Jumat, 03 Juni 2022

(Ngaji of the Day) Tafsir Surat Al-Baqarah Ayat 5

أُولَئِكَ عَلَى هُدًى مِنْ رَبِّهِمْ وَأُولَئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ


Ulā’ika ‘alā hudan min rabbihim, wa ulā’ika humul muflihūna.


Artinya, “Mereka berada di atas petunjuk dari Tuhan mereka. Mereka itulah orang yang beruntung.”


Peneriman petunjuk yang dimaksud dalam ayat ini, kata Tafsir Jalalain, adalah orang-orang yang sifatnya telah disebutkan pada Surat Al-Baqarah ayat 3 dan 4. Sedangkan mereka yang beruntung pada ayat ini adalah orang yang mendapat surga dan selamat dari neraka.


Syekh Wahbah Az-Zuhayli dalam Tafsirul Munir menerangkan, orang yang mengandung sifat-sifat orang beriman seperti disebutkan pada ayat sebelumnya (Surat Al-Baqarah ayat 3 dan 4) adalah orang yang mendapat bimbingan Al-Qur’an, dalam arti Al-Qur’an menjadi imam atau pemandu amal dan segala keadaannya, tidak menyimpang dari jalan Al-Qur’an. Mereka telah menjamin diri keselamatan di alam akhirat, kebahagiaan, dan ketenteraman di dunia untuk diri mereka sendiri.

 

Mereka yang ditunjuk Al-Qur’an menurut mayoritas ulama hanya satu kelompok, yaitu orang yang beriman. Kata penunjuk “ula’ika” diulang untuk mengabarkan realitas mereka sebagai penerima petunjuk Al-Qur’an dan penerima keberuntungan. Syekh Wahbah mengutip Mujahid, empat ayat pertama Surat Al-Baqarah menerangkan sifat orang beriman, dua ayat perihal sifat orang kafir, dan 13 ayat mengenai orang munafik. (Az-Zuhayli)


Imam Al-Baghowi dalam Tafsir Ma'alimut Tanzil mengatakan, “petunjuk” itu adalah kebenaran, keterangan, dan hujjah yang nyata. Sedangkan kata “al-muflihūna” atau orang beruntung berasal dari kata “al-falah” yang berarti “al-baqa” atau kekal. Maksudnya mereka kekal dalam kenikmatan abadi. “Al-falah” asal maknanya adalah “al-qath‘u” dan “as-syaqqu” yang berarti putus atau pecah. Dari sini kemudian petani disebut sebagai “al-falah” karena petani membelah tanah. Contoh lain, “Al-hadīd bil hadīd yuflahu” atau besi dipotong dengan besi.


Imam Al-Baidhawi dalam Anwarut Tanzil wa Asrarut Ta’wil mengatakan, penggunaan kata “’alā hudan” menunjukkan keteguhan dan ketetapan petunjuk ilahi kepada mereka. Petunjuk bisa didapat dengan upaya berpikir, senantiasa analisa pada hujah-hujah, dan selalu bermuhasabah atas perilaku. Kata “hudan” disebut nakirah atau dengan tanwin untuk menunjukkan ketakziman seakan sesuatu yang tidak dapat dicapai intinya.


Adapun “al-muflih” adalah orang yang meraih cita-cita sekan jalan kesuksesan terbuka padanya. Kata ini menunjukkan keistimewaan mereka dan motivasi agar orang-orang mengikuti jejak mereka. Keberuntungan al-muflihun adalah keberuntungan yang sempurna. Adapun orang yang tidak bertakwa juga bisa mendapat keberuntungan, tapi tidak sempurna, bukan tidak mendapat keberuntngan sama sekali. (Al-Baidhawi).


Ibnu Katsir dalam Tafsirul Qur’anil Azhim mengatakan, “ula’ika” adalah mereka yang mengandung sifat pada Al-Baqarah ayat 3-4, yaitu keimanan pada hal ghaib, penegakan shalat, penginfakan pada sebagian anugerah Allah padanya, keimanan pada wahyu yang diturunkan Allah kepada Nabi Muhammad, keimanan pada wahyu yang diturunkan Allah sebelum Nabi Muhammad, dan keyakinan pada akhirat dengan mempersiapkan diri melalui amal saleh dan penjauhan larangan-larangan-Nya.


Adapun “‘alā hudan” adalah di atas cahaya, penerangan, hujah dari Allah. “mereka yang beruntung” di dunia dan di akhirat. Ibnu Katsir mengutip pendapat Ibnu Abbas yang mengatakan bahwa “mereka berada di atas petunjuk” adalah mereka di atas cahaya ilahi dan istiqamah atas agama mereka. “mereka itulah orang yang beruntung” adalah mereka yang mendapatkan apa yang mereka cari, dan selamat dari keburukan yang mereka hindari. (Ibnu Katsir)


Ibnu Katsir mengutip Ibnu Jarir, “mereka berada di atas petunjuk Tuhan” mereka berada di atas cahaya ilahi, hujah, bukti, istiqamah, dan kebenaran dengan bimbingan dan taufiq dari-Nya. “mereka itulah orang yang beruntung” adalah mereka yang sukses meraih keberuntungan pahala, kekekalan di surga, keselamatan dari siksa yang disediakan Allah yang dicari melalui amal dan keimanan mereka pada Allah, kitab, dan rasul-Nya.


Ibnu Jarir menghikayatkan sebuah pendapat yang mengatakan bahwa “mereka” itu adalah orang beriman dari kalangan ahli kitab. Tetapi Ibnu Jarir sendiri memilih pendapat yang menatakan bahwa “mereka” itu merujuk pada orang beriman bangsa Arab dan orang beriman dari ahli kitab. Sejumlah sahabat rasul mengatakan, “orang yang beriman pada hal ghaib” adalah orang beriman bangsa Arab. “orang yang beriman kepada kitab yang diturunkan kepadamu dan sebelum kamu” adalah orang beriman ahi kitab. Keduanya dipersatukan dalam Surat Al-Baqarah ayat 5. Namun, kata Ibnu Katsir, semua ini merujuk pada sifat orang beriman secara umum. (Ibnu Katsir)


Al-Qurthubi dalam tafsirnya Al-Jami’ li Ahkamil Qur’an mengatakan, kata “al-muflih” atau “al-falah” berarti pembelahan seperti petani yang membelah tanah untuk bercocok tanam. Orang yang bibir bawahnya pecah disebut “aflah”. “al-muflih” adalah orang beruntung yang melewati kesulitan hingga mendapatkan tujuan yang dikejarnya. “al-muflih” juga digunakan untuk keburuntungan dan kekekalan. Ini makna asal “al-muflih” secara bahasa.


Makna “mereka itulah orang yang beruntung” adalah mereka yang beruntung mendapatkan surga dan kekal di dalamnya. Makna lain dari “al-falah” adalah sahur seperti hadits riwayat Abu Dawud. “Al-falah” secara uruf atau adat adalah keberhasilan mendapatkan yang dicari dan keselamatan dari yang ditakuti. (Al-Qurthubi). Wallahu a’lam.
[]

 

Sumber: NU Online

Tidak ada komentar:

Posting Komentar