Yaa gusti Allah... Aku tak tahu bagaimana cara menyusun kata untuk berdo'a kepada-Mu. Untuk itu, kabulkan apa yang ada di dalam hatiku.
Al Faatihah...
Yaa gusti Allah... Aku tak tahu bagaimana cara menyusun kata untuk berdo'a kepada-Mu. Untuk itu, kabulkan apa yang ada di dalam hatiku.
Al Faatihah...
Dalam 10 hari awal Dzulhijjah, semua ketaatan dan kebaikan umat Islam menjadi ibadah yang pahalanya sangat besar. Tentu, semua pemberian Allah yang sangat besar dan patut disyukuri ini tidak bisa ditemukan di waktu yang lain. Sebagai muqaddimah dari penjelasan tentang kemuliaan bulan Dzulhijjah, yaitu dalam Al-Qur’an Allah subhanahu wata’ala berfirman:
وَالْفَجْرِ (1) وَلَيَالٍ عَشْرٍ (2)
Artinya, “1. Demi fajar; 2. Demi malam yang sepuluh.” (QS. Al-Fajr: 1-2)
Para ulama ahli tafsir berbeda pendapat dalam mengartikan ayat kedua. Ada yang berpendapat yang dimaksud adalah 10 hari terakhir di Ramadhan; ada yang berpendapat 10 hari awal Muharram; dan ada juga yang berpendapat 10 hari awal Dzulhijjah. Hanya saja, pendapat yang sahih sebagaimana yang disampaikan oleh Imam Ibnu Katsir adalah pendapat ketiga, yaitu 10 hari di awal Dzulhijjah. (Abul Fida’ Ad-Dimisqi, Tafsîr Ibnu Katsîr, [Bairut, Dârul Fikr: 1999], juz VIII, halaman 391).
Alasan ketiga pendapat di atas tentunya berbeda-beda. Menurut pendapat pertama karena Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wasallam sangat menjaga 10 malam terakhir di Ramadhan. Tidak hanya itu, di antara malam-malam itu juga bertepatan dengan Lailatul Qadar. Menurut pendapat kedua karena pada Muharram terdapat hari yang sangat mulia, yaitu hari Asyura. Sedangkan alasan pendapat ketiga karena pada Dzulhijjah bertepatan dengan kesibukan umat Islam dalam menjalankan pilar Islam yang kelima, yaitu ibadah haji ke Baitullah. (Fakhruddin Ar-Razi, Tafsîr Mafâtîhul Ghaib, [Bairut, Dârul Fikr: 1992], juz XXXI, h. 149).
Sebagai bukti keutamaan 10 hari awal Dzulhijjah ialah Allah bersumpah atas nama fajar dan malam 10 awal Dzulhijjah. Semua itu sebenarnya tidak lepas dari beberapa kemuliaan di dalamnya. Kata kemuliaan di sini bisa diartikan dengan dua arti: (1) kemuliaan dan keagungan secara ukhrawi, seperti mengesakan Allah subhânahu wata’âlâ; dan (2) kemuliaan dan keagungan secara duniawi, seperti harusnya bersyukur saat itu disebabkan kenikmatan yang telah Allah berikan.
Maksud dari kemuliaan ukhrawi dengan mengesakan Allah adalah bahwa pada hari itu semua umat Islam berkumpul dalam rangka mensucikan Allah dari segala sekutu dan kekurangan. Dikemas dengan ibadah haji bagi yang mampu, dan dengan melaksanakan shalat Idul Adha bagi yang tidak mampu. Dengannya Allah akan memberikan pahala bagi mereka yang mengerjakannya. Tentunya, pahala yang diberikan akan dinikmati kelak di akhirat. Sedangkan yang dimaksud kemuliaan secara duniawi adalah pada hari tersebut umat Islam ditakdirkan sebagai makhluk yang beriman kepada Allah dan mempercayai semua ketentuan-Nya. Tidak ada nikmat yang lebih besar selama di dunia selain nikmat Islam dan Iman.
Berkaitan dengan keutamaan 10 hari awal Dzulhijjah Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wasallam bersabda:
مَا مِنْ أَيَّامٍ اَلْعَمَلُ الصَّالِحُ فِيهَا أَحَبُّ إِلَى اللهِ مِنْ هَذِهِ الْأَيَّام. يَعْنِي أَيَّامُ الْعُشْرِ. قَالُوْا: يَا رَسُولَ اللهِ، وَلاَ الْجِهَادُ فِي سَبِيلِ اللهِ؟ قَالَ: وَلاَ الْجِهَادُ فِي سَبِيلِ اللهِ، إِلاَّ رَجُلٌ خَرَجَ بِنَفْسِهِ وَمَالِهِ ، فَلَمْ يَرْجِعْ مِنْ ذَلِكَ بِشَيءٍ. (رواه البخاري)
Artinya, “Tidak ada hari di mana amal kebaikan saat itu lebih dicintai oleh Allah daripada hari-hari ini. Rasulullah menghendaki 10 hari (awal Dzulhijjah). Lantas para sahabat bertanya: ‘Wahai Rasulullah, tidak juga jihad di jalan Allah?’ Rasulullah shallalâhu ‘alaihi wasallam menjawab: ‘Tidak juga jihad di jalan Allah, kecuali orang yang keluar berjihad dengan jiwa dan hartanya, kemudian tidak kembali dengan sesuatu apapun (mati syahid)’.” (HR. Al-Bukhari). (An-Nawawi, Riyâdhus Shâlihîn, juz II, halaman 77-78).
Dalam hadits ini seolah Rasulullah shallalâhu ‘alaihi wasallam hendak memberikan motivasi yang sangat tinggi kepada para sahabat dan umatnya untuk tidak menyia-nyiakan keutamaan 10 hari awal Dzulhijjah. Bahkan perbandingannya dengan jihad di jalan Allah.
Motivasi itu disampaikan Rasulullah shallalâhu ‘alaihi wasallam tidak lain karena banyaknya manfaat dan agungnya kemuliaan pada hari itu. Di antara hari tersebut terdapat hari Arafah dan hari penyembelihan kurban, sekaligus menjadi hari pelaksanaan ibadah haji. Semuanya tidak diragukan kemulian dan keagungannya. Umat Islam sepakat bahwa hari-hari tersebut merupakan hari yang sangat dimuliakan oleh Allah Ta’ala.
Hadits di atas juga memberikan pemahaman bahwa adanya keutamaan 10 hari awal Dzulhijjah secara khusus meniscayakan hari-hari tersebut lebih mulia dari hari lainnya. Semua ibadah dan amal kebaikan yang dilakukan saat itu lebih mulia dan lebih besar pahalnya daripada di hari-hari lainnya. Karenanya, tidak heran jika Rasulullah shallalâhu ‘alaihi wasallam sangat memotivasi para sahabat dan umatnya untuk melakukan ibadah dan amal kebaikan pada hari-hari tersebut.
Syekh Muhammad Abdurrahman bin Abdurrahim Al-Mubarakfuri menyampaikan penjelasan ulama:
لِأَنَّهَا أَيَّامُ زِيَارَةِ بَيْتِ اللهِ وَالْوَقْتُ إِذَا كاَنَ أَفْضَلَ كاَنَ الْعَمَلُ الصَّالِحُ فِيْهِ أَفْضَلُ
Artinya, “Karena 10 hari awal Dzulhijjah tersebut menjadi hari berkunjung ke Baitullah, sementara suatu waktu apabila lebih mulia dari waktu yang lain, maka amal kebaikan di dalamnya juga lebih utama.” (Abdurrahman Al-Mubarakfuri, Tuhfatul Ahwadi, [Bairut, Dârul Kutub Al-‘Ilmiyyah: 1999], juz III, halaman 386).
