Jumat, 03 Juli 2015

Quraish Shihab: Puasa Mengasah Aneka Kecerdasan



Puasa Mengasah Aneka Kecerdasan
Oleh: M. Quraish Shihab

Puasa bermula dengan tidak makan, tidak minum, dan tidak bercampur dengan pasangan sejak terbit hingga terbenamnya matahari. Tetapi, ia seharusnya berakhir dengan tecerminnya semua sifat Allah―kecuali sifat Ketuhanan-Nya―dalam kepribadian seseorang karena berpuasa adalah upaya meneladani sifat-sifat Tuhan sesuai dengan kemampuan manusia sebagai makhluk.

Dengan sifat-Nya ar-Rahmân (Pelimpah kasih bagi seluruh makhluk dalam kehidupan dunia ini) yang berpuasa melatih diri memberi kasih kepada semua makhluk, tanpa kecuali. Dengan sifat-Nya ar-Rahîm (Pelimpah rahmat di hari kemudian) ia memberi kasih kepada saudara-saudara seiman dan meyakini bahwa tiada kebahagiaan, kecuali bila rahmat-Nya yang di hari akhir itu dapat diraih. Dengan sifat al-Quddûs (Mahasuci) yang berpuasa menyucikan diri―lahir dan batin―serta mengembangkan diri sehingga selalu berpenampilan indah, baik, dan benar. Dengan meneladani sifat-Nya al-‘Afuw (Maha Pemaaf) seseorang akan selalu bersedia memberi maaf, sedang dengan meneladani sifat al-Karîm (Maha Pemurah) seseorang akan menjadi sangat dermawan, demikian seterusnya.

Dengan upaya meneladani sifat-sifat Tuhan, seorang yang berpuasa melatih dan mendidik dirinya untuk meraih aneka kecerdasan, melalui potensi–potensi yang dianugerahkan Allah kepadanya. Ia adalah kecerdasan intelektual, spiritual, dan emosional.

Kecerdasan spiritual melahirkan iman serta kepekaan yang mendalam. Fungsinya mencakup hal-hal yang bersifat supranatural dan religius. Ialah yang menegaskan wujud Tuhan, melahirkan kemampuan untuk menemukan makna hidup, serta memperhalus budi pekerti, dan ia juga yang melahirkan mata ketiga atau indra keenam bagi manusia.

Dimensi spiritual mengantar manusia percaya kepada yang gaib, dan ini merupakan tangga yang harus dilalui untuk meningkatkan diri dari tingkat binatang yang tidak mengetahui, kecuali apa yang terjangkau oleh pancaindranya, menuju ke tingkat kemanusiaan yang menyadari bahwa wujud ini jauh lebih besar dan lebih luas daripada wilayah kecil dan terbatas yang hanya dijangkau oleh indra atau alat-alat yang merupakan kepanjangan tangan indra. Kecerdasan inilah yang mengantar manusia menuju serta memuja suatu realitas yang Mahasempurna, tanpa cacat, tanpa batas, dan tanpa akhir, yakni Allah Yang Mahaagung.

Allah swt. menganugerahi setiap manusia nafsu dan dorongan syahwat. Allah memperindah hal itu dalam diri setiap insan. Allah berfirman: Dijadikan indah bagi manusia kecintaan kepada aneka syahwat, yaitu wanita-wanita, anak-anak lelaki, harta yang tidak terbilang lagi berlipat ganda dari jenis emas, perak, kuda pilihan, binatang-binatang ternak, dan sawah ladang (QS. Âli ‘Imrân [3]: 14).

Kecintaan inilah yang merupakan pendorong utama bagi segala aktivitas manusia. Dorongan ini mencakup dua hal pokok, yaitu “memelihara diri” dan “memelihara jenis”. Dari keduanya lahir aneka dorongan, seperti memenuhi kebutuhan sandang, pangan, papan, keinginan untuk memiliki, hasrat untuk menonjol. Semuanya berhubungan erat dengan dorongan/fithrah memelihara diri, sedang dorongan seksual berkaitan dengan upaya manusia memelihara jenisnya. Itulah sebagian fithrah yang dihiaskan Allah kepada manusia. Tetapi setan dan nafsu sering kali juga memperindah hal-hal tersebut pada diri manusia, guna melengahkannya dari tugas kekhalifaan. Seks, jika diperindah setan, maka ia jadikan tujuan. Cara dan dengan siapa pun, tidak lagi diindahkan. Kecintaan kepada anak―jika diperindah setan―maka subjektivitas akan muncul, bahkan “atas nama cinta” orangtua membela anaknya walau salah, memberinya walau dengan melanggar, harta pun jika dicintakan setan maka manusia akan menghalalkan segala cara untuk memperolehnya, akan menumpuk dan menumpuk serta melupakan fungsi sosial harta.

