Revisi Peraturan Pemerintah
Oleh: Azyumardi Azra
Presiden Joko Widodo agaknya kembali melakukan kebijakan yang bagi
sebagian kalangan disebut blunder. Kali ini ketika Jokowi memerintahkan Menteri
Tenaga Kerja Hanif Dhakiri bersama Direktur Utama BPJS Ketenagakerjaan Elvyn
Masassya (3/7/2015) merevisi atau mengubah bagian tertentu atas Peraturan
Pemerintah Nomor 46 Tahun 2015 tentang Jaminan Hari Tua. Padahal, PP itu belum
lama ditandatangani Presiden, persisnya 30 Juni 2015.
Revisi PP JHT tampaknya terkait erat dengan protes dan demonstrasi
kaum pekerja yang mulai marak begitu mereka mengetahui isi PP JHT. Mereka
berdemo tidak hanya di tengah puasa Ramadhan yang panas, tetapi juga mengancam
bakal mengerahkan massa besar awal Agustus 2015.
Mereka, misalnya, menuntut untuk bisa mencairkan dana JHT sebulan
setelah keluar dari tempat bekerja. Tuntutan buruh ini kemudian menjadi
substansi ”arahan” Presiden untuk merevisi PP JHT.
Bukan hanya kali ini Presiden mengubah peraturan atau keputusan
yang ditetapkannya. Sebelumnya, kontroversi muncul terkait Peraturan Presiden
Nomor 39 Tahun 2015 tentang Uang Muka Pembelian Kendaraan bagi Para Pejabat
Tinggi Kementerian/Lembaga/Komisi. Setelah marak protes dan heboh pro-kontra,
Presiden segera mencabut perpres tersebut (6/5/2015).
Masih ada lagi perpres bermasalah, misalnya Perpres No 190/2014
tentang Penataan Tugas dan Fungsi Kabinet Kerja yang dicabut dengan penerbitan
perpres untuk setiap kementerian, Perpres No 190/2014 tentang Unit Staf
Kepresidenan yang direvisi lewat Perpres No 26/2015, dan Perpres No 6/2015
tentang Badan Ekonomi Kreatif yang ternyata tidak jelas kelembagaannya.
Dari satu segi, revisi, perubahan, atau pencabutan PP atau perpres
memperlihatkan sensitivitas Presiden terhadap aspirasi yang tumbuh dalam
masyarakat—apalagi aspirasi itu diekspresikan secara keras.
Namun, di sisi lain, perubahan PP atau perpres dalam waktu tak
terlalu lama memperlihatkan kurangnya pengkajian cermat, mendalam, dan
komprehensif berbagai hal yang mau diatur dan ditetapkan Presiden. Muncul juga
kesan, rancangan PP atau perpres itu disiapkan secara terburu-buru.
Ini mencerminkan kelemahan koordinasi antarinstansi, lembaga, dan
tenaga ahli terkait hal dan masalah yang mau diatur lewat keputusan Presiden.
Akibatnya, draf PP atau perpres sampai ke meja Presiden belum sempurna, masih
ada poin krusial yang terbukti mengundang reaksi keras masyarakat.
Kasus ini sekaligus mengindikasikan, Presiden tidak membaca naskah
PP atau perpres yang ditandatangani secara cermat. Presiden terlihat percaya
dan tergantung sepenuhnya kepada paraf pejabat kementerian terkait, Sekretariat
Negara, atau Sekretaris Kabinet.
Sudah menjadi praktik lazim, pejabat tinggi seperti menteri
membubuhkan parafnya begitu saja setelah melihat ada paraf dirjen atau staf
ahli, misalnya. Namun, ketika Presiden menandatangani PP atau perpres, publik
sulit menerima alasan apa pun; apakah karena Presiden tidak cermat membaca
pasal demi pasal, halaman demi halaman, atau ayat demi ayat peraturan itu.
Publik mengharapkan Presiden betul-betul cermat sehingga terhindar dari
kesalahan yang tidak perlu.
Presiden juga tidak bisa beralasan kasus seperti itu terjadi
karena lemahnya koordinasi antarpejabat pada kementerian/lembaga terkait
sehingga peraturan yang sudah ditandatangani seolah nyelonong begitu saja.
Apa pun penyebabnya, revisi atau perubahan PP atau perpres dalam
waktu cepat memunculkan citra flip flop bagi Presiden. Istilah flip flop yang
lazim digunakan dalam politik Amerika Serikat atau U-turn di Inggris atau
backflip di Australia dan Selandia Baru mengacu pada sikap atau perilaku
pejabat atau politisi yang mudah dan tergopoh-gopoh mengubah pendapat atau
keputusannya.
Perubahan sikap, posisi, dan kebijakan secara cepat dalam konteks
flip flop biasanya disertai upaya justifikasi. Pejabat atau politisi
bersangkutan mengklaim perubahan itu konsisten—antara kebijakan awal dan
perubahan yang dilakukan. Bahkan, mereka berhujah, revisi atau perubahan itu
perlu untuk menciptakan keadaan lebih baik lagi.
Terlepas dari apakah justifikasi dan klaim itu bisa diterima
publik, flip flop memunculkan citra pejabat yang mudah berubah, tergantung
”arah angin”. Jika angin terlalu kencang—seperti protes dari kalangan
publik—dia segera mengubah pandangan, posisi, dan kebijakannya. Terlihat dia
tidak kokoh (firm) dengan pandangan, sikap, dan keputusan yang telah dia ambil
sebelumnya.
Langkah flip flop atau U-turn tidak menguntungkan bagi
konsistensi, keteguhan, dan wibawa pemerintah. Jika kasus seperti ini
berlanjut, kredibilitas dan wibawa Presiden menjadi taruhan. Sudah waktunya
Presiden meningkatkan koordinasi dan harmonisasi kementerian serta lembaga.
Koordinasi mutlak tidak hanya terkait peraturan, tetapi juga dalam berbagai
fungsi dan program.
Presiden perlu lebih memfungsikan atau menugaskan khusus pejabat
tertentu di sekitarnya untuk betul-betul memelototi setiap PP, perpres, atau
keppres sebelum dia tanda tangani. Hanya dengan itu, Joko Widodo terselamatkan
dari citra flip flop yang tak menguntungkan. []
KOMPAS, 7 Juli 2015
Azyumardi Azra | Guru Besar UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta;
Penerima MIPI Awards 2014 untuk Kategori Pemerhati Pemerintahan dari Masyarakat
Ilmu Pemerintahan Indonesia
Tidak ada komentar:
Posting Komentar