Defisit Kepercayaan
Oleh: Komaruddin Hidayat
Berbagai penelitian sosial menunjukkan masyarakat yang tingkat
amanah dan akuntabilitasnya rendah, yang biasa disebut sebagai the low trust
society, akan sulit bersaing dalam persaingan dunia karena produk yang
dihasilkan kualitasnya rendah, tetapi biayanya tinggi. Ini bisa dilihat baik
dalam bidang manufaktur, industri, pendidikan, jasa maupun bidang lain. Jalur
birokrasi yang panjang, ditambah lagi adanya pungutan biaya siluman, semua itu
akan menambah mahal ongkos produksi sehingga hasil akhirnya mahal, tidak
kompetitif di pasar. Kekhawatiran ini muncul ketika kita sebentar lagi memasuki
pasar bebas.
Di Jepang, misalnya, yang birokrasinya dikenal bersih dan
akuntabel, beberapa perusahaan industri mengalami penurunan karena disalip
Korea Selatan. Salah satu sebabnya adalah mata rantai birokrasi yang dinilai
lebih panjang dan memerlukan waktu lebih lama dalam mengambil keputusan
dibandingkan Korea Selatan sebagai pesaingnya. Jadi, Jepang yang dikenal bangsa
pekerja keras, teliti, dan menjaga kualitas pun mesti menambahkan satu faktor
lagi, yaitu cepat, agar kompetitif dalam mengawal dan mengembangkan
industrinya.
Kita sedih dan malu kalau mengamati bagaimana budaya birokrasi
yang berkembang di Indonesia, yang lambat dan mahal. Selalu saja ada tambahan
biaya tak terduga, baik waktu, uang maupun emosi.
Akibatnya melahirkan realitas pahit yang paradoksal. Banyak rakyat
miskin yang hidup di negeri yang kaya sumber daya alam. Bonus demografi yang
mestinya menjadi sumber kekuatan untuk memajukan kemakmuran rakyat janganjangan
berbalik menjadi beban negara. Kenaikan anggaran pendidikan yang mestinya
memiliki korelasi dengan pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan rakyat malah
memberikan harapan yang masih jauh dari kenyataan.
Sebagaimana diulas Francis Fukuyama dalam bukunya Trust (1995),
kemajuan teknologi informatika telah membuat struktur organisasi semakin
linier, tak lagi hierarkis. Dalam konteks politik di Indonesia, hal ini seiring
dengan keputusan politik desentralisasi.
Hanya saja jika tidak dibarengi penerapan GCG, pemerintahan yang
bersih dan efektif, yang terjadi justru pemerataan korupsi. Fukuyama
mengingatkan, salah satu prinsip yang tidak kenal kompromi adalah penerapan
etika agar tercipta pemerintahan yang tepercaya dan dapat dipercaya. Kita mesti
belajar dari negara-negara baru yang dulunya di bawah cengkeraman Uni Soviet.
Korupsi menyebar ke mana-mana, tidak mudah menemukan pemimpin berwibawa yang
sanggup menciptakan pemerintahan efektif. Dalam era transisi, bermunculan
penumpang gelap yang hanya memikirkan kepentingan pribadi.
Transisi dan Kompromi
Secara historis perjalanan negara ini relatif masih muda.
Mengelola masyarakat dan kelompok sosial yang sedemikian besar dan majemuk
sungguh tidak mudah. Semangat dan identitas keindonesiaan belum solid.
Kesadaran dan disiplin kewarganegaraan (citizenship) belum mapan. Dalam waktu
yang sama ikatan kedaerahan kian longgar. Dalam situasi transisional yang cair
ini, jika pemerintah tidak efektif dan berwibawa, yang mengemuka bangsa ini
bagaikan masyarakat kerumunan yang gaduh tidak jelas arahnya. Panggung politik
diramaikan oleh persaingan dan pertunjukan tokoh-tokoh parpol dalam
memperebutkan kekuasaan yang dikondisikan oleh jargon demokrasi dan reformasi.
Dari segi instrumen hukum dan undang-undang, negara ini cukup
lengkap. Bahkan dilengkapi oleh sekian puluh komisioner, yang paling ikonik
tentunya KPK. Meski begitu, mengingat tradisi bernegara belum cukup mengakar,
sekian banyak instrumen hukum yang ada tidak berjalan sebagaimana diharapkan.
Mengutip sinyalemen almarhum Nurcholish Madjid (Cak Nur), jika dilihat ke
belakang, setiap tampil generasi baru, yaitu antara 20 hingga 25 tahun, selalu
terjadi gejolak transisi nasional, tetapi tidak selalu dikelola dengan cerdas
dan terencana.
Jika asumsi itu benar, misalnya kebangkitan politik pada 1908,
1928, 1945, 1965, maka pada dekade 1980-an sesungguhnya bangsa ini panen
generasi baru yang tamat universitas, tetapi rezim Soeharto waktu itu kurang
menyadarinya. Mereka anak-anak bangsa yang mengenal teori berdemokrasi dan
paham makna akuntabilitas publik yang mesti didengarkan aspirasinya.
