أُولَئِكَ عَلَى هُدًى مِنْ رَبِّهِمْ وَأُولَئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ
Ulā’ika ‘alā hudan min rabbihim, wa ulā’ika humul muflihūna.
Artinya, “Mereka berada di atas petunjuk dari Tuhan mereka. Mereka itulah orang
yang beruntung.”
Peneriman petunjuk yang dimaksud dalam ayat ini, kata Tafsir Jalalain, adalah
orang-orang yang sifatnya telah disebutkan pada Surat Al-Baqarah ayat 3 dan 4.
Sedangkan mereka yang beruntung pada ayat ini adalah orang yang mendapat surga
dan selamat dari neraka.
Syekh Wahbah Az-Zuhayli dalam Tafsirul Munir menerangkan, orang yang mengandung
sifat-sifat orang beriman seperti disebutkan pada ayat sebelumnya (Surat
Al-Baqarah ayat 3 dan 4) adalah orang yang mendapat bimbingan Al-Qur’an, dalam
arti Al-Qur’an menjadi imam atau pemandu amal dan segala keadaannya, tidak
menyimpang dari jalan Al-Qur’an. Mereka telah menjamin diri keselamatan di alam
akhirat, kebahagiaan, dan ketenteraman di dunia untuk diri mereka sendiri.
Mereka yang ditunjuk Al-Qur’an menurut mayoritas ulama hanya satu kelompok, yaitu orang yang beriman. Kata penunjuk “ula’ika” diulang untuk mengabarkan realitas mereka sebagai penerima petunjuk Al-Qur’an dan penerima keberuntungan. Syekh Wahbah mengutip Mujahid, empat ayat pertama Surat Al-Baqarah menerangkan sifat orang beriman, dua ayat perihal sifat orang kafir, dan 13 ayat mengenai orang munafik. (Az-Zuhayli)
Imam Al-Baghowi dalam Tafsir Ma'alimut Tanzil mengatakan, “petunjuk” itu adalah
kebenaran, keterangan, dan hujjah yang nyata. Sedangkan kata “al-muflihūna”
atau orang beruntung berasal dari kata “al-falah” yang berarti “al-baqa” atau
kekal. Maksudnya mereka kekal dalam kenikmatan abadi. “Al-falah” asal maknanya
adalah “al-qath‘u” dan “as-syaqqu” yang berarti putus atau pecah. Dari sini kemudian
petani disebut sebagai “al-falah” karena petani membelah tanah. Contoh lain,
“Al-hadīd bil hadīd yuflahu” atau besi dipotong dengan besi.
Imam Al-Baidhawi dalam Anwarut Tanzil wa Asrarut Ta’wil mengatakan, penggunaan
kata “’alā hudan” menunjukkan keteguhan dan ketetapan petunjuk ilahi kepada
mereka. Petunjuk bisa didapat dengan upaya berpikir, senantiasa analisa pada
hujah-hujah, dan selalu bermuhasabah atas perilaku. Kata “hudan” disebut
nakirah atau dengan tanwin untuk menunjukkan ketakziman seakan sesuatu yang
tidak dapat dicapai intinya.
Adapun “al-muflih” adalah orang yang meraih cita-cita sekan jalan kesuksesan
terbuka padanya. Kata ini menunjukkan keistimewaan mereka dan motivasi agar
orang-orang mengikuti jejak mereka. Keberuntungan al-muflihun adalah
keberuntungan yang sempurna. Adapun orang yang tidak bertakwa juga bisa
mendapat keberuntungan, tapi tidak sempurna, bukan tidak mendapat keberuntngan
sama sekali. (Al-Baidhawi).
Ibnu Katsir dalam Tafsirul Qur’anil Azhim mengatakan, “ula’ika” adalah mereka
yang mengandung sifat pada Al-Baqarah ayat 3-4, yaitu keimanan pada hal ghaib,
penegakan shalat, penginfakan pada sebagian anugerah Allah padanya, keimanan
pada wahyu yang diturunkan Allah kepada Nabi Muhammad, keimanan pada wahyu yang
diturunkan Allah sebelum Nabi Muhammad, dan keyakinan pada akhirat dengan
mempersiapkan diri melalui amal saleh dan penjauhan larangan-larangan-Nya.
Adapun “‘alā hudan” adalah di atas cahaya, penerangan, hujah dari Allah.
“mereka yang beruntung” di dunia dan di akhirat. Ibnu Katsir mengutip pendapat
Ibnu Abbas yang mengatakan bahwa “mereka berada di atas petunjuk” adalah mereka
di atas cahaya ilahi dan istiqamah atas agama mereka. “mereka itulah orang yang
beruntung” adalah mereka yang mendapatkan apa yang mereka cari, dan selamat
dari keburukan yang mereka hindari. (Ibnu Katsir)
Ibnu Katsir mengutip Ibnu Jarir, “mereka berada di atas petunjuk Tuhan” mereka
berada di atas cahaya ilahi, hujah, bukti, istiqamah, dan kebenaran dengan
bimbingan dan taufiq dari-Nya. “mereka itulah orang yang beruntung” adalah
mereka yang sukses meraih keberuntungan pahala, kekekalan di surga, keselamatan
dari siksa yang disediakan Allah yang dicari melalui amal dan keimanan mereka
pada Allah, kitab, dan rasul-Nya.
Ibnu Jarir menghikayatkan sebuah pendapat yang mengatakan bahwa “mereka” itu
adalah orang beriman dari kalangan ahli kitab. Tetapi Ibnu Jarir sendiri
memilih pendapat yang menatakan bahwa “mereka” itu merujuk pada orang beriman
bangsa Arab dan orang beriman dari ahli kitab. Sejumlah sahabat rasul
mengatakan, “orang yang beriman pada hal ghaib” adalah orang beriman bangsa
Arab. “orang yang beriman kepada kitab yang diturunkan kepadamu dan sebelum
kamu” adalah orang beriman ahi kitab. Keduanya dipersatukan dalam Surat
Al-Baqarah ayat 5. Namun, kata Ibnu Katsir, semua ini merujuk pada sifat orang
beriman secara umum. (Ibnu Katsir)
Al-Qurthubi dalam tafsirnya Al-Jami’ li Ahkamil Qur’an mengatakan, kata
“al-muflih” atau “al-falah” berarti pembelahan seperti petani yang membelah
tanah untuk bercocok tanam. Orang yang bibir bawahnya pecah disebut “aflah”.
“al-muflih” adalah orang beruntung yang melewati kesulitan hingga mendapatkan
tujuan yang dikejarnya. “al-muflih” juga digunakan untuk keburuntungan dan
kekekalan. Ini makna asal “al-muflih” secara bahasa.
Makna “mereka itulah orang yang beruntung” adalah mereka yang beruntung
mendapatkan surga dan kekal di dalamnya. Makna lain dari “al-falah” adalah
sahur seperti hadits riwayat Abu Dawud. “Al-falah” secara uruf atau adat adalah
keberhasilan mendapatkan yang dicari dan keselamatan dari yang ditakuti.
(Al-Qurthubi). Wallahu a’lam. []
Sumber: NU Online
Tidak ada komentar:
Posting Komentar