Jumat, 03 Juli 2015

(Ngaji of the Day) Puasa dalam Perspektif Islam Nusantara



Puasa dalam Perspektif Islam Nusantara
Oleh: M Isom Yusqi

Di bulan suci Ramadhan seringkali kita mendengarkan kajian-kajian hikmah seputar ibadah puasa. Umumnya ibadah puasa dianalisis secara deduktif dari al-Qur’an maupun al-Hadis, sehingga memunculkan dan melahirkan beberapa aspek hukum fiqih yang terkait dengan puasa. Namun tidak jarang juga para penceramah meninjau ibadah puasa dalam berbagai perspektif dan dianalisis secara induktif dari korelasi dan signifikansi ibadah puasa dengan kehidupan sehari-hari umat Islam saat menjalankannya. Misalnya, ada yang mengkaji aspek-aspek kesehatan yang ditimbulkan dalam ibadah puasa. Ada juga para ustadz yang menyampaikan hikmah-hikmah ibadah puasa dalam sudut pandang spiritualitas, sosialitas, kesehatan jiwa manusia dan lain sebagainya.

Pada kesempatan ini penulis ingin mengelaborasi lebih jauh tentang manifestasi nilai-nilai Islam Nusantara (baca: Ahlus Sunnah wal Jamaah) dalam ibadah puasa. Hal ini dirasa penting karena kita sebagai kaum Nahdliyiin (baca; warga NU) perlu menyadari bahwa nilai-nilai Aswaja (Ahlussunnah waljamaah) harus menjadi inheren dan terinternalisasi ke dalam setiap pribadi orang NU. Antara NU dan Aswaja merupakan satu kesatuan yang utuh dan tidak terpisahkan. Aswaja merupakan akidah bagi orang NU di mana dan kapan saja berada khususnya di bumi Nusantara ini.

Sebagai warga NU, jika tanpa akidah Aswaja tentu ke-NU-annya hanya nama dan topeng belaka. Eksistensi NU, Aswaja dan Tanah Air Indonesia (baca; nusantara) adalah tiga serangkai yang saling terkait dan berkelindan satu dengan lainnya. NU merupakan ormas terbesar yang diikuti oleh mayoritas umat Islam di wilayah NKRI (Negara Kesatuan Republik Indonesia) dengan berdasarkan pada akidah Aswaja. Dengan demikian, Mayoritas Islam Indonesia (baca; Islam Nusantara) adalah Islam Aswaja, dan Islam Aswaja tercermin jelas pada Islam NU, Islam NU adalah Islamnya orang-orang Indonesia yang menganut paham Aswaja (Ahlus Sunnah wal Jamaah) yang selalu berprinsip pada nilai-nilai dasar yang mulia yaitu; al-Tawazun (bertindak seimbang), at-Tawassuth (berprilaku moderat) ,al-Tasamuh (bersikap toleran) dan al-I’tidal (berpihak pada kebenaran dan keadilan).

Keempat prinsip dan nilai-nilai dasar Aswaja di atas merupakan empat pilar warga NU dalam ber-aswaja (ber-Islam), berbangsa dan bernegara. Empat pilar al-Tawazun (bertindak seimbang), at-Tawassuth (berprilaku moderat) ,al-Tasamuh (bersikap toleran) dan al-I’tidal (berpihak pada kebenaran) sama sekali tidak bertentangan dengan empat pilar bangsa Indonesia; Pancasila, UUD 1945, NKRI dan Bhineka Tunggal Ika, bahkan keempat prinsip dan nilai-nilai dasar Aswaja warga NU tersebut selalu menafasi dan menopang terhadap empat pilar bangsa Indonesia. Hal itu, sudah terbukti dalam sejarah perjuangan rakyat Indonesia, baik pada pra-kemerdekaan maupun pasca kemerdekaan bahwa warga NU selalu berada pada garda terdepan dalam membela Pancasila, UUD 1945, NKRI dan Bhineka Tunggal Ika secara istiqomah dengan tetap berprinsip pada nilai-nilai dasar Aswaja.