Karena salah dan lambat membaca suara zaman, tahun 1998 Presiden
Soeharto dipaksa turun oleh anak-anak sendiri yang mengenyam pendidikan di era
Orde Baru. Baru tahun 2004 diselenggarakan pemilu secara langsung dan
menghasilkan SBY sebagai presiden dengan UU baru yang membatasi masa
kepresidenan paling lama dua kali. Jadi, secara textbook demokrasi, baru SBY
merupakan presiden pertama yang naik dan turun sesuai dengan kaidah pemilu
setiap lima tahun.
Dengan cerita singkat ini saya ingin mengingatkan, kita baru mulai
membangun tradisi baru tentang akuntabilitas publik. Jika seorang presiden,
gubernur, bupati, dan anggota DPR tidak performed, mestinya publik akan
menghukumnya untuk tidak memilih kembali pada periode berikutnya.
Prestasi dan warisan dari gerakan reformasi yang mesti kita
apresiasi adalah iklim kebebasan pers. Ini merupakan modal sosial bagi gerakan
akuntabilitas publik. Rakyat memiliki kebebasan dan keberanian berbicara serta
mengkritik pemerintah, suatu situasi yang tidak ditemukan semasa Orde Lama dan
Orde Baru. Masalahnya adalah, meski kita bebas mengkritik, tiba-tiba kita
dihadapkan kenyataan menjamurnya tindakan korupsi baik di pusat maupun daerah
yang terjadi hampir di semua lini birokrasi. Suara dan gerakan antikorupsi
setiap hari kita dengar, bersamaan dengan berita temuan tindakan korupsi. Kita
belum menemukan formula yang jitu bagaimana mengatasi proses pembusukan yang
terjadi dalam tubuh birokrasi maupun politik.
Gerakan antikorupsi untuk mewujudkan akuntabilitas publik sering
kali memperoleh hambatan justru karena pihak-pihak yang sering jadi korban
tidak mau dan tidak berani melaporkan kepada media massa maupun instansi
berwenang. Lebih repot lagi ketika terjadi sengketa yang berakar pada korupsi,
penyelesaiannya dengan jalan kompromi antaraktor yang mestinya konsisten
menegakkan hukum dan pemerintahan bersih.
Rasa malu bagi koruptor semakin tipis. Mereka membuat kalkulasi
durasi waktu berapa lama harus menjalani tahanan dan jumlah tabungan hasil
korupsinya ketika masa tahanan sudah berakhir. Dengan demikian yang namanya
proses pengadilan sering kali tidak luput dari proses tawar-menawar yang mengarah
pada jual beli pasal. Konsep harga diri yang mestinya didasarkan pada
integritas berubah artinya menjadi berapa juta rupiah harga diri penegak hukum.
Tragis dan ironis. Yang mengemuka bukannya akuntabilitas publik, melainkan
pengkhianatan publik.
Akuntabilitas Administrasi dan Moral
Kita sangat merindukan sebuah pemerintahan yang efektif, bersih,
dan berwibawa sehingga sanggup menggerakkan dan memberdayakan rakyatnya. Sebuah
pemerintahan yang bukan untuk ditakuti, tetapi yang menginspirasi dan memotivasi
warganya untuk bangkit. Sebuah pemerintahan yang menampilkan sosok-sosok role
model bagi anak-anak bangsa mengingat saat ini masyarakat sangat haus akan
sebuah kemenangan dan kebanggaan sebagai anak bangsa yang besar ini.
Peran ini hanya bisa dilakukan jika terjalin hubungan saling
percaya (trust) antara rakyat dan pemerintah. Sebuah kepercayaan akan muncul
jika seseorang diyakini memiliki kompetensi, integritas, visi dan mimpi besar
untuk membawa perubahan ke arah keunggulan. Oleh karena itu, sesungguhnya yang
diharapkan rakyat terhadap pemerintah bukan sekadar menyajikan
pertanggungjawaban berupa akuntabilitas administratif dalam hal penggunaan
anggaran negara. Pemberantasan korupsi itu hanyalah prasyarat bagi kemajuan
sebuah bangsa.
Sekadar baik dan jujur tidaklah cukup, kita juga memerlukan
akuntabilitas intelektual dan kompetensi dari penyelenggara negara. Persaingan
antarbangsa tidak lagi mengandalkan seberapa kaya sumber daya alam suatu
negara, melainkan mencakup pula apa yang sering disebut sebagai intellectual
capital, moral capital, dan social capital.
Bangsa ini sangat kaya dengan aset budaya dan pengalaman panjang
meraih kemerdekaan. Bahkan juga berhasil melakukan ijtihad politik menjaga
pluralisme agama, bahasa, dan budaya. Tapi, lagi-lagi, semua itu belum
dikapitalisasi secara optimal bagi kemajuan dan kemakmuran warganya.
Kita rindu untuk melihat bangsa dan negara ini berdiri tegak
dengan percaya diri, bermartabat, dan disegani dalam pergaulan dunia. Kita
mendambakan terealisasinya mimpi dan cita-cita para pejuang dan pendiri bangsa
sebagaimana yang terkandung dalam Pancasila. Masyarakat Indonesia yang cerdas,
mampu melaksanakan nilai kebertuhanan yang memunculkan sikap kemanusiaan untuk
keadilan dan kesejahteraan bangsa. []
KORAN SINDO, 03 Juli 2015
Komaruddin Hidayat ; Guru Besar Universitas
Islam Negeri Syarif Hidayatullah
Tidak ada komentar:
Posting Komentar