Hawa nafsu tidak pernah puas dan selalu mengajak kepada hal-hal yang bersifat negatif. Ia bagaikan air laut, semakin diminum, semakin mengundang haus atau bagaikan eksim, semakin digaruk, semakin nyaman, tetapi kesudahannya adalah luka yang terinfeksi sehingga mengancam jiwa raga si penderita.  “Siapa yang memilih dunia dengan mengorbankan akhirat, maka dunia meninggalkannya dan akhirat pun luput darinya.” Dengan kecerdasan emosi, manusia akan mampu mengarahkan emosi atau nafsu ke arah positif sekaligus mengendalikannya sehingga tidak terjerumus dalam kegiatan negatif.

Dengan kecerdasan emosi itu, manusia mampu mengendalikan nafsu, bukan membunuh dan meniadakannya. Pengendalian diri, bukan penyangkalan dan peniadaan pribadi. Emosi dan nafsu yang terkendali sangat kita butuhkan sebab ia merupakan salah satu faktor yang mendorong terlaksananya tugas kekhalifaan di bumi, yakni membangun dunia sesuai dengan kehendak dan tuntunan Ilahi.

Kecerdasan emosi mendorong lahirnya ketabahan dan kesabaran menghadapi segala tantangan dan ujian. Itu sebabnya ditemukan dalam tuntunan Rasul saw. yang berkaitan dengan puasa. Sabda beliau yang  diriwayatkan oleh Bukhari melalui Abu Hurairah bahwa:

إذا كان يوم صوم أحدكم فلا يرفث و لا يصخب فإن سابه أحد أو قاتله فليقل :إني صائم (رواه البخاري(

Maksudnya: “Apabila salah seorang di antara kamu berpuasa, maka janganlah ia mengucapkan kata-kata buruk, jangan juga berteriak memaki. Bila ada yang memakinya atau mengutuknya, maka hendaknya ia berucap, ‘Aku sedang berpuasa,’ yakni aku sedang mengendalikan nafsuku sehingga tidak akan berbicara atau bertindak, kecuali sesuai dengan tuntunan akal, moral, dan agama. Kecerdasan emosi menjadikan penyandangnya berbicara dan bertindak pada saat diperlukan dan dengan kadar yang diperlukan serta pada waktu dan tempat yang tepat. Kecerdasan emosi mengantar Rasul saw. dan para sahabat menggunakan emosi amarah dan tampil berperang di Badar pada tanggal 17 Ramadhan tahun ke-2 H/624 M  walaupun ketika itu kekuatan fisik dan senjata mereka sangat minim. Dan dengan kecedasan itu pula, Rasul saw. mempersembahkan rahmat, pemaafan konsiliasi terhadap orang-orang yang pernah memusuhi Islam. Ini juga terjadi di bulan Ramadhan tahun ke-8 H/630 M ketika beliau berhasil menguasai kota Mekkah dan dalam keadaan beliau sangat kuat.

Kecerdasan emosi yang dapat menjadikan jiwa manusia seimbang, keseimbangan yang dapat menjadikannya berpikir logis, objektif, bahkan memiliki kesehatan dan keseimbangan tubuh. Siapa yang berfungsi dengan baik kecerdasan emosi dan spiritualnya, maka akan selamat pula anggota badannya dari segala kejahatan dan selamat pula hatinya dari segala maksud buruk.

