Dalam amaliah dzikir berjamaah, sang imam seringkali memandu jamaah sebelum dzikir Lâ ilâha illâllâh (Tiada Tuhan selain Allah) dengan kalimat afdlaludz dzikri fa‘lam annahû (أفضل الذكر فاعلم أنه). Perlukah menambah atau memulai kalimat ini?
Pertanyaan, sekaligus pernyataan ini, pernah saya dengar dari 3 orang berbeda di Desa Wedi Kecamatan Gedangan Sidoarjo. Salah seorang di antaranya memberikan sumber dari ulasan terjemah Jawi (penjelasan) Ustadz Misbah bin Zain al-Mustafa Bangilan dalam kitab al-Jami‘ush Shaghir karya Jalaluddin as-Suyuthi.
Dalam kitab tersebut (juz 03, hal. 665), Ustadz Misbah menjelaskan, “Wong kang dzikir kanti diwiwiti ‘afdlaludz dzikri fa‘lam annahû lâ ilâha illâllâh” kang mengkene iki salah. Ora keno dii‘robi. Kang bener iku ‘afdlaludz dzikri lâ ilâha illa Allah’ (orang yang berdzikir dengan awalan ‘afdlaludz dzikri fa‘lam annahû lâ ilâha illâllâh’ itu salah. Tidak bisa dii‘rabi. Yang benar itu ‘afdlaludz dzikri lâ ilâha illa Allah’).”
Jika kita amati, letak kritik dari Ustadz Misbah adalah dari sisi i’râb (keteraturan susunan bahasa) saat memulai dzikir dengan afdlaludz dzikri fa‘lam annahû. Sebagaimana kita pahami, i‘rab merupakan bagian struktur penting dalam ilmu Nahwu (gramatikal Arab). Kritik Ustadz Misbah mengarah pada diksi “fa’lam annahû” yang mengacaukan struktur bangunan i’rab-nya.
Lafal afdlaludz dzikri Lâ ilâha illâllâh, jika kita urai i’rabnya, maka Afḍalu al-dzikr Lâ ilâha illâllâh menjadi Mubtadâ’ (isim yang menjadi awal kalimat) berupa susunan idâfah, dan “Lâ ilâha illâllâh” berstatus sebagai Khabar (isim yang melengkapi makna Mubtadâ’). I’rab jelas tanpa ada sisipan yang memisah.
Pola langsung seperti ini, yakni tanpa sisipan fa‘lam annahû, sebenarnya juga digunakan dalam beberapa hadits, di antaranya dalam Sunan al-Turmudzī No.3383, Sunan Ibn Mâjah No.3800, Sunan al-Nasâ’ī No.10599, Ṣaḥīh Ibn Ḥibbân No.846 dan beberapa kitab hadits lain.
Artinya, apa yang dikatakan Ustadz Misbah, selain memiliki argumen keteraturan struktur bangunan i’rab, juga landasan normatif dari hadits. Hal ini bisa dipahami karena sisipan “fa’lam annahû” justru sedikit mengacaukan bangunan keteraturan Mubtada dan Khabar. Lafal “fa’lam annahû” ditengarahi “merebut” status Khabar dari Lâ ilâha illâllâh, yang mestinya menjadi khabar dari afdlaludz dzikri.
Kalau kita urai, diksi “Afdlaludz dzikri fa‘lam annahû Lâ ilâha illâllâh”, maka afdlaludz dzikri menjadi Mubtada’, fa‘lam menjadi Khabar (berbentuk fiil amar yang menyimpan dhamir mustatir wujûb berupa anta), annahû menjadi Maf‘ûl dari fa‘lam, kemudian Lâ ilâha illâllâh menjadi Khabar dari annahû. Begitu perkiraan amatan uraian i’rabnya.
