
berjumlah sekitar 980 thariq. Karya ini bernama “al-Nasyr fi al-Qira’at
al-Asyr”. Kemudian karya ini dirangkum dalam sebuah nadzam/syair berjumlah 1015
bait yang diberi nama "Thayyibat al-Nasyar”. Jalur periwayatan ini
kemudian dikenal dengan sebutan “qira’at kubra”.
Setelah menilik sejarah perkembangan ilmu qira’at ini, dapat diketahui secara
detail bahwa sebenarnya Imam Nawawi bukan mengingkari keberadaan qira’at selain
qira’at sab’ah. Namun karena pada masa Imam Nawawi, tiga qira’at yang terakhir
belum dikenal. Masa Imam Nawawi dengan al-Jazari terpaut dua abad. Andai saja,
Imam Nawawi mengetahui hasil penelitian al-Jazari tentu beliau akan menggunakan
redaksi bahwa tidak boleh seorang qari membaca Al-Qur’an selain qira’at asyrah
(sepuluh ragam bacaan Al-Qur'an). []
Moh. Fathurrozi, Pecinta Ilmu Qira’at, Kaprodi Ilmu Al-Qur'an dan Tafsir IAI Al
Khoziny Buduran Sidoarjo
Tidak ada komentar:
Posting Komentar