Karenanya sangat beruntung bagi umat Islam yang bisa menjumpai 10 hari awal bulan Dzulhijjah dan dapat melakukan ibadah disertai berbagai kebaikan lainnya. Semua itu merupakan nikmat sangat besar yang Allah berikan kepada hamba-Nya yang dikehendaki. Tidak sepantasnya umat Islam menyia-nyiakan hari yang sangat berlimpah nilai pahalanya di sisi Allah subhânahu wata’âlâ.
Umat Islam yang menjumpai 10 hari awal Dzulhijjah mempunyai momentum untuk melakukan ibadah dan kebaikan dengan pahala yang lebih besar dibandingkan hari-hari lainnya. Sepatutnya hari-hari mulia itu dijadikan kesempatan untuk lebih giat dan semangat dalam menjalankan semua kewajiban, menambah ibadah sunnah, dan melakukan berbagai kebaikan melebihi kesehariannya. []
Sunnatullah, Pengajar di Pesantren Al-Hikmah Darussalam, Kokop Bangkalan.
Dalam kitab al-Bashâ’ir wa al-Dzakhâir, Imam Abu Hayyan al-Tauhidi meriwayatkan kisah yang disampaikan Imam Fudhail bin ‘Iyadl tentang pengaduan Iblis kepada Allah subhanahu wa ta’ala. Berikut kisahnya:
وقال
الفضيل بن عياض: قال إبليس: يا ربِّ، الخليقة تحبّك وتُبغضني، وتعصيك وتطيعني.
فقال الله سبحانه: لأغفرنَّ لهم طاعتهم إيّاك ببغضهم لَكَ، ولأغفرنَّ لهم معصيتهم
إيايَ بحبّهم لي
(Imam) al-Fudhail bin ‘Iyadl berkata: Iblis berkata (kepada Allah): “Ya
Tuhan(ku), makhluk(-Mu manusia) mencintai-Mu dan membenciku; (tapi mereka juga)
bermaksiat kepada-Mu dan menaatiku.”
Kemudian Allah subhanahu (wa ta’ala) berfirman: “Sungguh ketaatan mereka
kepadamu akan Ku-ampuni sebab kebencian yang mereka miliki untukmu, dan sungguh
kemaksiatan mereka kepada-Ku akan Ku-ampuni sebab cinta yang mereka miliki
untuk-Ku.” (Imam Abu Hayyan al-Tauhidi, al-Bashâ’ir wa al-Dzakhâir, Beirut: Dar
Shadir, 1988, juz 1, h. 196)
****
Ya, manusia memang begitu. Tak jarang menyakiti kekasihnya meskipun cinta,
apalagi terhadap yang dia benci. Cinta dan benci itu seperti tetangga dekat,
yang saling berjumpa dan menyapa. Seorang pecinta akan benci melihat orang yang
dicintainya didekati atau dihasrati orang lain. Begitu pun sebaliknya, seorang
pembenci akan senang melihat orang yang dibencinya tertimpa petaka atau
musibah. Kenapa demikian? Ya, memang begitulah manusia.
Manusia adalah makhluk yang unik nan menawan. Dia memiliki nalar dan rasa yang
kontradiktif. Keduanya saling terkait. Dalam cinta, tersimpan marah dan benci;
dalam benci, tersimpan cinta dan senang. Karena itu, Rasulullah mengajarkan
manusia untuk mencintai dan membenci secara sederhana, biasa-biasa saja. Jangan
berlebihan, apalagi melebih-lebihkannya.
Riwayat di atas, sedikit banyak berbicara tentang hal itu. Manusia, khususnya yang beriman, membawa fitrah cinta kepada Tuhannya. Dia pun tak sudi menuruti rayuan Iblis dan kroni-kroninya. Tapi, naik turunnya perasaan, bergejolaknya pikiran, dan terombang-ambingnya hawa nafsu, membuat manusia menjadi makhluk yang tidak mungkin tidak pernah salah. Selama dia hidup, manusia akan terus berhadapan dengan keadaan-keadaan yang akan mempengaruhi tindakannya. Di satu waktu, dia bisa bersedih dan menangis; di waktu lain, dia bisa tertawa dan gembira. Di satu waktu, dia bisa berbuat dosa dengan sengaja ataupun tidak; di waktu lain, dia bisa berbuat baik dengan sengaja ataupun tidak.
Jika diamati, ada dua tipe dosa dalam pengaduan Iblis di atas. Pertama, dosa
menaati Iblis, dan kedua, dosa bermaksiat kepada Allah. Keduanya akan diampuni
oleh Allah karena fitrah cinta yang mereka miliki kepada-Nya, dan kebencian
yang mereka punyai untuk Iblis. Artinya, sisi baik manusia, tidak bisa
diabaikan dalam memandang manusia secara utuh. Bahkan, sisi baik itulah yang
didahulukan jika mengacu pada kisah di atas. Meskipun manusia tetap bermaksiat
dan menaati Iblis, Allah mengampuninya karena sisi baiknya, yaitu cinta mereka
kepada-Nya dan benci mereka kepada Iblis.
Berbeda halnya dengan hubungan sesama manusia, kebaikan sebesar gunung akan
tertutupi oleh satu keburukan. Tidak jarang dari kita, mengakhiri hubungan
pertemanan hanya karena satu kesalahan seorang teman, dan dengan seketika, kita
abaikan banyak kebaikan yang pernah dia lakukan kepada kita sebelumnya.
Padahal, jika merujuk kisah di atas, penilaian kebaikan harus lebih didahulukan
daripada penilaian keburukan. Karena pada hakikatnya, terhadap orang yang
dicintainya pun, manusia bisa melakukan kesalahan, apalagi terhadap orang yang
dia benci. Tentu saja, ini tidak bisa dijadikan dalil untuk melakukan kesalahan,
tapi paling tidak bisa membuka pikiran kita agar dapat melihat manusia secara
menyeluruh, tidak secara parsial per-kesalahan dan kesalahan saja.
Lagi pula, ampunan Allah itu bersifat pasti, tidak seperti maaf dari manusia.
Pintu maaf-Nya selalu terbuka lebar bagi siapa pun yang hendak memasukinya.
Kasih sayang-Nya jauh lebih besar dari murka-Nya. Jadi, kita tak perlu ragu
untuk selalu memohon ampunan-Nya setiap hari, bahkan jika kita merasa tidak
berbuat dosa hari ini. Sebab, bisa saja kita melakukan dosa yang tidak kita
sengaja. Misalnya, menyakiti perasaan orang lain tanpa kita sadari, melihat
orang yang membutuhkan meski kita mampu membantunya, atau menendang sampah di
jalanan tanpa hasrat memungutnya. Di samping itu, merasa tidak berbuat salah atau
dosa adalah sesuatu yang perlu kita “istighfari” juga.
Kita harus berjuang untuk menghindari perbuatan salah. Sebab, semakin banyak
kesalahan dan dosa terkumpul, sisi kebaikan kita semakin tertepikan. Jangan
sampai dosa yang menumpuk terlalu banyak, membuat kita kehilangan kemampuan
untuk meminta maaf dan memaafkan. Jangan sampai kesalahan yang banyak itu
melalaikan kita dari memohon ampunan-Nya. Sebab, jika sesuatu sudah menjadi
kebiasaan, yang mulanya masih terlihat sebagai kesalahan, perlahan-lahan
menjadi hal yang lumrah.
