Jokowi
dan Gunung Jamurdipa
Oleh:
Sindhunata
Tahun
2015 adalah 200 tahun meletusnya Gunung Tambora. Untuk mengenang kebesaran
Tambora, beberapa saat lalu pemerintah mengadakan kegiatan berslogan
"Tambora Menyapa Dunia". Mendukung kegiatan itu, harian Kompas dan
lembaga budayanya, Bentara Budaya Jakarta, mengadakan pameran, pergelaran, dan
perbincangan bertajuk "Kuldesak Tambora".
Sementara
di Bentara Budaya Yogyakarta diselenggarakan pameran foto Maha Pralaya untuk
mengenangkan letusan dahsyat Gunung Merapi di zaman Mataram Hindu, lebih kurang
1.000 tahun lalu. Mengiringi pameran itu, diadakan merti atau selamatan gunung
di Omah Petroek, Karang Klethak, Pakem, di mana dipentaskan jatilan,
sendratari, dan pertunjukan wayang kulit dengan lakon Dumadining Gunung Merapi
atau terjadinya Gunung Merapi. Dikisahkan, pada waktu itu Nusa Jawa
gonjang-ganjing, terbawa arus lautan ke sana kemari. Batara Guru, raja segala
dewa, bersabda, Nusa Jawa akan kembali tenang apabila dipaku dengan Gunung
Jamurdipa. Maka ia pun memerintahkan para dewa mengusung Gunung Jamurdipa dari
Tanah Hindi ke Nusa Jawa. Gunung Jamurdipa kemudian dipakukan di sisi timur
Nusa Jawa.
Ternyata
beban gunung di sisi timur ini membuat Nusa Jawa njomplang, sisi baratnya naik
ke atas menyundul langit. Untuk menyeimbangkan, para dewa diperintahkan
mencabut separuh Gunung Jamurdipa dan dipakukan di sisi barat. Dalam perjalanan
ke barat, Gunung Jamurdipa itu rontok. Rontokannya menjadi gunung-gunung di
Nusa Jawa, seperti Topongan, Pasundan, Hula-Hulu, Cerme, Prau, Kendheng,
Sindoro, Sumbing, Slamet, Kendil, Petarangan, Merbabu, Lawu, Kelud, Arjuna, dan
Sumeru.
Sementara
para dewa berlelah-lelah mengusung Gunung Jamurdipa, ada seorang empu dewa,
Hempu Ramadi, yang asyik membuat keris di atas perapiannya. Para dewa jengkel
lalu menjatuhkan sebagian Gunung Jamurdipa ke Hempu Ramadi. Hempu Ramadi
menghindar, dan sempalan gunung itu jatuh ke atas perapiannya dan dari sana
terjadilah Gunung Merapi. Itulah sebabnya, Gunung Merapi selalu berapi sampai
kini. Nusa Jawa tenang kembali. Tetapi, ketenangan itu tak bertahan lama akibat
ulah manusia yang hanya memburu kenikmatan nafsunya. Nusa Jawa gonjang-ganjing
lagi. Namun, ke manakah sekarang harus dicari Gunung Jamurdipa untuk dijadikan
pakunya?
Gonjang-ganjing
sosial
Selamatan
dengan pementasan mitos di atas bermaksud mengingatkan agar kita sadar bahwa
sekarang pun kita sedang menghuni tanah air yang rawan, mudah gonjang-ganjing
dan terterpa pelbagai cobaan. Pada musim hujan, di mana-mana banjir. Pada musim
kemarau, di banyak tempat terjadi kekeringan dan mengering pula sumber-sumber
air. Di pantai Gunung Kidul, DIY, tiba-tiba ada tanah longsor, yang memakan
korban jiwa. Laut Selatan seakan ikut marah. Beberapa hari lalu beberapa turis
lokal ditelan ombak Parangtritis. Belum lagi berita tentang aktivitas gunung
berapi yang mengancam keselamatan penduduk di sekitarnya.