Keempat prinsip dan nilai-nilai dasar Aswaja; al-Tawazun (bertindak seimbang), at-Tawassuth (berprilaku moderat), al-Tasamuh (bersikap toleran) dan al-I’tidal (berpihak pada kebenaran dan keadilan) merupakan metode berfikir dan pedoman hidup yang paripurna bagi warga NU dalam kehidupan beragama, berbangsa dan bernegara. Berpijak pada keempat prinsip itulah warga NU menjalankan ajaran Islam, berbangsa dan bernegara Indonesia, hidup berdampingan dengan umat beragama lain dan bersikap toleran baik antar umat beragama maupun intern umat Islam. Dengan keempat prinsip dan nilai-nilai dasar Aswaja tersebut, para ulama NU menyatakan, “resolusi jihad melawan penjajah, Indonesia merdeka berkat rahmat Allah SWT, NU menerima asas tunggal Pancasila, Hubungan umat Islam dan konsep wilayah NKRI sudah final, harga mati dan tidak perlu lagi ikhtiar membentuk negara Islam, NU kembali ke Khittah dan masalah-masalah lainnya tentang hubungan Islam dan negara.     

Kembali pada manifestasi nilai-nilai Islam Nusantara (baca: Aswaja) dalam ibadah puasa di bulan suci Ramadhan, jika kita renungkan lebih mendalam, maka sangat terasa nilai-nilai al-Tawazun (bertindak seimbang), at-Tawassuth (berprilaku moderat), al-Tasamuh (bersikap toleran) dan al-I’tidal (berpihak pada kebenaran) terinternalisasi pada pribadi-pribadi orang yang berpuasa (al-sha-imiin dan al-sha-imaat) di Indonesia.

Pertama; al-Tawazun (bertindak seimbang)

Dalam ibadah puasa nilai-nilai al-Tawazun (bertindak seimbang) tercermin sekali pada aspek-aspek menjaga keseimbangan mental-spiritual, fisik-psikis dan sosial kemasyarakatan. Pada aspek mental-spiritual pribadi manusia yang berpuasa dilatih keseimbangan rohani dan jasmani. Artinya dengan berpuasa manusia diingatkan agar tidak terlalu berat sebelah dan cenderung berlebihan pada hal-hal material yang berakibat tergrogoti nilai-nilai kemanusiaannya (dehumanisasi). Jiwa dan pikiran manusia tidak boleh terfokus terlalu jauh hanya mengejar duniawi (harta, tahta dan wanita) sehingga menimbulkan penyakit-penyakit hati (baca; gangguan psikis) seperti tamak-serakah, sombong, hedonis, matrialistis, cinta jabatan (hubbul manzilah), cinta popularitas (hubbus syuhrah), cinta kedudukan terpuji (hubbul Jah) dan lain sebagainya. Agar pribadi manusia seimbang (tawazun) secara jasmaniyah dan ruhaniyah dan tidak mengalami keterbelahan jiwa (split personality), manusia yang berpuasa dilatih mental-spiritualnya untuk rendah hati (tawadhu’), cinta akherat, takut kematian, cinta ilmu dan selalu bersyukur atas segala nikmat yang dikaruniakan Allah SWT.

Sedangkan pada aspek fisik-psikis termanifestasi secara gamblang bahwa pada saat manusia berpuasa otaknya secara otomatis akan menghidupkan program autolisis. Semua makhluk hidup dibekali sistem (fitrah) autolisis yang khas seperti saat pohon berpuasa sistem autolisisnya bekerja dengan menggugurkan dedaunan. Ketika autolisis manusia diaktifkan saat berpuasa, maka ia akan mengerti bagaimana seharusnya kondisi sehat dari setiap jenis sel manusia, di bagian tubuh mana seharusnya sel itu berada dan berapa banyak jumlah selnya bagi tubuh sehat yang ideal. Autolisis akan meng-oksidasi lemak menjadi keton dan menghilangkan sel-sel rusak dan mati, menghilangkan benjolan hingga tumor serta timbunan lemak yg sering menjadi sarang zat beracun. Dengan demikian tubuh manusia menjadi seimbang (tawazun) dan sehat wal afiat saat mereka benar-benar berpuasa.     

Keseimbangan (al-Tawazun) pada aspek sosial kemasyarakatan juga akan terjadi pada orang-orang yang berpuasa. Saat berpuasa ketimpangan sosial akan segera dieliminir dengan digalakkannya shodaqoh, infak dan zakat yang menimbulkan rasa kepedulian sosial. Manusia-manusia kaya akan ikut juga merasakan bagaimana laparnya orang-orang faqir miskin. Kehidupan sosial kemasyarakatan menjadi seimbang karena kesalehan individual dan kesalehan sosial berpadu menjadi satu.