Karena itu, ungkapan Imam Hasan al-Bashri tentang orang yang berhasil meraih
hari raya (‘Id) adalah orang yang tidak bermaksiat kepada Allah penting untuk
kita renungkan bersama. Katanya:
كل
يوم لا يعصى الله فيه فهو عيد، كل يوم يقطعه المؤمن في طاعة مولاه وذكره وشكره فهو
له عيد
“Tiap hari yang Allah tidak dimaksiati di dalamnya, maka itu adalah hari ‘Id
(hari raya). Tiap hari yang seorang mukmin menggunakan (seluruh waktu)nya dalam
ketaatan kepada Tuhannya, berdzikir kepada-Nya, dan bersyukur atas
(nikmat-nikmat)-Nya, maka itu adalah hari ‘Id.” (Imam Ibnu Rajab al-Hanbali,
Lathâ’if al-Ma’ârif: Fîmâ li Mawâsim al-‘Âm min al-Wadhâ’if, Beirut: Dar
al-Kutub al-Ilmiyyah, 1997, h. 317)
Wallahu a’lam bish-shawwab. []
Muhammad Afiq Zahara, alumni PP. Darussa’adah, Bulus, Kritig, Petanahan,
Kebumen
Imam Nawawi (w. 676 H) mengatakan dalam karyanya Al-Tibyan fi Adab Hamalat Al-Qur’an bahwa seorang qari’ diperbolehkan membaca Al-Qur’an dengan menggunakan qira’at sab’ah (tujuh ragam bacaan Al-Qur’an) yang telah disepakati oleh para ulama dan tidak diperkenankan menggunakan selain qira’at sab’ah atau riwayat syadz yang dinukil dari para qurra’ sab’ah (tujuh).
وتجوز
قراءة القرآن بالقراءات السبع المجمع عليها ولا يجوز بغير السبع ولا بالروايات
الشاذة المنقولة عن القراء السبعة
Artinya: “Diperbolehkan membaca Al-Qur’an dengan qira’at sab’ah yang disepakati
oleh para ulama, dan tidak boleh membaca Al-Qur’an selain qira’at sab’ah, juga
riwayat syadz (aneh, langkah) yang dinukil dari para imam tujuh”.
(Imam Nawawi, al-Tibyan fi Adab Hamalat Al-Qur’an: 75).
Ketujuh imam tersebut adalah: pertama, Imam Nafi’ bin Abdurrahman (w. 169 H).
Kedua, Imam Abdullah bin Katsir (w. 120 H). Ketiga, Imam Abu Amr, Zabban bin
Al-Ala’ Al-Bashri (w. 154 H). Keempat, Imam Abdullah Ibnu Amir Al-Syami (w. 118
H). Kelima, Imam Ashim bin Abi Al-Najud Al-Kufiy (w. 128 H). Keenam, Imam
Hamzah bin Al-Zayyat (w. 156 H). Ketujuh, Imam Ali bin Hamzah Al-Kisa’i (w. 189
H).
Dalam ungkapannya ini, Imam Nawawi secara tegas menyatakan bahwa selain qira’at
sab’ah (tujuh) tidak boleh untuk digunakan. Sementara itu, dunia Islam dan
orang-orang yang bergelut dalam bidang qira’at mengenal bahwa terdapat sepuluh
qira’at (qira'at asyrah) yang sah. Selain ke tujuh imam yang telah
tersebut di atas, terdapat tiga imam yang juga dinyatakan sah bacaannya dan
boleh dibaca baik dalam shalat maupun di luar shalat. Ketiga ulama tersebut
adalah: kedelapan, Imam Abu Ja’far bin Yazid al-Qa’qa’ al-Madani (w. 128 H).
Kesembilan, Imam Ya’qub bin Ishaq al-Hadhrami al-Bashri (w. 205 H), dan
Kesepuluh, Imam Khalaf bin al-Bazzar al-Asyir (w. 229 H).
Terkait hal ini, muncul sebuah pertanyaan, apakah Imam Nawawi mengingkari keberadaan qira’at selain yang tujuh?
Pada mulanya, penulisan qira’at Al-Qur’an dilakukan oleh para ulama dengan
maksud menghimpun dan mengakomodasi setiap qira’at tanpa melihat kualitas
sumber periwayatannya. Bisa jadi dalam riwayat-riwayat yang dihimpun terdapat
riwayat yang tidak termasuk kategori mutawatir.
Oleh sebab itu, pada generasi selanjutnya ditelitilah riwayat-riwayat yang ada
oleh Imam ibnu Mujahid, Ahmad bin Musa bin al-Abbas al-Baghdadi (w. 324 H)
untuk diseleksi dalam rangka menghimpun qira’at yang mutawatir. Dari sinilah
muncul tujuh qira’at yang mutawatir sekaligus mempresentasikan setiap negeri
Islam yang kala itu: Madinah, Makkah, Bashrah, Syam dan Kufah. Setiap negeri
Islam terwakili oleh satu imam qira’at kecuali Kufah yang diwakili tiga imam
qira’at.
Penelitian yang dilakukan Imam ibnu Mujahid ini mendapatkan respon yang positif
dari para ulama pada masanya maupun setelahnya. Sehingga banyak para ulama yang
menggunakan hasil penelitian ini, salah satunya adalah Abu Amr al-Dani (w. 444
H). Beliau menulis sebuah karya yang sangat terkenal dalam bidang qira’at
sab’ah yaitu: Al-Taisir fi al-Qira’at al-Sab’i. Karya ini kemudian direspons
oleh generasi setelahnya, yaitu Imam Syatibi (w. 591 H).
Al-Syatibi menulis karya yang terinspirasi dari karya al-Dani yaitu Hirz al-Amani
wa Wajh al-Tahani fi al-Qira’at al-Sab’i. Karya ini berbentuk qashidah/ syair
yang berakhiran La.
Di tangan al-Syatibi inilah qira’at sab’ah mendapatkan puncak kemasyhuran dan
sambutan positif dari para ulama pada masa itu dan setelahnya. Tidak kurang
dari 50 kitab yang memberi komentar atau syarah terkait karya ini. Dipelajari
di kampus, madrasah, ribath dan kuttab-kuttab pengajian hingga sampai saat ini.
Maka tak ayal, bila kemudian masyarakat muslim hanya mengenal qira’at sab’ah.
Lantas kapan qira’at asyrah dikenal?
Perkembangan ilmu qira’at terus melaju pesat seiring perkembangan intelektual
dan para peneliti di bidang ilmu qira’at. Pada abad ke sembilan, muncul Ibnu
al-Jazari (w. 833 H) memperkaya khazanah ilmu qira’at dengan menambahkan tiga imam
yang menurut hasil penelitiannya dianggap sahih dan mutawatir. Pemaparanya
terangkum dalam karyanya yang bernama al-Durrah al-Mudhi’ah fi al-Qira’at
al-Mutammimah li al-Asyrah.
Jika dilihat dari segi sestematika pembahasan dan ulasannya, kitab ini hampir
mirip dengan karya al-Syatibi, bisa dibilang terinspirasi dari karya
al-Syatibi. Dalam karyanyan ini, Ibnu al-Jazari hanya menyertakan 20 perawi dan
21 thariq. Jalur periwayatan seperti ini dikenal dengan “qira’at sughra”. Dari
sini bisa dikatakan bahwa qira’at Asyrah (10) mulai dikenal pada masa Imam
al-Jazari melalui penelitiannya.