Cobaan
alam itu dibarengi situasi sosial yang meresahkan. Ekonomi susah, nilai rupiah
anjlok drastis, investasi usaha di dalam negeri jadi lesu, dan banyak orang
terancam kehilangan kerja. Situasi wong cilik seperti gabah diinteri,
pontang-panting ke sana kemari untuk mencukupi nafkah, tetapi tak juga jalan
keluar terbuka bagi mereka. Harga-harga naik, mulai dari kebutuhan-kebutuhan
pokok sampai gas melon, apalagi menjelang Lebaran ini.
Bencana
alam, kesengsaraan rakyat kecil, ketidakberdayaan penguasa, itu yang dalam
bahasa mitos Jawa sering dianggap gejala dan tanda-tanda bahwa Nusantara sedang
diterpa gara-gara dan gonjang-ganjing. Agar gonjang-ganjing mereda, ibaratnya
Nusantara harus dipaku dengan Gunung Jamurdipa. Adakah paku itu sebenarnya?
Ada, Presiden Jokowi sendiri. Kalau mau, Presiden bisa jadi paku itu. Untuk
itu, ia perlu berbalik melihat masa lalu, memahami siapa dia sebenarnya.
Anugerah
sejarah
Waktu itu
Jokowi belum siapa-siapa. Ia "hanyalah" Wali Kota Solo yang kemudian
menjadi Gubernur DKI Jakarta. Setelah melihat kiprah dan sifatnya, banyak
rakyat bersimpati kepadanya. Begitu ia diajukan jadi calon presiden, rakyat pun
serentak bergembira mendukungnya. Menjelang pilpres muncullah gerakan rakyat
besar-besaran, dan puncaknya adalah Konser Dua Jari yang menggemparkan itu.
Bagi
sejarah bangsa Indonesia, fenomena dukungan fantastis itu merupakan sebuah
kairos. Dalam filsafat sejarah, kairos dibedakan dari chronos. Chronos adalah
waktu biasa, semacam urut-urutan waktu belaka, sementara kairos adalah waktu
yang luar biasa, waktu yang dinanti-nantikan, waktu yang punya daya dobrak,
semacam waktu sejarah yang bisa mengubah bahkan menjungkirkan keadaan yang
usang dan rusak menjadi keadaan yang total baru. Baik filsuf eksitensialis
religius, misalnya Paul Tillich, maupun filsuf kiri ateis, seperti Walter
Benyamin, sama-sama yakin, dalam kairos tersembunyi harapan, dan begitu kairos
datang, harapan itu menguak jadi kekuatan yang bisa mengubah masyarakat secara
drastis dan revolusioner.
Fenomena
Jokowi adalah fenomena kairos itu. Kalau harapan rakyat tertumpah padanya, itu
tak berarti dia memang luar biasa, tetapi bahwa daya kairos sedang turun
atasnya sehingga ia dianggap mampu memperbarui sejarah. Dalam arti itu, kairos
adalah berkah dan anugerah yang tak boleh disia-siakannya. Tetapi ini juga tak
berarti kairos itu seluruhnya mistis. Kairos ada di dalam kehidupan individual
dan membuat orang menanti-nantikan perubahan. Begitu melihat Jokowi sebagai fenomen
kairos, kairos yang individual itu berkumpul jadi satu, menjadi sebuah kairos
kolektif yang bersama-sama ingin menjungkirkan keadaan dan mengubahnya menjadi
keadaan yang penuh harapan.
Jadi,
Jokowi jadi hebat bukan karena kekuatan politik, melainkan karena kairos itu.
Maka kalau sekarang merasa ragu, lemah, dan tak berdaya, adalah keliru jika
Jokowi sambat pada kekuatan-kekuatan dan melakukan kompromi dengan mereka.
Dalam keadaan demikian, Jokowi seharusnya berpaling pada kairos, yang menyimpan
kekuatan dan tren pembaruan sejarah itu. Dalam sejarah penjadian bangsa-bangsa
telah terbukti, kekuatan sejarah yang kolektif dan bersifat anugerah jauh lebih
ampuh dan "sakti" daripada potensi-potensi yang dibangun secara
artifisial oleh jaringan kekuatan politik. Sekarang rakyat sedang tak percaya
kepada DPR sebab lembaga perwakilan rakyat itu lumpuh dalam menjalankan fungsi
representasi kepentingan rakyat karena hanya memperjuangkan kepentingan pribadi
dan kelompok. Kata ahli hukum dan politik Ernst Fraenkel: di mana ada rakyat
tak percaya terhadap kemampuan parlemen dalam menjalankan fungsi
representasinya, di sana rakyat sesungguhnya sedang menderita
minderheid-kompleks.