Kecerdasan ketiga yang kita butuhkan adalah kecerdasan intelektual. Jika kecerdasan ini tidak dibarengi dengan kedua kecerdasan di atas, maka manusia, bahkan kemanusiaan seluruhnya, akan terjerumus dalam jurang kebinasaan. Ia akan menjadi seperti kepompong yang membakar dirinya sendiri karena “kepintarannya”. Harus diingat bahwa kebodohan bukanlah sekadar lawan dari banyaknya pengetahuan karena bisa saja seseorang memiliki informasi yang banyak, tetapi apa yang diketahuinya tidak bermanfaat baginya. Karena itu, pesan Luqman as. Kepada anaknya: “Anakku! Tidak ada baiknya mempelajari apa yang belum engkau ketahui selama engkau belum memanfaatkan apa yang telah engkau ketahui. Ini seperti pengumpul kayu yang tak mampu memikulnya, tetapi ia menambah lagi kayu yang lain untuk dipikulnya.” Pengetahuan adalah nur, cahaya yang dicampakkan Allah ke hati siapa yang mempersiapkan diri untuk meraihnya. Di sisi lain, perlu diingat bahwa kemajuan ilmiah satu bangsa tidak diukur dengan banyaknya alat-alat atau canggihnya laboratorium yang mereka miliki, tetapi bagaimana alat-alat itu mereka gunakan untuk memperoleh rahasia alam raya dan menggali kekayaan alam, bahkan kepemilikan alat-alat itu dan―jika bersumber dari bangsa lain, baik karena pembelian maupun hibah―sama sekali tidak dapat dijadikan ukuran kemajuan walau ia telah digunakan dengan baik. Yang maju adalah pencipta alat-alat itu. Memang teknologi bukanlah alat-alat yang telah diproduksi, tetapi sistem dan metode yang melahirkan alat-alat itu. Karena itu pula, kemajuan ilmu bersyarat dengan adanya iklim yang mendorong terciptanya keinginan untuk melakukan penelitian dan pengembangan, dan inilah pada hakikatnya yang dilakukan oleh kitab suci al-Qur’an.

elanjutnya, bila kecerdasan-kecerdasan di atas terhimpun pada diri seseorang, maka ia secara sadar akan berkata ‘Saya tidak tahu’ menyangkut hal yang tidak diketahuinya karena kecerdasan―seperti yang penulis kemukakan di atas―tidak selalu dihadapkan dengan ketidaktahuan. Karena itu, seorang yang berkata ‘Saya tidak tahu’ menyangkut hal-hal yang berada di luar kemampuannya justru lebih cerdas daripada yang mengaku tahu padahal sebenarnya ia tidak tahu, apalagi tidak mampu tahu. Sayyidina Abubakar ra. pernah ditanyai tentang  hakikat ketuhanan.

Si penanya berkata:
بم عرفت ريّك         “Dengan apa engkau mengenal Tuhanmu?”

Beliau menjawab:
عرفت ربي بربي :  “Aku mengenal Tuhanku melalui Tuhanku.”

Lalu si penanya melanjutkan:
و كيف عرفته         “Bagaimana engkau mengenalnya ?”

Abubakar ra. menjawab:
العجز عن الإدراك إدراك  Maksud beliau: “(Kesadaran tentang) Ketidakmampuan menjangkau sesuatu―yang memang tidak terjangkau―itulah keterjangkauan.”

Kepada Imam Malik pernah diajukankan 48 pertanyaan, hanya dua belas diantaranya yang beliau jawab, sisanya beliau katakan, “Aku tak tahu.“ Pernah seorang bertanya kepada Imam Syafi’i dan mengulang-ulangi pertanyaannya, namun tidak juga dijawab oleh beliau. Si penanya berkata: “Ucapkanlah sesuatu, baik menjawab pertanyaanku maupun tidak.“ Akhirnya, Imam itu berkata: “Aku sebenarnya sedang berpikir yang mana yang lebih baik kutempuh, diam atau menjawab pertanyaanmu.” Demikian kecerdasan yang tampak dari mereka, bukan hanya ketika mereka menjawab, tetapi juga ketika mereka diam. Itulah sebabnya dalam tradisi keilmuan ulama, jawaban “Aku tidak tahu“ atau Allâh A’lam (Allah yang Maha Mengetahui) merupakan hiasan bibir dan karya-karya ilmiah mereka.

Dengan aneka kecerdasan di atas, seseorang akan menyandang pakaian ruhani. Dengan pakaian ruhani terpelihara identitasnya lagi anggun penampilannya, Anda akan menemukan ia selalu bersih walau miskin, hidup sederhana walau kaya, terbuka tangan dan hatinya, tidak berjalan membawa fitnah, tidak menghabiskan waktu dalam permainan, tidak menuntut yang bukan haknya, dan tidak menahan hak orang lain. Bila beruntung, ia bersyukur. Bila diuji, ia bersabar. Bila berdosa, ia istighfar. Bila bersalah, ia menyesal. Dan bila dimaki, ia tersenyum.

Demikian, wa Allâh A’lam. []

Tidak ada komentar:

Posting Komentar