Rabu, 01 Juli 2015

(Ngaji of the Day) Menghargai Orang yang (Tidak) Berpuasa



Menghargai Orang yang (Tidak) Berpuasa

Pertanyaan:

Assalamu’alaikum wr. wb. Sebelumnya saya mohon maaf jika pertanyaan yang akan saya ajukan tidak terkait soal hukum fikih. Saya mau menanyakan soal etika. Saya pernah melakukan perjalanan dari Semarang ke Lampung dengan naik bis. Karena perjalanan ini sangat jauh dan melelahkan saya memutuskan untuk tidak berpuasa, sedang teman di sebelah saya tetap menjalankan puasa.

Kebetulan saya membawa makanan sebagai bekal di perjalanan. Sebagai orang yang tidak berpuasa sudah tentunya menghargai orang yang sedang berpuasa, maka ketika saya mau makan dan minum saya mengucapkan permintaan maaf terlebih dahulu kepada teman di sebelah saya. Namun saya tak menduga, ternyata tanggapan teman sebelah saya sangat sinis. Padahal setahu saya seorang yang dalam perjalanan jauh itu boleh tidak menjalankan puasa.

Yang ingin saya tanyakan apakah ada keterangan atau dalil yang menjelaskan tentang adanya saling menghargai antara orang yang berpuasa dengan orang yang tidak berpuasa, misalnya seperti kejadian yang saya alami dalam perjalanan? Atas penjelasannya saya ucapkan terimakasih. Wassalamu’alaikum wr. wb.

(Nawawi/Lampung)

Jawaban:

Wa’alaikum salam wr. wb
Penanya yang budiman, semoga selalu dirahmati Allah swt. Antara kesabaran dan puasa merupakan dua hal yang saling berkaitkelindan. Sabar adalah puasa, begitu juga puasa adalah sabar, demikian sebagaimana dikemukakan Mujahid. Puasa dikatakan sabar karena puasa mengandung pengertian menahan makan-minum (dari terbitnya fajar sama terbenamnya matahari). Oleh karena itu bulan Ramadhan juga dinamai dengan bulan kesabaran (syahr ash-shabr).

وَقَالَ مُجَاهِدٌ : اَلصَّبْرُ : اَلصَّوْمُ ، وَالصَّوْمُ : صَبْرٌ ، لِأَنَّهُ إِمْسَاكٌ عَنِ الطَّعَامِ ، وَسُمِيَ رَمَضَانُ : شَهْرَ الصَّبْرِ

“Menurut Mujahid, sabar adalah puasa dan puasa adalah sabar, karena puasa menahan dari makan-minum. Dan bulan Ramadlan dinamai bulan bulan kesabaran” (lihat Abu Hayyan al-Andalusi, Tafsir al-Bahr al-Muhith, Bairut-Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, cet ke-1, 1422 H/2001 M, juz, 1, h. 340).

Jika puasa identik dengan sabar, maka orang yang berpuasa (ash-sha`im) bisa juga dikatakan orang yang sabar (ash-shabir). Menjadi orang sabar memang tidaklah semudah membalik telapak tangan. Ada jalan berliku yang harus dilaluinya. Salah satunya adalah dengan berpuasa. Dengan berpuasa sebenarnya kita sedang dilatih untuk menjadi penyabar.

Termasuk juga kesabaran dalam menghargai orang-orang yang memang tidak diwajibkan berpuasa atau yang diperbolehkan tidak berpuasa karena ada alasan syar’i, seperti perempuan yang sedang haid, perempuan yang sedang hamil, anak-anak, orang yang tua-renta, orang yang mengalami sakit akut, dan orang-orang yang menempuh perjalanan jauh bukan dengan tujuan maksiat atau musafir.

Orang yang tidak berpuasa memang sudah seharusnya menghargai orang yang berpuasa. Tetapi orang yang berpuasa juga dituntut untuk menghormati pihak-pihak yang tidak menjalankan puasa. Jadi kedua belah pihak dituntut untuk saling menghargai satu sama lainnya.

Dalam sebuah riwayat dari Anas bin Malik ra dikatakan bahwa pada bulan Ramadlan para sahabat pernah bepergian bersama Rasulullah saw, dan sebagian di antara mereka ada yang tetap menjalankan puasa, dan sebagian lainnya tidak menjalankannya. Lantas bagaimana sikap orang yang berpuasa terhadap orang yang tidak berpuasa atau sebaliknya? Mereka saling menghargai satu sama lainnya, yang berpuasa tidak mencela yang tidak berpuasa, begitu sebaliknya yang tidak berpuasa juga tidak mencela yang berpuasa.

عَنْ أَنَسٍ ، قَالَ : سَافَرْنَا مَعَ رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي رَمَضَانَ ، فَمِنَّا الصَّائِمُ وَمِنَّا الْمُفْطِرُ ، لَا يَعِيبُ الصَّائِمُ عَلَى الْمُفْطِرِ ، وَلَا الْمُفْطِرُ عَلَى الصَّائِمِ

Dari Anas ra, ia berkata, kita pernah bepergian bersama Rasulullah saw pada bulan Ramadlan, sebagian di antara kita ada yang berpuasa, dan sebagian yang lain ada yang tidak berpuasa. Orang yang berpuasa tidak mencela kepada orang yang tidak berpuasa, dan orang yang tidak berpuasa (juga) tidak mencela orang yang berpuasa” (lihat Ibnu Abdil Barr, at-Tamhid lima fi al-Muwatha` fi al-Asanid wa al-Ma’ani, Muassah al-Qurthubah, juz, 2, h. 176).

Pengertian orang yang berpuasa tidak mencela kepada orang yang tidak berpuasa begitu juga sebaliknya, adalah bahwa orang yang berpuasa tidak boleh mengingkari ketidakpuasaan orang yang tidak berpuasa, begitu juga sebaliknya. Sebab, ketika seseorang bepergian jauh boleh memilih antara puasa dan tidak.

لَا يُنْكِرُ الصَّائِمُ عَلَى الْمُفْطِرِ اِفْطَارَهُ دِينًا وَلَا الْمُفْطِرُ عَلَى الصَّائِمِ صَوْمَهُ فَهُمَا جِائِزَانِ

“Secara agama orang yang berpuasa tidak boleh mengingkari ketidakpuasaannya orang yang tidak puas, dan tidak boleh juga orang yang tidak berpuasa mengingkari puasanya orang yang berpuasa. Karena keduanya (tidak berpuasa atau puasa bagi musafir) itu boleh” (Nuruddin bin Abdul Hadi Abu al-Hasan as-Sanadi, Hasyiyah as-Sanadi ‘ala an-Nasai, Halb-Maktabah al-Mathbu’ah, cet ke-2, 1406 H/1986 M, juz, 4, h. 188).

Riwayat dari Anas bin Malik ra di atas setidaknya bisa dijadikan sebagai acuan tentang sikap saling menghargai antara orang yang menjalankan puasa dan yang tidak.

Demikian apa yang dapat kami kemukakan. Semoga bisa dipahami dengan baik. Bagi kalangan yang tidak menjalankan ibadah puasa maupun yang menjalankan puasa hendaknya saling menghargai dan menghormati satu sama lainya. Dan kami selalu terbuka untuk menerima saran dan kritik dari pembaca.

Wallahul muwaffiq ila aqwamith thariq,
Wassalamu’alaikum wr. wb.

Mahbub Ma’afi Ramdlan
Tim Bahtsul Masail NU

Tidak ada komentar:

Posting Komentar