Adalah
tragis, rakyat yang mayoritas itu menjadi minoritas yang minder. Sebagai presiden,
Jokowi bertanggung jawab mengembalikan rakyat sebagai mayoritas dan
menghilangkan minderheid-kompleksnya. Untuk itu, Jokowi perlu meraih kembali
momen kairos dan percaya bahwa dalam kairos terhimpun kekuatan politik rakyat
yang punya satu-satunya kehendak, yakni perubahan. Jika mau melakukan ini,
Jokowi berpeluang besar merebut kembali kepercayaan rakyat, yang kini sedang
mengalami krisis kepercayaan terhadap para wakilnya di DPR. Revolusi mental
Jokowi mandul dan berhenti di tempat karena tak mengorientasikan diri pada
kekuatan rakyat. Di sini pun Jokowi perlu kembali pada kairos, yang telah
membawanya ke kursi pimpinan tertinggi di negeri ini. Kairos itu adalah
kekuatan sejarah, yang dalam arti tertentu "liar" dan bernalurikan
"petualangan". Jokowi perlu menyuntikkan daya dobrak kairos itu ke
dalam revolusi mentalnya, supaya revolusi mentalnya memperoleh "darah
segar" untuk menabrak dan mengubah kemapanan demi tercapainya cita-cita
tanah air Nusantara baru yang adil, damai, dan tenteram seperti diinginkan
rakyat.
Ziarah
gunung
Jadi,
jika mau, dengan bantuan kairos itu, Jokowi berpeluang bisa menjadi paku Gunung
Jamurdipa bagi tanah air Nusantara yang sedang gonjang-ganjing ini. Gunung
Jamurdipa telah menjadikan gunung-gunung di Nusa Jawa. Bagi orang Jawa, ini
semua simbol laku yang punya makna. Gunung itu dhuwur, tinggi. Sementara rakyat
biasanya sering disebut sebagai wong gunung. Gunung lalu jadi simbol kekuatan
rakyat yang keluhuran dan tingginya bahkan melebihi keluhuran raja atau priayi.
Jokowi bukanlah ketua partai, keturunan raja, atau priayi. Ia rakyat biasa,
wong gunung. Tetapi justru dalam dirinya tersimpan martabat luhur rakyat.
Karena itu, ia jangan minder terhadap kekuasaan mana pun.
Untuk
memperkuat keyakinannya sebagai wong gunung, Jokowi perlu menjalani kembali
laku gunung. Dari Gunung Prau di barat, ia harus naik perahu, ke timur, ke
Gunung Slamet. Di sana ia akan dicerahkan, bahwa rakyat sesungguhnya hanya
punya cita-cita amat sederhana, yakni slamet. Dengan menjalani laku Gunung
Slamet, rakyat akan merengkuhnya untuk bersama-sama meraih slamet, hingga akan
selamat pula pemerintahannya. Dari Gunung Slamet ia mesti melanjutkan laku
Gunung Kendil. Di sinilah ia dapat mempertajam intuisinya, bahwa rakyat itu
kendil atau periuk bagi pemerintahannya. Tak mungkin pemerintahannya berjalan
tanpa periuk rakyat itu. Namun, sebagai imbalannya, ia tak boleh membiarkan
rakyat sengsara dan mati karena periuknya mati asap. Maka, dengan hikmah Gunung
Kendil, Jokowi bisa menggali kembali program-programnya yang pro rakyat, agar
periuk rakyat cepat berasap.
Dari
Gunung Kendil, Jokowi harus melanjutkan laku Gunung Petarangan. Petarangan
adalah tempat induk ayam bertelur dan mengeraminya. Maka laku Gunung Petarangan
mengingatkan, jangan Jokowi lupa akan asal-usulnya. Ia bukan jenderal, ketua
partai, atau anak raja. Tetapi begitu jadi presiden, Jokowi mungkin lupa bahwa
ia adalah wong cilik, atau rakyat biasa. Maklum, kekuasaan mudah membuat lupa.
Karena itu Jokowi tidak perlu menaikkan martabatnya karena martabat rakyat itu
adalah terluhur. Juga ia tak perlu mengenakan predikat apa-apa lagi. Ia tak
perlu, misalnya, memakai seragam dan baret tentara, yang di zaman Orde Baru
telah demikian menakut-nakuti rakyat. Ibaratnya, ia cukup memakai kemeja
rakyatnya, "kemeja putih", di mana terpantul cahaya ketulusan,
kejujuran, kesederhanaan, martabat luhur rakyatnya.
Dengan
laku Gunung Petarangan ini Jokowi boleh teringat kembali saat ia mengumumkan
deklarasi pencapresannya. Deklarasi itu dilakukannya di Rumah Si Pitung,
Marunda Pulo, Cilincing, Jakarta Utara. Si Pitung adalah pendekar Betawi yang
mati-matian membela rakyat melawan kompeni. Jokowi kiranya ingin terkena aura
roh perlawanan rakyat itu. Maka, setelah jadi presiden, janganlah ia hanya
berani menghukum mati, tapi juga "berani mati" seperti Si Pitung yang
berani mati dihukum gantung oleh kompeni. Sekarang banyak sekali kompeni di
sekitar Jokowi: kompeni-kompeni bisnis, kompeni-kompeni politik, kompeni-kompeni
partai, dan kompeni-kompeni kepentingan. "Perlawanan", kata Jokowi
saat di Rumah Si Pitung itu. Sekarang Jokowi sungguh ditantang, untuk bersama
rakyat melawan kompeni-kompeni di sekitarnya itu. Maka, demi rakyat dan karena
roh perlawanan Si Pitung, ia juga harus berani melawan jika ia dijadikan boneka
atau petugas partai oleh kekuasaan oligarkis partai pendukungnya sekalipun.
Dari
Gunung Petarangan, Jokowi harus meneruskan laku Gunung Merapi. Sampai sekarang
di sana masih menyala api dari perapian Hempu Ramadi. Di perapian itu Jokowi
boleh menghangatkan dan membakar kembali semangat gunungnya, semangat
kerakyatannya, yang akhir-akhir ini sempat padam atau dipadamkan. Jokowi harus
terus menyalakan api perjuangan rakyatnya. Untuk itulah akhirnya ia perlu
kembali ke asalnya, ke Gunung Lawu. Jokowi adalah anak Solo yang terletak di
kaki Gunung Lawu. Maka laku Gunung Lawu akan mengajak dia ngawu-awu atau
bertanya tentang asal-usulnya. Asal-usulnya rakyat kecil biasa. Di Solo ia
thukul, tumbuh sebagai wong Solo seperti Wiji Thukul. Maka, seperti Wiji Thukul
yang tumbuh di kaki Gunung Lawu, Jokowi pun seharusnya hanya punya satu kata
untuk pemerintahannya: Lawan! Dengan satu kata "lawan" itu, ia harus
berani melawan siapa saja dan apa saja yang membungkam, memperbudak,
menyengsarakan rakyat. Pada kata "lawan" itu, sesungguhnya Jokowi
bisa menemukan inti terdalam dari kata kairos.
Jelas
laku atau ziarah gunung itu sesungguhnya adalah ziarah rakyat yang bermuatan
kairos. Jokowi tak boleh berlambat dengan kairos. Sebab lain dengan waktu
biasa, kairos adalah waktu sejarah dan waktu anugerah, karenanya waktu itu
takkan berlangsung lama dan hanya datang sekali. Jokowi belum terlambat untuk
kembali memeluk kairos itu. Namun, bila berlambat-lambat, dalam sekejap Jokowi
akan kehilangan kesempatan menjadi Paku Gunung Jamurdipa bagi Nusantara yang
sedang membutuhkannya. Kalau demikian, dalam sekejap Nusantara akan dilanda
gonjang-ganjing lagi. []
KOMPAS,
29 Juni 2015
Sindhunata
| Wartawan, Penanggung Jawab Majalah Basis Yogyakarta; Kurator Bentara Budaya
Tidak ada komentar:
Posting Komentar