Selain itu, Ibnu al-Jazari terus mengembangkan penelitiannya dalam bidang
qira’at Al-Qur’an. Dengan kepiawaiannya, beliau mampu mentahqiq bacaan yang
terdapat sekitar 40 kitab rujukan qira’at Al-Qur’an. Hasil dari penelitiannya
ini, Ibnu al-Jazari merumuskan bahwa jumlah thariq yang shahih sekitar 80
thariq. Dari jumlah 80 thariq tersebut masih memiliki akar thariq yang
berjumlah sekitar 980 thariq. Karya ini bernama “al-Nasyr fi al-Qira’at
al-Asyr”. Kemudian karya ini dirangkum dalam sebuah nadzam/syair berjumlah 1015
bait yang diberi nama "Thayyibat al-Nasyar”. Jalur periwayatan ini
kemudian dikenal dengan sebutan “qira’at kubra”.
Setelah menilik sejarah perkembangan ilmu qira’at ini, dapat diketahui secara
detail bahwa sebenarnya Imam Nawawi bukan mengingkari keberadaan qira’at selain
qira’at sab’ah. Namun karena pada masa Imam Nawawi, tiga qira’at yang terakhir
belum dikenal. Masa Imam Nawawi dengan al-Jazari terpaut dua abad. Andai saja,
Imam Nawawi mengetahui hasil penelitian al-Jazari tentu beliau akan menggunakan
redaksi bahwa tidak boleh seorang qari membaca Al-Qur’an selain qira’at asyrah
(sepuluh ragam bacaan Al-Qur'an). []
Moh. Fathurrozi, Pecinta Ilmu Qira’at, Kaprodi Ilmu Al-Qur'an dan Tafsir IAI Al
Khoziny Buduran Sidoarjo
اللّهُمَّ لا تَجْعَلْ قَلْبِي يَنْتَظِرُ شَيْئًا لَنْ يَأْتِيَ.
Yaa gusti Allah... Janganlah Kau buat hatiku menunggu pada sesuatu yang tidak akan pernah datang padaku.
Al Faatihah...
Tren childfree atau kesepakatan pasangan suami istri untuk tidak punya anak setelah menikah terus diperbincangkan. Ada yang setuju dan ada yang tidak. Yang setuju bilang karena itu hak setiap pasangan dengan beragam argumentasi yang diajukan; demikian pula yang tidak setuju mempunyai alasan tersendiri. Lalu bagaimana hukum asal childfree itu sendiri?
Hemat penulis, dalam kajian fiqih childfree secara riil dapat digambarkan
dengan kesepakatan menolak kelahiran atau wujudnya anak, baik sebelum anak
potensial wujud ataupun setelahnya. Sebab itu, pertanyaan hukum asal childfree
dapat dijawab dengan menelusuri hukum menolak wujudnya anak sebelum berpotensi
wujud, yaitu sebelum sperma berada di rahim wanita. Apakah haram atau makruh,
atau boleh? Sebab dari sinilah hukum asal itu ditemukan.
Dalam kajian fiqih ada beberapa padanan kasus, yaitu menolak wujudnya anak
sebelum sperma berada di rahim wanita, baik dengan cara (1) tidak menikah sama
sekali; (2) dengan cara menahan diri tidak bersetubuh setelah pernikahan; (3)
dengan cara tidak inzâl atau tidak menumpahkan sperma di dalam rahim setelah
memasukkan penis ke vagina; atau (4) dengan cara ‘azl atau menumpahkan sperma
di luar vagina. Semuanya secara substansial sama dengan pilihan childfree dari
sisi sama-sama menolak wujudnya anak sebelum berpotensi wujud.
Berkaitan hal ini Imam al-Ghazali menjelaskan hukum ‘azl adalah boleh, tidak
sampai makruh apalagi haram, sama dengan tiga kasus pertama yang sama-sama
sekadar tarkul afdhal atau sekadar meninggalkan keutamaan. Imam Al-Ghazali
menjelaskan:
وَإِنَّمَا
قُلْنَا لَا كَرَاهَةَ بِمَعْنَى التَّحْرِيمِ وَالتَّنْزِيهِ، لِأَنَّ إِثْبَاتَ
النَّهْيِ إِنَّمَا يُمْكِنُ بِنَصٍّ أَوْ قِيَاسٍ عَلَى مَنْصُوصٍ، وَلَا نَصَّ
وَلَا أَصْلَ يُقَاسُ عَلَيْهِ. بَلْ هَهُنَا أَصْلٌ يُقَاسُ عَلَيْهِ، وَهُوَ
تَرْكُ النِّكَاحِ أَصْلًا أَوْ تَرْكُ الْجِمَاعِ بَعْدَ النِّكَاحِ أَوْ تَرْكُ
الْإِنْزَالِ بَعْدَ الْإِيلَاجِ، فَكُلُّ ذَلِكَ تَرْكٌ لِلْأَفْضَلِ وَلَيْسَ
بِارْتِكَابِ نَهْيٍ. وَلَا فَرْقَ إِذِ الْوَلَدُ يَتَكَوَّنُ بِوُقُوعِ
النُّطْفَةِ فِي الرَّحْمِ
Artinnya, “Saya berpendapat bahwa ‘azl hukumnya tidak makruh dengan makna
makruh tahrîm atau makrûh tanzîh, sebab untuk menetapkan larangan terhadap
sesuatu hanya dapat dilakukan dengan dasar nash atau qiyâs pada nash, padahal
tidak ada nash maupun asal atau sumber qiyâs yang dapat dijadikan dalil
memakruhkan ‘azl. Justru yang ada adalah asal qiyâs yang membolehkannya, yaitu
tidak menikah sama sekali, tidak bersetubuh setelah pernikahan, atau tidak
inzâl atau menumpahkan sperma setelah memasukkan penis ke vagina. Sebab
semuanya hanya merupakan tindakan meninggalkan keutamaan, bukan tindakan
melakukan larangan. Semuanya tidak ada bedanya karena anak baru akan berpotensi
wujud dengan bertempatnya sperma di rahim perempuan. (Abu Hamid Al-Ghazali,
Ihyâ’ ‘Ulûmiddîn, [Beirut, Dârul Ma’rifah], juz II, halaman 51).
Nah, bila childfree yang dimaksud adalah menolak wujudnya anak sebelum
potensial wujud, yaitu sebelum sperma berada di rahim wanita, maka hukumnya
adalah boleh.
Lalu bagaimana dengan hadits-hadits Nabi saw yang menganjurkan orang untuk
menikah dan mempunyai anak? Bukankah Nabi saw berulang kali menganjurkannya,
seperti dalam dua hadits berikut:
إِنَّ
الرَّجُلَ لَيُجَامِعُ أَهْلَهُ فَيُكْتَبُ لَهُ بِجِمَاعِهِ أَجْرُ وَلَدٍ ذَكَرٍ
قَاتَلَ فِي سَبِيلِ اللهِ فَقُتِلَ قال العراقي: لم أجد له أصلا، ولكن قال
الزبيدي: بل له أصل من حديث أبي ذر أخرجه ابن حبان في صحيحه
Artinya, “'Sungguh seorang lelaki niscaya menyetubuhi istrinya kemudian sebab
persetubuhan itu pahala anak laki-laki yang berjihad fi sabilillah kemudian
mati syahid.' (Al-‘Iraqi berkata: 'Aku tidak menemukan asalnya', namun Murtadla
az-Zabidi berkata: 'Ada asalnya, yaitu dari hadits riwayat Abu Dzar ra yang
ditakhrij oleh Ibnu Hibban dalam kitab shahihnya'). (Muhammad bin Muhammad
al-Husaini az-Zabidi, Ithâfus Sâdatil Muttaqîn bi Syarhi Ihyâ-i’ ‘Ulûmiddîn,
[Beirut, Muassasatut Târîhil ‘Arabi, 1414 H/1994 M], juz V, halaman 379-380).
مَنْ
تَرَكَ النِّكَاحِ مَخَافَةَ الْعِيَالِ فَلَيْسَ مِنَّا ثَلَاثًا رواه أبو منصور
الديلمي في مسند الفردوس من حديث أبي سعيد بسند ضعيف
Artinya, “Siapa saja yang meninggalkan nikah karena khawatir kesulitan mengurus
anak istri maka tidak termasuk dariku. Nabi saw mengatakannya tiga kali.” (HR
Abu Manshur ad-Dailami dalam Musnadul Firdaus dari hadits Abu Sa’id dengan
sanad dha’îf). (Abul Fadhl al-‘Iraqi, al-Mughni ‘an Hamlil Asfâr, [Riyadl,
Maktabah Thabariyyah: 1415 H/1995 M], tahqiq: Asyraf Abdil Maqshud, juz I,
halaman 369 dan 403).
Berkaitan hadits pertama Imam Al-Ghazali menjawab, Nabi saw berkata demikian
karena andaikan lelaki tersebut mendapatkan anak seperti itu, maka ia
mendapatkan pahala tasabbub atau telah menjadi sebab wujudnya anak tersebut.
Sementara yang menciptakan, menghidupkan, dan menguatkan anak itu dalam
berjihad adalah Allah. Adapun lelaki itu telah melakukan sebab wujudnya anak
tersebut dengan menyetubuhi istrinya, yaitu ketika ia membiarkan spermanya
masuk ke dalam rahim istri. Menurut Al-Ghazali, hadits ini hanya bersifat
anjuran, dan bila ada orang memilih tidak melakukannya atau memilih tidak punya
anak maka boleh atau sekadar tarkul afdhal (meninggalkan keutamaan).
(Al-Ghazali, II/51).
Demikian pula terkait hadits kedua, Imam Al-Ghazali menegaskan bahwa hukum ‘azl
atau menumpahkan sperma di luar vagina hukumnya boleh seperti hukum memilih
tidak menikah sama sekali. Adapun sabda Nabi saw: “Maka tidak termasuk dariku”,
maksudnya adalah tidak sesuai dengan sunnah dan jejak langkahnya, yaitu
melakukan pilihan amal yang lebih utama. (Al-Ghazali, II/52).
Keteguhan Al-Ghazali dalam memegang pendapatnya yang menyatakan menolak anak
sebelum potensial wujud atau sebelum sperma berada dalam rahim perempuan adalah
boleh, mendapat dukungan Az-Zabidi. Secara tegas Az-Zabidi menyatakan:
إِذْ
لَا يَجِبُ عَلَيْهِ النِّكَاحُ إِلَّا عِنْدَ وُجُودِ شُرُوطِهِ. فَإِذَا
تَزَوَّجَ لَا يَجِبُ عَلَيْهِ إِلَّا الْمَبِيتُ وَالنَّفَقَةُ. فَإِذَا جَامَعَ
لَا يَجِبُ عَلَيهِ أَنْ يُنْزِلَ. فَتَرْكُ كُلِّ ذَلِكَ إِنَّمَا هُوَ تَرْكٌ
لِلْفَضِيلَةِ
Artinya, “Karena sebenarnya seorang lelaki tidak wajib menikah kecuali saat
terpenuhi syarat-syaratnya. Sebab itu, bila menikah maka ia tidak wajib
melakukan apapun kecuali menginap di suatu tempat bersama istri dan
menafkahinya. Bila ia menyetubuhinya, maka tidak wajib baginya untuk inzâl atau
memasukan sperma ke rahim istri. Karena itu, meninggalkan semua hal tersebut
hanyalah meninggalkan keutamaan, tidak sampai makruh apalagi haram.”
(Az-Zabidi, V/380).
Walhasil, dengan merujuk pendapat Imam al-Ghazali, demikian pula pendapat
Az-Zabidi, yang membolehkan penolakan wujud anak sebelum potensial wujud, yaitu
sebelum sperma berada di rahim perempuan, maka hemat penulis, hukum asal
childfree adalah boleh.
Namun demikian kebolehan ini dapat berubah sesuai berbagai faktor yang
mempengaruhinya. Seperti childfree yang dalam praktik riilnya dilakukan dengan
menghilangkan sistem reproduksi secara total, maka hukumnya haram, sebagaimana dijelaskan
dalam tulisan berjudul: Hukum Memutus Fungsi Reproduksi melalui Childfree.
Wallâhu a’lam. []
Ahmad Muntaha AM-Redaktur Keislaman NU Online dan Founder Aswaja Muda.
Dari Pinjaman Online ke Pegadaian Online
Pembahasan tentang pegadaian online terkait erat dengan pinjaman online. Beberapa waktu yang lalu, penulis pernah menyampaikan bahwa saat ini fintech (financial technology) sudah merambah ke dunia pinjaman online. Dari pinjaman ini, ada yang memakai sistem konvensional dan ada yang memakai sistem syariah. Yang menarik adalah sistem syariah ini. Ternyata mekanismenya adalah masih sama dengan offline, yaitu berbasis akad jual beli. Bagaimana bisa? Simak alurnya!
1. Anda ingin membeli sesuatu secara online tapi tidak punya uang. Anda copy dan kirim link barang yang akan Anda beli tersebut ke link pinjaman online syariah.
2. Selanjutnya, pihak pinjaman online ini membeli barang yang Anda kirim link-nya tadi secara cash.
3. Barang yang sudah dibeli oleh provider pinjaman online syariah tadi selanjutnya dijual ke Anda secara kredit oleh provider.
4. Setelah Anda menerima barang, Anda membayar harga barang yang Anda beli ke pihak provider dengan jalan mencicil.
Pinjaman ini dimaksudkan apabila rupa pinjaman itu adalah berupa barang. Bagaimana jika Anda seseorang yang ingin mendapatkan pinjaman uang secara online dan berbasis pinjaman syariah? Jelasnya, alurnya hampir sama dengan pinjaman berupa barang. Cermati alur berikut!
1. Anda mengirim gambar barang yang hendak dijadikan penjamin pinjaman ke provider.
2. Selanjutnya provider menilai kekuatan harga dari barang tersebut, lalu melakukan negosiasi harga dengan Anda.
3. Selanjutnya pihak provider membeli barang Anda secara cash sesuai dengan nilai yang disepakati.
4. Setelah itu, pihak provider menjual kembali barang tersebut ke Anda secara kredit, kemudian dilakukan kalkulasi skema cicilan.
5. Jika sudah setuju, Anda lalu menerima uang harga cash barang yang dijadikan jaminan dari provider.
Bermula dari skema pinjaman online berbasis syariah ini, selanjutnya berkembang istilah pegadaian online. Sistem ini dikembangkan pertama kalinya oleh PT Pegadaian dan dinamakan sebagai PDS (Pegadaian Digital System). Mekanisme pelaksanaannya hampir sama, namun berbeda karena ada sisi kunjungan ke rumah, tempat nasabah pegadaian itu berada. Simak alurnya!
1. Anda hendak menggadaikan mobil atau kendaraan lainnya di pegadaian.
2. Anda diminta untuk mengisi data lewat aplikasi PDS
3. Selanjutnya, pihak pegadaian mengunjungi Anda dan melihat mobil atau barang yang digadaikan
4. Di saat itu dilakukan penaksiran langsung terhadap kemampuan harga barang yang digadaikan ditambah kalkulasi sewa titip tempat penyimpanan
5. Uang yang Anda butuhkan dicairkan
6. Pegadaian membawa barang Anda untuk dititipkan di tempat penyimpanan pegadaian
Perbedaan antara pinjaman syariah online dan pegadaian online terletak pada pola eksekusi barang. Jika pada pegadaian, barangnya harus dititipkan di tempat gadai, sementara pinjaman syariah online, barang masih bisa dipakai oleh nasabah, karena penerapan sistem jual belinya.
Karena dalam pegadaian, barang gadai (marhun) adalah masih milik dari penggadai (râhin), maka râhin dikenai biaya sewa tempat penitipan sebagai aplikasi dari biaya perawatan / penjagaan barang gadai. Ingat bahwa perawatan barang yang digadaikan adalah masih menjadi tanggung jawab râhin disebabkan karena belum adanya pindah kepemilikan. Umumnya biaya sewa tempat simpan barang ini ditetapkan sebesar 0.7% dari harga barang dengan minimal booking sewa tempat selama 15 hari dan kelipatannya.
Jadi, misalnya harga gadai kendaraan adalah sebesar 100 juta dengan tempo pelunasan selama satu tahun, maka biaya sewa tempat ini dapat dihitung sebagai berikut: (0.7% × 100 juta) x 2 x 12 bulan = 16.8 juta rupiah per tahun
Biaya ini wajib dikeluarkan râhin sebagai bagian dari akad ijârah (sewa-menyewa) tempat dan umumnya dihitung secara bersama-sama dengan pokok pinjaman gadai. Jika gadainya 100 juta, maka angka ini ditambahkan dengan biaya sewa sebesar 16.8 juta, sehingga total pengembalian adalah sebesar 116.8 juta rupiah.
Berapakah biaya cicilan per bulannya? Jika dicicil setiap bulan dengan hitungan flat rate (cicilan yang mendatar sama besarnya), maka biaya cicilan akan menjadi: 116.8 juta /12 bulan = 9.733 juta rupiah per bulan. Tentu harga ini masih belum termasuk di dalamnya berupa biaya admin. Wallahu a'lam bish shawab. []
Ustadz Muhammad Syamsudin, Peneliti Bidang Ekonomi Syariah Aswaja NU Center PWNU Jawa Timur
Yaa gusti Allah... Yaa Rahman, Yaa Rahim...
Bahagiakanlah hati kami, gantikanlah setiap yang menyempitkan dengan kebahagiaan, setiap kesulitan dengann kemudahan, dan setiap yang sakit dengan kesembuhan.
Al Faatihah...
Pemberontakan Partai Komunis Indonesia (PKI) pada rentang 1948 hingga 1965 merupakan peristiwa tragis bagi bangsa Indonesia. Bukan hanya menjadi catatan sejarah buruk karena tidak sedikit nyawa rakyat tak berdosa melayang, tetapi juga menjadi noktah hitam bagi demokrasi yang menjujung nilai-nilai kemanusiaan. Di sini masyarakat Indonesia perlu mencatat perjuangan para kiai pesantren dan Nahdlatul Ulama (NU) dalam mencegah pergerakan PKI dengan segala ambisi politiknya.
KH Saifuddin Zuhri dalam Berangkat dari Pesantren (LKiS, 2013) mencatat bahwa
NU dari awal sudah memahami gerak-gerik PKI dengan komunismenya, tidak sulit
bagi NU untuk mengidentifikasi siapa dalang dari pemberontakan Gerakan 30
September 1965 (G30S) di Madiun dan di beberapa daerah dengan melakukan
penculikan dan perbuatan sadis lainnya. Sebab saat itu, belum banyak yang
mengetahui siapa dalang bughot tersebut.
NU mengidentifikasi bahwa percobaan perebutan kekuasaan melalui pemberontakan
fisik didalangi oleh PKI. Karena itu, pada tanggal 3 Oktober 1965, ketika
banyak orang belum mengetahui siapa dalang G30S, NU telah menuntut agar
pemerintah membubarkan PKI.
Upaya merongrong dalam bentuk lain yang dilakukan PKI, pertama bisa dilihat
dari usaha penetrasi ideologi komunis. Kedua, PKI melakukan pemberontakan
fisik. Upaya bughot yang dilakukan PKI menelan banyak nyawa, termasuk dari
kalangan NU yang sedari awal berjuang melawan ideologi komunis. NU melakukan
perlawanan terhadap PKI di medan politik dan di lapangan selama kurun waktu 17
tahun.
Pada rentang tahun 1957-1959, Majelis Konstituante memang sedang membahas
rancangan dasar negara. PKI masuk dalam faksi Pancasila. Namun, dasar negara
Pancasila yang PKI perjuangkan hanya kamuflase politik karena yang
diperjuangkan justru materialisme historis yang ateis.
Pendiri NU Hadratussyekh KH Hasyim Asy’ari pada tahun 1947 mengingatkan bahaya
ajaran materialisme historis yang ateis itu bagi bangsa Indonesia. Karena
konsep yang sedang dikembangkan secara gencar oleh PKI yaitu menyerukan
pengingkaran terhadap agama dan pengingkaran terhadap adanya akhirat. (Lihat
Naskah Khotbah Iftitah KH Hasyim Asy’ari pada Muktamar ke-14 NU di Madiun tahun
1947)
Strategi dalam menghadapi PKI ditegaskan kembali oleh KH Saifuddin Zuhri (2013:
502) dalam sebuah tulisannya yang menyatakan bahwa: “Dengan dalil agama sebagai
unsur mutlak dalam nation building, maka kita dapat menyingkirkan kiprah PKI di
mana-mana. Bahkan kita bisa menumpas segala bentuk ateisme, baik ateisme yang
melahirkan komunisme maupun ateisme yang melahirkan kapitalisme, liberalisme,
atau fasisme. Setiap ideologi yang berbahaya tidak hanya bisa dilawan dengan
kekerasan dan senjata, tetapi juga harus dihadapi dengan kesadaran beragama.”
Terkait penetrasi ideologi komunis, Abdul Mun’im DZ dalam Benturan NU-PKI
1948-1965 tidak terlepas dari perang global saat itu, yaitu Perang Dunia II.
Marxisme merupakan pemikiran yang lahir dari filsafat Barat yang berjuang
melawan perkembangan kapitalisme. Namun, keduanya lahir dari budaya yang sama,
keduanya sama-sama ateis dan materialis. Karena itu, sekeras apapun permusuhan
kedua saudara sekandung tersebut bisa ketemu dan saling bergandengan
bahu-membahu.
Kapitalisme dan imperialisme Barat bisa bergandengan tangan dengan komunisme
Soviet dalam menghadapi fasisme Nazi, Jepang, dan Italia dalam Perang Dunia II.
Begitu juga dengan kolonialisme Belanda yang kapitalis itu bisa bekerja sama
dengan komunisme yang sosialis dalam menghadapi Jepang dan dalam pemberontakan
Madiun.
Para kiai NU tidak menutup mata, bahkan melek terhadap penetrasi ideologi itu.
Sedari awal kalangan pesantren menolak segala bentuk penjajahan atau
kolonialisme, baik saat Belanda dan Jepang menjajah bangsa Indonesia. Namun,
para kiai tidak terkecoh dan tidak melibatkan diri dalam pertarungan antara komunisme
dan kolonialisme di Indonesia. Karena keduanya sama-sama ateis dan sama-sama
imperialis.
Dengan tegas KH Idham Chalid dalam perhelatan Hari Lahir ke-39 NU di Jakarta
mengatakan bahwa politik non-komunis atau anti-komunis yang dijalankan NU tidak
hanya untuk menghadapi komunisme saja, tetapi NU akan berhadapan dengan segala
bentuk la diniyun (sekularisme) dan segala bentuk zanadiqoh (ateisme). Karena
keduanya merupakan satu-kesatuan sebagai musuh NU. (Lihat Verslaag Muktamar
ke-22 NU tahun 1959 di Jakarta, dalam Abdul Mun’im DZ).
