Belakangan ini netizen ramai membahas childfree, yaitu kesepakatan suami dan istri untuk tidak memiliki anak. Ada yang mendukung dan ada pula yang menolak. Lalu sebenarnya bagaimana menurut fiqih Islam?
Kesepakatan suami istri untuk tidak punya anak dari pernikahannya dilakukan
dengan berbagai motif dan cara. Dari sinilah kemudian hukum childfree dapat
dirumuskan. Ada motif dan cara yang dilarang dan ada yang tidak. Tulisan ini
fokus membahasnya dari sisi cara atau teknis pasangan suami istri dalam upaya
menghindari punya anak dari pernikahannya.
Merujuk pada Keputusan Muktamar NU Ke-28 di PP Al-Munawwir Krapyak Yogyakarta
pada 26-29 Rabiul Akhir 1410 H/25-28 November 1989 M, hukum mematikan fungsi
berketurunan secara mutlak adalah haram. Secara lengkap Muktamar merumuskan:
“Penjarangan kelahiran melalui cara apapun tidak dapat diperkenankan, kalau
mencapai batas mematikan fungsi berketurunan secara mutlak. Karenanya
sterilisasi yang diperkenankan hanyalah yang bersifat dapat dipulihkan kembali
kemampuan berketurunan dan tidak sampai merusak atau menghilangkan bagian tubuh
yang berfungsi.” (Tim LTN PBNU, Ahkamul Fuqaha, Solusi Problematika Hukum
Islam, Keputusan Muktamar, Munas, dan Konbes Nahdlatul Ulama, [Surabaya,
Khalista, cetakan kedua: 2019], editor: A. Ma’ruf Asrori dan Ahmad Muntaha AM,
halaman 448).
Meski sebenarnya bahasan Muktamar adalah hukum vasektomi (pemotongan vas
deferens, atau pipa yang menyalurkan sperma dari testis menuju uretra sehingga
seorang pria tidak dapat menghamili wanita) dan tubektomi (penutupan kedua tuba
falopi yang terdapat di dalam tubuh wanita sehingga sperma yang masuk ke dalam
vagina tidak dapat “bertemu” dengan sel telur, apalagi membuahinya), namun
secara jelas rumusan ini melarang orang mematikan fungsi berketurunan atau
reproduksi manusia secara mutlak sehingga menurut penulis dapat digunakan untuk
merumuskan hukum childfree. Yaitu bila pilihan childfree dilakukan dengan cara
mematikan fungsi reproduksi secara mutlak maka jelas-jelas tidak diperbolehkan.
Bila childfree dilakukan dengan menunda atau mengurangi kehamilan maka itu
dimakruh.
Muktamar mengambil argumen bahwa penggunaan obat-obatan penunda kehamilan
secara fiqih hukumnya diperinci. Bila obat itu membuat orang tidak dapat punya
anak sama sekali maka haram, dan bila hanya menunda atau memperjarang kehamilan
maka makruh. Dalam hal ini forum muktamar tersebut mengutip pendapat Syekh
Ibrahim Al-Bajuri yang menjelaskan:
وَكَذلِكَ
اسْتِعْمَالُ الْمَرْأَةِ الشَّيْءَ الَّذِي يُبْطِىءُ الْحَبْلَ أَوْ يَقْطَعُهُ
مِنْ أَصْلِهِ فَيُكْرَهُ فِي الْأُولَى وَيُحْرَمُ فِي الثَّانِي
Artinya, “Demikian pula seperti hukum lelaki menghilangkan syahwat seksual
dengan cara mengonsumsi kafur thayyar, yang makruh bila hanya berdampak
mengurangi syahwat dan haram bila berdampak menghilangkannya secara total;
hukum wanita menggunakan atau mengonsumsi sesuatu yang memperlambat kehamilan
atau membuatnya tidak bisa hamil secara total, maka hukumnya makruh untuk yang
pertama dan haram untuk yang kedua. (Ibrahim Al-Bajuri, Hâsyiyyatul Bâjuri ‘alâ
Ibni Qasim Al-Ghazi, [Semarang, Thoha Putera], juz II, halaman 92).
Walhasil, bila pendapat penulis dapat diterima, maka dilihat dari cara suami
istri merealisasikan pilihan childfree terdapat dua hukum. Makruh bila hanya
sekadar menunda kehamilan; dan haram bila dengan mematikan fungsi reproduksinya
secara mutlak. Wallâhu a’lam. []
Ahmad Muntaha AM-Redaktur Keislaman NU Online dan Founder Aswaja Muda.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar