Diskusi dengan metode debat yang baik dan benar adalah sebuah jalur dakwah yang dibenarkan oleh agama Islam. Hal ini sesuai dengan ayat Al-Qur’an:
ادْعُ إِلَى سَبِيلِ رَبِّكَ بِالْحِكْمَةِ وَالْمَوْعِظَةِ الْحَسَنَةِ وَجَادِلْهُمْ بِالَّتِي هِيَ أَحْسَنُ…ـ
“Serulah (manusia) kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah dan pengajaran yang baik, dan berdebatlah dengan mereka dengan cara yang baik….” (QS An-Nahl: 125).
Dalam praktiknya, menurut Imam Haramain al-Juwaini, debat adalah keadaan saat kedua pihak saling menunjukkan pemikiran mereka yang berseberangan serta saling mencoba untuk mematahkan argumentasi satu sama lain (Imam Haramain al-Juwaini, al-Kafiyah fi ilm Jadl, [Kairo: Maktabah Isa al-Bab], 1979, hal. 21).
Sedangkan menurut Grand Syekh al-Azhar Dr. Ahmad Thayyib dalam Nadharat fi Fikr al-Imam al-Asy’ari (2019), metode debat yang diajarkan oleh Imam Abu al-Hasan al-Asy’ari selaku pendiri mazhab Asy’ariyah memiliki tiga keunggulan dibandingkan metode debat yang diajarkan oleh Aristoteles selaku pembesar ilmu logika dari peradaban Yunani. Ketiga poin tersebut adalah sebagai berikut:
1. Memiliki bentuk yang sesuai dengan ciri khas Islam.
Sejak awal, debat yang dianjurkan oleh Al-Qur’an adalah salah satu media dakwah untuk menemukan dan menunjukkan kebenaran tunggal yang pada akhirnya saling diyakini oleh kedua belah pihak. Dan tentunya, niat awal dari perdebatan bukanlah untuk mencari kemasyhuran, pangkat derajat, serta sekadar menjatuhkan lawan politik.
Oleh karena itu, debat yang diajarkan oleh Abu al-Hasan al-Asy’ari memiliki syarat dan kaedah yang baku. Hal ini tentu berbeda dengan metode debat yang disusun oleh Aristoteles dengan segenap metode premisnya yang hanya menjadikan debat sebagai jalan menuju penalaran akal dan penerimaan panca indra. Dan pada akhirnya, metode debat yang digagas Aristoteles hanya menghasilkan kebenaran yang relatif dan tidak dianggap sebagai kebenaran mutlak. Misalnya dalam sebuah debat, pendapat Aristoteles adalah pendapat yang diyakini kebenarannya oleh Aristoteles dan sebaliknya tanpa ada sedikit pun legitimasi bahwa pendapat Aristoteles atau pendapat lawan debatnya adalah kebenaran secara mutlak. Sedangkan debat yang diajarkan oleh Abu al-Hasan al-Asy’ari menghasilkan kebenaran yang disepakati dan diyakini bersama di penghujung debat tanpa sedikit pun menyakiti hati salah satu pihak.
2. Menjadikan Al-Qur’an dan hadits sebagai pedoman dan sumber argumentasi pemikiran.
Pada dasarnya dalam banyak bentuk perdebatan yang dicontohkan oleh Abu al-Hasan al-Asy’ari dan dikutip oleh Ibnu Faurok dalam kitab Mujarrad Maqalat Syaikh Abu al-Hasan al-Asy’ari selalu menjadikan Al-Qur’an dan hadits sebagai sumber pedoman dalam berargumentasi. Para pembesar mazhab Asy’ariyah menjadikan debat sebagai bahan koreksi pemikiran serta jalan untuk memadamkan pemikiran-pemikiran yang melenceng dari pemahaman yang benar mengenai Al-Qur’an dan hadits. Oleh karena itu, dalam berdebat para pembesar ulama mazhab Asy’ariyah memiliki kode etik serta akhlak yang baik dalam menyampaikan kebenaran. Bentuk debat yang dicontohkan dalam banyak kitab-kitab ulama Asy’ariyah terlihat selalu memakai kalimat yang padat, singkat, halus serta tepat sasaran tanpa sedikit pun memakai kata-kata makian ataupun debat kusir.