Jadi, jika kita uraikan sisi gramatikalnya (Nahwu), pengi’raban dengan sisipan fa’lam annahû tidak sesederhana yang tanpa sisipan. Tapi setelah ditelaah, pengi’raban dengan pola seperti itu, yakni dengan sisipan, menurut kami tidak sepenuhnya salah. Hal itu rumit memang benar, tapi belum tentu sesuatu yang rumit itu salah.
Bahkan, diksi fa’lam annahû sebelum Lâ ilâha illâllâh, termaktub juga dalam Al-Qur’an Surat Muhammad ayat 19:
فَٱعۡلَمۡ أَنَّهُۥ لَآ إِلَٰهَ إِلَّا ٱللَّهُ وَٱسۡتَغۡفِرۡ لِذَنۢبِكَ وَلِلۡمُؤۡمِنِينَ وَٱلۡمُؤۡمِنَٰتِۗ وَٱللَّهُ يَعۡلَمُ مُتَقَلَّبَكُمۡ وَمَثۡوَىٰكُمۡ
Artinya, “Maka ketahuilah bahwa Tidak ada Tuhan (yang patut disembah) kecuali Allah, dan mohonkan ampun atas dosamu, dan atas dosa orang-orang mukmin laki-laki dan perempuan. Allah mengetahui tempat usaha dan tempat tinggalmu.”
Jadi dzikir Lâ ilâha illâllâh, baik dengan sisipan fa’lam annahû atau tidak, sebenarnya memiliki landasan gramatikal dan normatif. Keduanya bisa dibenarkan. Bahkan, menurut amatan kami, sisipan fa’lam annahû memiliki 2 keutamaan lain.
Pertama, dzikir itu harus diiringi dengan pemahaman dan pengetahuan (al-‘ilm). Dalam beberapa ceramah, para kiai kita juga seringkali mengingatkan jamaah untuk menjiwai “Lâ ilâha illâllâh”. Penjiawaan itu tentu hadir jika kita “ngelmuni” apa yang terucap oleh lisan. Sehingga yang keluar dari mulut bukan semata repitisi lafal, tetapi disertai dengan pemahaman dan ilmu.
Selain itu, saat menafsiri Surat Muhammad:19, Imam Jalaluddin as-Suyuthi dalam Tafsir al-Jalalain berkata: ”dum yâ muḫammad ‘alâ ‘ilmika bi dzâlik an-nâfi‘ fi al-Qiyâmah (Terus-meneruslah engkau wahai Muhammad, pengetahuanmu atas hal itu (kalimat Lâ ilâha illâllâh) itu bermanfaat kelak di Hari Kiamat.
Kedua, pengetahuan atas Lâ ilâha illâllâh menghantarkan seseorang ke surga. Dalam hadits riwatat Muslim, dari Sahabat Usman bin Affan. Rasulullah bersabda:
مَنْ مَاتَ وَهُوَ يَعْلَمُ أَنَّهُ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ دَخَلَ الْجَنَّةَ
Artinya, “Barang siapa yang meninggal, sementara dia mengetahui/memahami Lâ ilâha illâllâh (bahwa, Tidak ada tuhan selain Allah), maka dia akan masuk surga.”
Hadits tersebut selain diriwayatkan oleh Muslim nomor 145, juga terdapat dalam kompilasi hadits Musnad Ahmad bin Hanbal No.464, Sahih ibn Hibban nomor 201, Sunan an-Nasa’i nomor 10953, dan beberapa kitab hadits lainnya.
Oleh karena itu, sisipan fa’lam annahû masih perlu dilanjutkan. Tentu saja, pilihan sang imam yang memberikan komando tanpa “fa’lam annahû” juga tidak perlu dihentikan. Masing-masing memiliki landasan argumentasi. Jadi, pembaca biasa melakukan yang mana? []
Mohammad Ikhwanuddin, Wakil Mudir Ma’had Aly Pondok Pesantren Annur 1 Malang; sedang studi di Pascasarjana UIN Sunan Ampel Surabaya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar