Kamis, 02 Juli 2015

Buya Syafii: Antara Pembantu dan Penentu (III)



(Catatan Jelang Muktamar Muhammadiyah ke-47 di Makassar)
Antara Pembantu dan Penentu (III)
Oleh: Ahmad Syafii Maarif

Akhirnya Presiden Soekarno dengan dukungan penuh Angkatan Darat mengeluarkan Dekrit 5 Juli 1959 dengan membubarkan Majelis Konstituante dan menyatakan berlakunya kembali UUD 1945 menggantikan UUDS 1950. Konstelasi politik berubah total dan dramatis. Publik terbelah antara pendukung dekrit dan pihak penentang. Indonesia seakan-akan mau pecah, gara-gara Dasar Negara.  Pada 20 Maret tahun 1960 DPR pilihan rakyat juga dibubarkan, diganti dengan DPRGR (Dewan Perwakilan Rakyat Gotong Royong) yang ditentukan sendiri oleh presiden. Kekuasaan otoritarian mencapai puncaknya yang tertinggi. Partai penentang dekrit tidak diajak masuk ke dalam DPRGR itu.

Kegagalan memperjuangkan Dasar Islam dalam Majelis Konstituante rupanya punya imbas langsung dalam perumusan AD Muhammadiyah sebagai hasil Muktamar Muhammadiyah ke-34 (Nop. 1959) di Jogjakarta. Selama 47 tahun Muhammadiyah tidak pernah mencantumkan asas atau dasar dalam AD-nya, sekarang pada Fasal 2, asas itu dinyatakan: “Persyarikatan berasaskan Islam.” Rumusan maksud dan tujuan tidak mengalami perubahan sampai tahun 1985, saat asas Pancasila wajib dicantumkan. Berhadapan dengan kondisi politik riil di Indonesia, dalam Muktamar Muhammadiyah ke-41 (Desember 1985) di Surakarta, asas dalam Fasal 2 AD diubah menjadi: “Persyarikatan berasaskan Pancasila.”

Tetapi untuk mengamankan identitas organisasi dalam situasi politik nasional yang tidak bebas itu, maka dalam muktamar di atas, AD dalam Fasal 1:1 dirumuskan bahwa: “Persyarikatan ini bernama MUHAMMADIYAH, adalah gerakan Islam dan Dakwah Amar Makruf Nahi Mungkar, beraqidah Islam dan bersumber pada Al-Qur’an dan Sunnah.” Inilah siasat Muhammadiyah untuk menyelamatkan asas Islam berhadapan dengan tembok kekuasaan yang tidak toleran. Padahal, seperti dikatakan di atas, sejak era Ahmad Dahlan sampai 47 tahun berikutnya, pencantuman asas dalam AD Muhammadiyah tidak pernah terfikirkan.

Boleh jadi dalam Muktamar Surakarta yang agak panas itu, dokumen AD sejak awal tidak sempat dikaji, sehingga masalah asas menjadi topik perdebatan serius. Seolah-olah tanpa asas, keislaman Muhammadiyah tidaklah kokoh. Inilah akibatnya, jika orang berfikir tidak berdasarkan sejarah. Di era Reformasi dalam Muktamar Muhammadiyah ke-44 di Jakarta (Juli 2000), asas Islam kembali dicantumkan, setelah absen sejak 1985. Dalam perjalanan sejarahnya, dengan asas atau tanpa asas, identitas Muhammadiyah tetap saja tidak berubah sebagai gerakan Islam berkemajuan par excellence, yang mendidik, menggembirakan, dan mencerahkan. Sejak 10 tahun terakhir melalui MPM (Majelis Pemberdayaan Masyarakat) Muhammadiyah mulai menggarap ranah pertanian, peternakan, dan perikanan. Di bawah pimpinan alm. DR (HC) Said Tuhulele (wafat 9 Juni 2015), MPM semakin berkibar dan siapa tahu akan menjadi atus utama ketiga dalam Muhammadiyah dalam beberapa tahun yang akan datang setelah pendidikan dan kesehatan.

Rekam jejak Muhammadiyah untuk menegakkan dan melaksanakan amar makruf dalam bentuk membantu negara di ranah pendidikan dan pelayanan sosial-kemanusiaan sudah sangat teruji. Dari hari ke hari perkembangannya semakin dinamis dan ekspansif dengan segala rintangan yang dijumpai dalam kerja di atas. Di ranah ini, Muhammadiyah tidak punya tandingan mitranya di seluruh dunia Islam. Sebagai pembantu negara, Muhammadiyah sangat setia menjalankan tugasnya, sekalipun negara kadang-kadang tidak menghargainya. Tetapi bagaimana dengan konsep nahi mungkar, sebagaimana yang dicantumkan dalam AD 1985 itu? Sebenarnya istilah amar makruf nahi mungkar itu adalah terminologi al-Qur’an yang sudah tersiar di kalangan Muhammadiyah sejak periode awal. Hanya saja, baru dimasukkan ke dalam AD tahun 1985 itu.

Adapun sumber yang digunakan untuk konsep amar makruf dan nahi mungkar itu adalah ayat 104 surat Âli ‘Imrân (3) yang dikaitkan dengan pembentukan organisasi/komunitas (umma). Adapun ayat 41 surat al-Ḥajj (22) yang berhubungan dengan kekuasaan, sepengetahuan saya, tidak dijadikan rujukan. Bunyinya: “Alladzîna in makkannâhum fî ‘l-ardh aqâmû al-shalât wa âtawu ‘l-zakât wa amarû bi ‘l-ma’rûf wa nahaw ‘ani ‘l-munkar wa lillâhi ‘âqibatu ‘l-umûr/Mereka manakami beri posisi yang kuat dan berpengaruh di muka bumi, mereka mendirikan salat, membayarkan zakat, memerintahkan yang makruf dan mencegah yang mungkar. Dan semua muara urusan adalah milik Allah.” []

REPUBLIKA, 30 Juni 2015
Ahmad Syafii Maarif | Mantan Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah

Tidak ada komentar:

Posting Komentar