3. Terfokus kepada ilmu tauhid.
Dalam pembahasan ilmu debat, Imam Abu al-Hasan al-Asy’ari dalam kitab Adab al-Jadal lebih mengkhususkan debat sebagai sarana dakwah dalam menunjukkan jalan menuju aqidah yang benar dengan fondasi pemikiran yang tepat. Oleh karena itu, peran argumentasi akal yang dapat meyakinkan lawan debat adalah suatu hal yang sangat penting sebagai sarana menuju kebenaran tekstual Al-Qur’an dan hadits. Karena dalam praktiknya, seringkali para ulama Asy’ariyah menghadapi lawan-lawan debat yang hanya menerima argumentasi akal sebagai syarat berdebat misalnya saja kaum Mu’tazilah dan ateis.
Rangkaian Debat menurut Abu al-Hasan al-Asy’ari
Dalam seluruh kitab-kitab para ulama mazhab Asy’ariyah terdapat rangkaian debat yang hampir seluruhnya memiliki bentuk yang sama, yaitu:
1. Pertanyaan mengenai pendapat lawan debat.
Sebagaimana kita ketahui, dalam berdebat ada pihak yang disebut sail (penanya) dan mujib (penjawab). Pada awal perdebatan sang sail harus menanyakan mengenai pendapat mujib mengenai bahan perdebatan. Hal ini bertujuan untuk menegaskan pendapat yang diyakini mujib dan dapat disaksikan oleh segenap yang hadir. Hal ini sangat penting agar sang sail dapat mengenal lebih jelas argumentasi mujib di fase berikutnya. Contoh: sang sail bertanya “Apa pendapat anda mengenai alam semesta?” atau “Apakah anda meyakini alam semesta adalah dahulu (qadim) atau baru datang (hadits)?”
2. Meminta argumentasi mengenai pendapat lawan debat.
Selanjutnya setelah fase pertama, sail wajib meminta argumentasi nalar akal atas pendapat yang diutarakan oleh mujib. Hal ini sangat penting karena argumentasi yang diutarakan oleh mujib di fase ini akan menjadi pijakan oleh sail dalam fase berikutnya. Oleh karena itu, sail harus sangat teliti dalam mencatat argumentasi mujib. Dalam fase pertama dan kedua, sail tidak boleh sedikit pun memotong argumentasi mujib. Penolakan/tanggapan harus ditempatkan setelah pihak yang dituju (mujib) menyelesaikan seluruh argumentasinya, sehingga nantinya sail dapat membabat habis seluruh pemikiran mujib dengan sempurna dan mendatangkan keyakinan baru bagi mujib.
3. Meminta alasan legitimasi pendapat yang dipilih lawan debat.
Setelah kedua fase di atas, sail harus meminta mujib untuk menjelaskan dasar-dasar dalil yang dapat diterima oleh segenap ulama yaitu harus berupa dalil teks Al-Qur’an, hadits shahih atau hasan, serta pendapat para shahabat dan ulama yang diakui pendapatnya oleh segenap yang hadir. Dalam fase ini, sail baru boleh memotong argumentasi mujib dengan serangkaian perlawanan argumentasi. Karena sejak fase ini, sail dapat mempertimbangkan untuk segera melangkah ke fase berikutnya yaitu fase mengkritik dan mematahkan argumentasi mujib ketika sail merasa dalil yang dipakai mujib sudah sering didengar oleh segenap hadirin atau ketika dalil yang dipakai mujib setara dan juga digunakan sail dalam membangun argumentasi pendapatnya. Misalnya saja seorang mujib yang berhaluan Mu’tazilah memakai dalil ayat “Maka barang siapa yang mengerjakan kebaikan seberat dzarrah, niscaya dia akan melihat (balasan)-nya” (QS Zalzalah: 7) sebagai legitimasi pendapatnya bahwa perbuatan hamba tidak terikat dengan kuasa Allah; maka dalam posisi ini sail bisa langsung mematahkan argumentasi dalil yang diutarakan mujib karena sail juga memakai ayat ini sebagai fondasi pemikirannya akan tetapi dengan sudut penafsiran yang berbeda.
4. Mematahkan argumentasi lawan debat.
Dalam fase terakhir ini, sang sail memiliki kesempatan penuh untuk mematahkan seluruh argumentasi dan landasan dalil yang diutarakan oleh mujib. Dalam fase ini, sail harus berhati-hati dalam memilih diksi kalimat yang akan diutarakan. Karena ia dituntut untuk meyakinkan bahwa pendapat mujib adalah salah atau kurang tepat dengan argumentasi yang tetap menjunjung tinggi akhlak dan adab dalam berdebat. Dalam hal ini, ada dua bentuk model mematahkan argumentasi Mujib.
Pertama, mengukur landasan argumentasi lawan debat. Model ini bertumpu dengan memakai landasan argumentasi lawan debat sebagai bahan untuk mematahkan pendapat lawan debat dan menegaskan bahwa landasan argumentasi lawan debat tidak memadai untuk mendukung pendapatnya. Misal mujib yang berhaluan ateis mengatakan “Saya meyakini alam semesta ini dahulu (qadim), karena kita meyakini tidak mungkin ada jism/bentuk yang terbentuk dari ketiadaan dan saya meyakini bahwa semua yang ada ini adalah proses yang terjadi secara alamiah menurut apa yang saya tangkap dari panca indra saya”. Maka sail berhak menjawab “Kalau begitu, anda juga meyakini bahwa alam semesta ini hadits (baru datang) karena anda juga tidak bisa memastikan dengan panca indra dan akal anda akan adanya jism/bentuk dari alam semesta yang ada sejak zaman azali”.
Kedua, menguji landasan argumentasi lawan debat. Model ini bertumpu dengan menguji landasan argumentasi lawan debat secara akal dan menegaskan bahwa landasan argumentasi lawan debat tidak layak untuk diutarakan di meja debat. Misal mujib mengatakan, ”Saya meyakini bahwa seluruh manusia berkulit hitam, karena saya melihat dengan mata saya bahwa manusia yang saya temui berwarna hitam”. Maka sail berhak menjawab “Bagaimana mungkin anda menyatakan seluruh manusia berkulit hitam hanya dengan sebatas penelitian yang dilakukan dengan mata penglihatan anda? Apakah hasil penglihatan anda dapat menjadi dasar bahwa seluruh manusia berkulit hitam?”
Dalam proses mematahkan pendapat lawan debat, ada dua model pendukung argumentasi, yaitu:
1. Memberikan keraguan kepada lawan debat.
Model ini sering dipakai untuk mengunci lawan debat yaitu dengan cara membuat ragu lawan debat. Teknik ini digunakan agar mujib merasa ragu dengan jawaban dan landasan argumentasinya. Misal mujib yang ateis mengatakan, “Menurut panca indra saya, jism/bentuk selalu memiliki runtutan kelahiran. Misalnya saja manusia yang leluhurnya berevolusi dari kera dan seterusnya, semua berasal dari berkembangnya alam semesta. Karena itu, saya meyakini alam semesta adalah dahulu (qadim) dan sebab dari seluruh yang ada di dunia”. Maka, sail mengatakan, “Argumentasi anda berlandaskan dari akal dan panca indra anda, apakah anda meyakini hal ini disebabkan akal dan panca indra anda?”.
Seandainya mujib mengatakan “Benar, saya meyakini alam semesta dahulu (qadim) dengan sebab apa yang saya tangkap dari akal dan panca indra saya”. Maka, di sini sang mujib telah meragukan landasan argumentasinya sendiri karena tidak mungkin akal dan panca indra manusia biasa dapat memastikan dan membuktikan bahwa alam semesta adalah pencipta segala makhluk.
Seandainya mujib mengatakan, “Tidak, saya menyatakan hal ini bukan disebabkan akal dan panca indra saya”. Maka, di sini sang mujib telah meragukan jawabannya sendiri karena ia memberikan jawaban tanpa menjelaskan darimana dia mendapatkan jawaban tersebut.
2. Menyanggah landasan argumentasi lawan debat.
Model ini sering dipakai sebagai bantahan bahwa teori mujib tidak dapat dipakai dalam bahan pembahasan karena tidak dapat dipakai dalam kasus lain yang setara dengan bahan pembahasan. Teknik ini digunakan ketika mujib memberikan sebuah landasan argumentasi berupa kaedah atau hukum pasti. Misal mujib yang penganut sekte mujassimah mengatakan “Saya meyakini Allah memiliki bentuk tubuh seperti kita meyakini bahwa manusia yang bergerak dan berjalan pasti memiliki bentuk tubuh”. Maka, sail menjawab “Kalau anda berpendapat demikian, berarti anda juga meyakini bahwa Allah terbentuk dari bagian-bagian yang disusun sebagaimana manusia yang bergerak dan berjalan juga terbentuk dari anggota-anggota tubuh yang tersusun, lantas siapakah dzat yang menyusun anggota tubuh Allah?”. Sanggahan sail mematikan langkah lawan debat karena seketika itu mujib akan meyakini bahwa jawabannya justru menjadikan ia menyatakan bahwa ada dzat yang menciptakan Allah dan ini telah keluar dari konsep aqidah. []
Muhammad Tholhah al Fayyadl, Mahasiswa jurusan Ushuluddin Universitas al-Azhar Mesir, alumnus Pondok Pesantren Lirboyo
Tidak ada komentar:
Posting Komentar