[]
Sumber: NU Online
Bencana alam gempa, banjir, angin topan, dan semisalnya, datang secara tiba-tiba. Tentu hal ini membuat panik orang yang mengalaminya. Yang terpikir hanya menyelamatkan diri dan keluarga bagaimana pun caranya.
Meskipun demikian, sebagai seorang Muslim dalam kondisi apapun tentu hendaknya tetap dapat mengambil sikap terbaik dan penuh adab islami. Demikian pula dalam kondisi bencana yang datang mendadak. Lalu apakah adab-adab utama saat terjadi bencana menurut Islam? Adab pertama,adalah menyelamatkan diri. Bahkan orang yang dalam kondisi melaksanakan shalat fardhu pun boleh untuk membatalkan shalatnya demi menghindarkan dirinya dari ancaman bencana. Dalam konteks ini terdapat riwayat:
إِذَا رَجُلٌ يُصَلِّي وَإِذَا لِجَامُ دَابَّتِهِ بِيَدِهِ فَجَعَلَتْ الدَّابَّةُ تُنَازِعُهُوَجَعَلَ يَتْبَعُهَا ...(رَوَاهُ الْبُخَارِيُّ
Artinya, “Seketika itu ada seseorang (Sahabat Abu Barzah al-Aslami Ra) yang sedang shalat dan tali kendali hewan tunggangannya (dipengang) ditangannya, lalu tiba-tiba hewan itu menyeretnya dan ia pun mengikutinya ... (Riwayat al-Bukhari)
Dari hadits inilah kemudian para ulama memahami bahwa untuk menjaga keselamatan segala hal yang dikhawatirkan rusak, baik benda maupun lainnya maka seseorang boleh memutus atau membatalkan shalat. (Lihat Ahmad bin Ali bin Hajar Al-‘Asqallani, Fathul Bari Syarh Shahih Al-Bukhari, [Beirut, Darul Ma’rifah: 1379 H], juz III, halaman 82).
Bahkan menurut Syaikh Izzuddin Ibn Abdissalam (577-660 H/1181-1262 M) pakar fiqih Syafi’i asal Damaskus, upaya penyelamatan jiwa harus diprioritaskan daripada pelaksanaan shalat, sebab menyelamatkan jiwa lebih utama daripada shalat dan sebenarnya keduanya dapat tercapai dengan menyelamatkan jiwa terlebih dahulu kemudian baru melakukan shalat meskipun qadha. Sebab tidak diragukan lagi bahwa kemaslahatan shalat tepat waktu tidak lebih unggul, bahkan tidak bisa dianggap selevel dengan kemaslahatan penyelamatan jiwa seseorang. (Lihat ‘Izzuddin Abdul Aziz bin Abdissalam, Qawaid al-Ahkam fi Mashalih al-Anam, [Beirut, Darul Ma’arif: tanpa catatan tahun], juz I, halaman 57).
Adab kedua, merendahkan diri kepada Allah dengan berdoa untuk keselamatan dan kebaikan sesuai dengan bencana yang terjadi, berdasarkan hadits:
كَانَ النَّبِىُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا عَصَفَتِ الرِّيحُ قَالَ:اَللهم إِنِّى أَسْأَلُكَ خَيْرَهَا وَخَيْرَ مَا فِيهَا وَخَيْرَ مَا أُرْسِلَتْ بِهِ وَأَعُوذُ بِكَ مِنْ شَرِّهَا وَشَرِّ مَا فِيهَا وَشَرِّ مَا أُرْسِلَتْ بِهِ. (رَوَاهُ مُسْلِمٌ
Artinya, “Nabi Saw ketika ada angin bertiup sangat kencang beliau berdoa: ‘Ya Allah, sungguh aku memohon kepadamu kebaikan angin, kebaikan apa yang ada di dalamnya dan kebaikan apa yang dikirimkan dengannya; dan aku berlindung kepada-Mu dari keburukannya, dari keburukan apa yang ada di dalamnya dan keburukan apa yang dikirimkan dengannya,” (HR Muslim).
Adab ketiga, bila memungkinkan lakukanlah shalat sunnah mutlak dua rakaat secara sendirian berdasarkan hadits tersebut sesuai ijtihad para ulama, sebagaimana Ibn al-Muqri (755-837 H/1354-1433 M) pakar fiqih Syafi’i asal Yaman yang dikutip oleh Syekh Nawawi Al-Bantani:
يُسَنُّ لِكُلِّ أَحَدٍ أَنْ يَتَضَرَّعَ بِالدُّعَاءِ وَنَحْوِهِ عِنْدَ الزَّلَازِلِ وَنَحْوِهَا كَالصَّوَاعِقِ وَالرِّيحِ الشَّدِيدِ وَالْخُسُفِ، وَأَنْ يُصَلِّيَ فِي بَيْتِهِ مُنْفَرِدًا كَمَا قَالَهُ ابْنُ الْمُقْرِي لِئَلَّا يَكُونَ غَافِلًا، لِأَنَّهُ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ إِذَا عَصَفَتِ الرِّيحُ قَالَ:اَللهم إِنِّي أَسْأَلُكَ خَيْرَهَا
Artinya, “Disunnahkan bagi setiap orang untuk mendekatkan diri kepada Allah dengan berdoa dan semisalnya, ketika terjadi gempa bumi dan semisalnya, seperti petir dan angin yang dahsyat dan gerhana; dan disunnahkan juga untuk shalat (sunnah) di rumahnya secara sendirian sebagaimana dikatakan oleh Ibnul Muqri, agar tidak lalai, berdasarkan hadits bahwa Nabi SAW ketika ada angin bertiup sangat kencang ia berdoa, ‘Ya Allah, sungguh aku memohon kepadamu kebaikan angin...’” (Lihat Muhammad bin Umar bin Ali bin Nawawi Al-Jawi, Nihayatuz Zain fi Irsyadil Mubtadi’in, [Beirut, Darul Fikr: tanpa catatan tahun], halaman 105).
Demikian tiga adab utama bagai seorang Muslim ketika mengalami bencana yang datangnya tak disangka-sangka. Dalam kondisi apa pun idealnya seorang Muslim tetap ingat terhadap Allah SWT. Wallahu a‘lam. []
(Ahmad Muntaha AM, Wakil Sekretaris PW LBM NU Jawa Timur)
Dalil pokok yang dijadikan pedoman para ulama adalah firman Allah ﷻ dalam Al-Qur’an, yaitu:
وَإِذَا ضَرَبْتُمْ فِي الْأَرْضِ فَلَيْسَ عَلَيْكُمْ جُنَاحٌ أَنْ تَقْصُرُوا مِنَ الصَّلَاةِ
Artinya, “Dan apabila kamu bepergian di bumi, maka tidaklah berdosa kamu meng-qashar shalat” (QS An-Nisa’: 101).
Sejarah Disyariatkannya Shalat Qashar
Para ulama fiqih berbeda pendapat mengenai shalat qashar. Banyak ulama yang berpendapat bahwa pada hukum asalnya, shalat hanya wajib dilakukan dua rakaat. Tidak ada yang 4 rakaat. Pada perkembangannya, barulah disyariatkan shalat 4 rakaat dalam keadaan tidak bepergian (hadhar). Sedangkan hukum asal shalat hanya 2 rakaat itu ditetapkan pada keadaan perjalanan (safar). Pendapat ini berdasarkan perkataan Sayyidah Fatimah yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad:
أول ما فرضت الصلاة ركعتين ركعتين، فأقرّت في السفر، وزيدت في الحضر
“Pertama kali shalat diwajibkan adalah 2 rakaat. Kemudian shalat safar ditetapkan (dengan hukum ini), dan shalat hadhar (saat di rumah) ditambah (menjadi 4 rakaat). (Syekh Dr. Wahbah Zuhaili, al-Fiqhul Islami wa Adillatihi, [Beirut, Dar al-Fikr: 2010], juz 5, h. 234).