 Kedua; at-Tawassuth (berprilaku moderat)

Sikap tengah-tengah antara dua titik ekstrem adalah at-Tawassuth (berprilaku moderat). Ibadah puasa merupakan sikap tengah-tengah antara materialisme ekstrim dengan mengabaikan dimensi spiritual-ruhaniah dalam kehidupan manusia sehingga bersikap hedonis, atheis dan materialistis tidak perlu berpuasa dan berlapar-lapar diri sepanjang tahun. Dan yang kedua sikap spriritualisme ekstrem yang tidak bersikap adil terhadap aspek-aspek jasmaniah sehingga berpuasa sepanjang tahun (shoum ad-Dahr), sambil mengabaikan hak-hak tubuh, keluarga dan masyarakat. Sikap at-Tawassuth (berprilaku moderat) pada orang orang yang berpuasa mengejawantah pada pribadi dan masyarakat dengan sikap yang tenang, tentram, adil dan sejahtera.

Ketiga; al-Tasamuh (bersikap toleran)

Ajaran at-Tasamuh mengandung makna bersikap toleransi, saling menghargai, lapang dada, suka memaafkan dan bersikap terbuka dalam menghadapi perbedaan, kemajemukan dan pluralitas. Prinsip ketiga dari nilai dasar Aswaja (baca: Islam Nusantara) ini sangat terlihat jelas pada pribadi orang-orang yang berpuasa. Misalnya, Adanya perbedaan penetapan awal Ramadhan, warga NU dan umat Islam Indonesia mensikapi hal itu dengan penuh toleran, saling menghargai dan bersikap lapang dada. Kedua, perbedaan jumlah rakaat shalat taraweh juga disikapi seperti di atas.

Bahkan sikap toleran itu harus ditunjukkan oleh seorang muslim yang terhormat dengan menghormati orang yang tidak berpuasa, demi saling menghargai dan menghormati. Nilai al-Tasamuh (bersikap toleran) bagi warga NU dalam Islam Nusantara tersebut sudah mendarah daging dalam setiap kehidupan beragama, berbangsa dan bernegara. Tidak sekedar pada saat bulan puasa, bahkan di luar bulan ramadhan pun warga Islam Nusantara tetap mengimplementasikan nilai-nilai Islam Aswaja yang nota bene adalah umat Islam Indonesia.

Keempat: al-I’tidal (berpihak pada kebenaran)

Ajaran al-I’tidal (berpihak pada kebenaran dan keadilan) merupakan sikap yang adil dan konsisten pada hal-hal yang lurus, benar dan tepat. Nilai al-I’tidal (berpihak pada kebenaran dan keadilan) dalam ibadah puasa termanifestasi dengan jelas bahwa secara spiritual, berpuasa merupakan sikap yang adil dan konsisten pada prinsip olah kesucian rohani, dan berpuasa merupakan ibadah ilahiyah yang tertuju khusus dan terfokuskan hanya karena dan untuk Allah SWT bukan untuk selain-NYA. Dalam ibadah puasa manusia konsisten mensucikan diri untuk mendekatkan ruhnya kepada yang Maha Suci. Manusia saat berpuasa selalu memuji Allah SWT (bertahmid ) dan membesarkan nama Allah SWT (bertakbir) untuk melepaskan dirinya dari pujian-pujian yang pada hakekatnya pujian itu hanya milik Allah SWT. Begitu juga dengan takbir, manusia hanya ingin membesarkan nama Allah SWT bukan ingin membesarkan dan mengagungkan uang, harta, tahta dan materi duniawi yang tidak kekal abadi. Bertitik tolak dari konsistensi nilai-nilai ilahiyah (al-i’tidal) tersebut maka pasti berdampak positif pada sikap yang adil dan konsisten terhadap diri manusia sendiri, keluarga dan masyarakat demi menjadikan pribadinya yang sholeh secara individual dan sekaligus sholeh secara sosial. Selain itu, berakibat baik juga dalam menciptakan keluarga yang sakinah mawaddah dan rahmah, serta mewujudkan masyarakat/negaranya yang ber-keadilan sosial bagi masyarakat (baldatun thayyibatun wa rabbun ghafur).  Wallahu a’lam bisshawab..... []

Prof. Dr. M. IsomYusqi, MA, Direktur Pascasarjana STAINU Jakarta

Tidak ada komentar:

Posting Komentar