Menghargai Orang yang
(Tidak) Berpuasa
Pertanyaan:
Assalamu’alaikum wr. wb. Sebelumnya saya
mohon maaf jika pertanyaan yang akan saya ajukan tidak terkait soal hukum
fikih. Saya mau menanyakan soal etika. Saya pernah melakukan perjalanan dari
Semarang ke Lampung dengan naik bis. Karena perjalanan ini sangat jauh dan
melelahkan saya memutuskan untuk tidak berpuasa, sedang teman di sebelah saya
tetap menjalankan puasa.
Kebetulan saya membawa makanan sebagai bekal
di perjalanan. Sebagai orang yang tidak berpuasa sudah tentunya menghargai
orang yang sedang berpuasa, maka ketika saya mau makan dan minum saya
mengucapkan permintaan maaf terlebih dahulu kepada teman di sebelah saya. Namun
saya tak menduga, ternyata tanggapan teman sebelah saya sangat sinis. Padahal
setahu saya seorang yang dalam perjalanan jauh itu boleh tidak menjalankan
puasa.
Yang ingin saya tanyakan apakah ada
keterangan atau dalil yang menjelaskan tentang adanya saling menghargai antara
orang yang berpuasa dengan orang yang tidak berpuasa, misalnya seperti kejadian
yang saya alami dalam perjalanan? Atas penjelasannya saya ucapkan terimakasih.
Wassalamu’alaikum wr. wb.
(Nawawi/Lampung)
Jawaban:
Wa’alaikum salam wr. wb
Penanya yang budiman, semoga selalu dirahmati
Allah swt. Antara kesabaran dan puasa merupakan dua hal yang saling
berkaitkelindan. Sabar adalah puasa, begitu juga puasa adalah sabar, demikian
sebagaimana dikemukakan Mujahid. Puasa dikatakan sabar karena puasa mengandung
pengertian menahan makan-minum (dari terbitnya fajar sama terbenamnya
matahari). Oleh karena itu bulan Ramadhan juga dinamai dengan bulan kesabaran
(syahr ash-shabr).
وَقَالَ
مُجَاهِدٌ : اَلصَّبْرُ : اَلصَّوْمُ ، وَالصَّوْمُ : صَبْرٌ ، لِأَنَّهُ
إِمْسَاكٌ عَنِ الطَّعَامِ ، وَسُمِيَ رَمَضَانُ : شَهْرَ الصَّبْرِ
“Menurut Mujahid, sabar adalah puasa dan
puasa adalah sabar, karena puasa menahan dari makan-minum. Dan bulan Ramadlan
dinamai bulan bulan kesabaran” (lihat Abu Hayyan al-Andalusi, Tafsir al-Bahr
al-Muhith, Bairut-Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, cet ke-1, 1422 H/2001 M, juz, 1, h.
340).
Jika puasa identik dengan sabar, maka orang
yang berpuasa (ash-sha`im) bisa juga dikatakan orang yang sabar (ash-shabir).
Menjadi orang sabar memang tidaklah semudah membalik telapak tangan. Ada jalan
berliku yang harus dilaluinya. Salah satunya adalah dengan berpuasa. Dengan
berpuasa sebenarnya kita sedang dilatih untuk menjadi penyabar.
Termasuk juga kesabaran dalam menghargai
orang-orang yang memang tidak diwajibkan berpuasa atau yang diperbolehkan tidak
berpuasa karena ada alasan syar’i, seperti perempuan yang sedang haid,
perempuan yang sedang hamil, anak-anak, orang yang tua-renta, orang yang
mengalami sakit akut, dan orang-orang yang menempuh perjalanan jauh bukan
dengan tujuan maksiat atau musafir.
Orang yang tidak berpuasa memang sudah
seharusnya menghargai orang yang berpuasa. Tetapi orang yang berpuasa juga
dituntut untuk menghormati pihak-pihak yang tidak menjalankan puasa. Jadi kedua
belah pihak dituntut untuk saling menghargai satu sama lainnya.
Dalam sebuah riwayat dari Anas bin Malik ra
dikatakan bahwa pada bulan Ramadlan para sahabat pernah bepergian bersama
Rasulullah saw, dan sebagian di antara mereka ada yang tetap menjalankan puasa,
dan sebagian lainnya tidak menjalankannya. Lantas bagaimana sikap orang yang berpuasa
terhadap orang yang tidak berpuasa atau sebaliknya? Mereka saling menghargai
satu sama lainnya, yang berpuasa tidak mencela yang tidak berpuasa, begitu
sebaliknya yang tidak berpuasa juga tidak mencela yang berpuasa.
عَنْ
أَنَسٍ ، قَالَ : سَافَرْنَا مَعَ رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
فِي رَمَضَانَ ، فَمِنَّا الصَّائِمُ وَمِنَّا الْمُفْطِرُ ، لَا يَعِيبُ
الصَّائِمُ عَلَى الْمُفْطِرِ ، وَلَا الْمُفْطِرُ عَلَى الصَّائِمِ
Dari Anas ra, ia berkata, kita pernah
bepergian bersama Rasulullah saw pada bulan Ramadlan, sebagian di antara kita
ada yang berpuasa, dan sebagian yang lain ada yang tidak berpuasa. Orang yang
berpuasa tidak mencela kepada orang yang tidak berpuasa, dan orang yang tidak
berpuasa (juga) tidak mencela orang yang berpuasa” (lihat Ibnu Abdil Barr,
at-Tamhid lima fi al-Muwatha` fi al-Asanid wa al-Ma’ani, Muassah al-Qurthubah,
juz, 2, h. 176).
Pengertian orang yang berpuasa tidak mencela
kepada orang yang tidak berpuasa begitu juga sebaliknya, adalah bahwa orang
yang berpuasa tidak boleh mengingkari ketidakpuasaan orang yang tidak berpuasa,
begitu juga sebaliknya. Sebab, ketika seseorang bepergian jauh boleh memilih
antara puasa dan tidak.
لَا
يُنْكِرُ الصَّائِمُ عَلَى الْمُفْطِرِ اِفْطَارَهُ دِينًا وَلَا الْمُفْطِرُ
عَلَى الصَّائِمِ صَوْمَهُ فَهُمَا جِائِزَانِ
“Secara agama orang yang berpuasa tidak boleh
mengingkari ketidakpuasaannya orang yang tidak puas, dan tidak boleh juga orang
yang tidak berpuasa mengingkari puasanya orang yang berpuasa. Karena keduanya
(tidak berpuasa atau puasa bagi musafir) itu boleh” (Nuruddin bin Abdul Hadi
Abu al-Hasan as-Sanadi, Hasyiyah as-Sanadi ‘ala an-Nasai, Halb-Maktabah
al-Mathbu’ah, cet ke-2, 1406 H/1986 M, juz, 4, h. 188).
Riwayat dari Anas bin Malik ra di atas
setidaknya bisa dijadikan sebagai acuan tentang sikap saling menghargai antara
orang yang menjalankan puasa dan yang tidak.
Demikian apa yang dapat kami kemukakan.
Semoga bisa dipahami dengan baik. Bagi kalangan yang tidak menjalankan ibadah
puasa maupun yang menjalankan puasa hendaknya saling menghargai dan menghormati
satu sama lainya. Dan kami selalu terbuka untuk menerima saran dan kritik dari
pembaca.
Wallahul muwaffiq ila aqwamith thariq,
Wassalamu’alaikum wr. wb.
Mahbub Ma’afi Ramdlan
Tim Bahtsul Masail NU
Tidak ada komentar:
Posting Komentar