Hanya saja, banyak juga ulama lain tidak sepakat dengan pendapat ini. Mereka berpendapat bahwa shalat qashar disyariatkan bersamaan dengan shalat khauf (shalat yang khusus dipraktikkan dalam peperangan) saat peperangan Dzatir Riqa’ pada tahun 4 hijriah. (Syekh Khalil al-Qaththan, Tarikh Tasyri’ al-Islami, h. 147-148).
Ulama juga berbeda pendapat perihal awal disyariatkannya shalat safar (perjalanan). Menurut Imam Ibnul Atsir, disyariatkan pada tahun ke-4 dari hijrahnya Nabi. Menurut Imam ad-Daulabi, disyariatkan pada bulan Rabiul Akhir, tepatnya pada tahun kedua Hijriah. Ada juga yang berpendapat bahwa disyariatkannya shalat safar bertepatan setelah 40 hari dari hijrahnya Nabi. (Syekh Sulaiman al-Jamal, Hasyiyatul Jamal ala Syarhil Manhaj, [Bairut, Dar al-Kutub: 1996], juz 3, h. 138).
Jika dalam menentukan asal muasal shalat qashar banyak perdebatan yang terjadi di kalangan para ulama, maka dalam sejarah shalat jamak, para ulama bisa dikatakan sepakat bahwa menjamak (menggabung) dua shalat fardhu dalam satu waktu. Shalat jamak pertama dilakukan Nabi Muhammad ﷺ pada tahun 9 Hijriah, lebih tepatnya saat peristiwa Perang Tabuk, yaitu peperangan terakhir yang diikuti Rasulullah. (Syekh Sulaiman al-Jamal, Hasyiyatul Jamal, 1996, juz 3, h. 140).
Definisi Shalat Qashar dan Syaratnya
Qashar adalah kata yang diambil dari bahasa Arab yang makna asalnya adalah memperpendek/meringkas. Dalam istilah ilmu fiqih, makna ini menjadi lebih sempit, yaitu memperpendek rakaat shalat wajib, dari 4 rakaat menjadi 2 rakaat, sebagai dispensasi (rukhsah) bagi musafir. Hanya saja, tidak semua musafir dan tidak setiap perjalanan mendapatkan dispensasi qashar. Ada 11 syarat yang harus dipenuhi terlebih dahulu menurut Habib Hasan al-Kaf untuk mendapatkan keringanan ini, yaitu:
1. Bertujuan pada tempat yang telah ditentukan.
2. Perjalanan bersifat mubah, bukan karena kemaksiatan.
3. Perjalanannya karena tujuan yang baik, seperti berdagang, haji, silaturahim, dan sebagainya.
4. Perjalanannya mencapai 2 marhalah. Sedangkan ukuran yang berlaku untuk diterapkan saat ini, yaitu, kurang lebih 89 km (88,704 km).
5. Telah melewati batas desa.
6. Masih ada dalam perjalanan sampai shalat selesai.
7. Mengetahui hukum diperbolehkannya meng-qashar shalat.
8. Shalat yang diqashar adalah shalat 4 rakaat. Tidak ada qashar dalam shalat Subuh dan Maghrib.
9. Niat melakukan shalat qashar ketika takbiratul ihram.
10. Menjaga hal-hal yang bisa menghilangkan niat qashar dan tidak ada keraguan dalam niat tersebut.
11. Tidak bermakmum kepada orang yang shalat sempurna (4 rakaat).
(Habib Hasan bin Ahmad bin Muhammad al-Kaf, Taqrirat as-Sadidah, halaman 314-315).
Hikmah Disyariatkannya Shalat Qashar
Sebagaimana penjelasan di atas, Allah ﷻ menegaskan bahwa dalam mensyariatkan hukum-hukum agama, Allah ﷻ tidak menetapkan sesuatu yang menyulitkan atau menyusahkan hamba-Nya. Sehingga apabila seorang hamba sedang dalam kesulitan dalam menjalankan perintah agama-Nya, Allah ﷻ telah memberikan kemurahan baginya, agar hukum Islam dapat senantiasa diterima dan dilaksanakan dalam keadaan apa pun. Sejalan dengan firman Allah dalam Al-Qur’an, yaitu:
وَمَا جَعَلَ عَلَيْكُمْ فِي الدِّينِ مِنْ حَرَجٍ
Artinya, “Dan Dia tidak menjadikan kesukaran untukmu dalam agama” (QS Al-Hajj: 78).
Dalam sebuah hadits juga dijelaskan. Rasulullah ﷺ bersabda:
بُعِثْتُ بِالْحَنِيفِيَّةِ السَّمْحَةِ
Artinya, “Aku diutus dengan membawa agama yang lurus serta pemurah” (HR Ahmad).
Dua dalil ini merupakan dasar utama beberapa dispensasi (rukhsah) di dalam syariat Islam, yang di antaranya adalah rukhsah melakukan shalat qashar bagi orang-orang yang sedang bepergian.
Bepergian merupakan kebutuhan bagi banyak orang. Dari pergi untuk berdagang, belajar, silaturahim, hingga pergi untuk menunaikan ibadah haji. Bersamaan dengan itu, bepergian terkadang memberikan efek capek, lelah dan lainnya kepada mereka yang sedang bepergian. Belum lagi jika melihat sejarah permulaan Islam yang didakwahkan Nabi Muhammad ﷺ, bepergian tidak semudah sebagaimana yang dirasakan saat ini. Mulai dari tidak adanya kendaraan praktis dan siap pakai seperti sekarang, ditambah lagi iklim Jazirah Arab yang kering dan gersang.
Akan sangat sulit jika di tengah perjalanan yang sifatnya mendesak dan terburu-buru diharuskan berhenti lima kali di tengah perjalanannya dalam setiap hari dan malam untuk mengerjakan shalat tanpa adanya keringanan sama sekali. Bahkan, bukan tidak mungkin jika banyak di antara umat Islam meninggalkan shalat demi kepentingan perjalanannya. Oleh karenanya, syariat Islam memberikan kemudahan bagi orang-orang yang sedang bepergian dan untuk mengurangi kemungkinan tadi, dengan ditetapkannya rukhsah melakukan shalat qashar.
Semua itu ternyata telah disampaikan Rasulullah ﷺ beberapa abad yang lalu. Dalam sebuah hadits disebutkan:
السفر قطعة من العذاب يمنع أحدكم نومه وطعامه وشرابه فإذا قضى أحدكم نهمته من سفره فليعجل إلى أهله
Artinya, “Bepergian adalah sepotong siksaan. Ia menghalangi salah seorang dari kalian dari tidur, makan, dan minum. Maka, jika telah selesai dari keperluan perjalanannya, segeralah kembali pada keluarganya” (HR Abu Hurairah).
Maksud dari hadits di atas adalah setiap perjalanan tidak bisa lepas dari sebuah kesulitan. Mulai dari panjangnya perjalanan dan perpisahan dengan orang-orang tercinta, seperti anak, istri dan semua keluarganya. Tidak hanya itu, dengan melakukan perjalanan, di mana pun, kapan pun dan dengan fasilitas apa pun akan merasakan perpisahan dengan sanak famili, seperti terhalangnya berbagai aktivitas, mulai dari mendidik anak, bersenda gurau dengan keluarga dan sanak kerabat, atau bisa juga terhalang dari bercengkerama dengan istri. Hehe. []
Sunnatullah, santri sekaligus pengajar di Pondok Pesantren Al-Hikmah Darussalam Kokop Bangkalan Jawa Timur.